Jumat, 09 Januari 2009

“Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Khilafah “

Oleh : A_dhie

Problematika “Pemimpin” kala ini sedang hangat menjadi buah bibir dikalangan masyarakat kampus, dan tidak sedikit terjadi kontradiksi dalam memahami interpretasi “Pemimpin”, perbincangan “Pemimpin” ini karena pergeseran pemikiran mahasiswa pada aspek paradigma berfikir antara tekstualitas dan kontekstualitas. Yang akhirnya terjadi perbenturan pemikiran dikalangan mahasiswa. Penulis menganalisis penyakit “Status Quo” yang menjadi penyebab utama pergolakan pemikiran dalam memahami arti pemimpin.
Menurut penulis Pemimpin merupakan suatu gabungan antara strategi dan karakteristik, yang mampu menembus singgasana kaum ploretar dan elit politik, apalagi kita sebagai Mahasiswa sebagai calon pemimpin yang Berfikir kritis, dinamis dan berintelektual tinggi jangan sampai terjebak dalam pemahaman yang sempit. Lambat laun icon yang melekat pada diri mahasiswa kita nodai hingga menjadi boomerang bagi kita.
Interpretasi “Pemimpin “ bukan hanya pemimpin umat, yang sering kita sebut sebagai Khilafah. Yang konon katanya terbebas dari nuansa politis. Lantas bagaimana dengan kejadian yang silam tentang perseteruan politik antara Sahabat Ali dan Muawiyah yang ujung-ujungnya pertumpahan darah antar umat islam, yang nota bene nya komunitas islam pada saat itu belum banyak terklasifikasi? Memang penulis sangat sepakat ketika mengusung suatu konsep tegaknya syari’at islam. Namun, ketika tergulir suatu pernyataan bahwa di Indonesia belum tegak syari’at islam, didukung oleh sebuah hadits yang menyatakan :
Siapa saja yang mati tanpa ada bai’at kepada (Imam/Khilafah), maka matinya adalah mati jahiliyyah(H.R.Muslim).
maka terbesit suatu pertanyaan besar dalam mind set kita, lalu bagaimana nasib saudara-saudara kita yang sudah meninggal mendahului kita, apakah merekapun termasuk mati jahiliyyah? Lalu apakah ibadah mereka diterima oleh Allah SWT? Dan bagaimana nasib ibadah kita selama ini? Ini adalah sebuah “Justifikasi atau Truth Of Claim” yang hanya akan menjadi suatu dogma bagi kita. Argument mereka hanya bersenjatakan dalil syara’ (kesepakatan ulama) ataupun ayat qhat’I, mari kita telaah secara kritis suatu ayat yang sering dikatakan sebagai ayat qhat’I dan merupakan dalil syara’. Dalam firman Allah SWT :
Q.S. An- Nisa ; 59
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Maka jika kamu tarik menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasulnya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu baik dan lebih baika akibatnya” .
Penulis menganalisis ayat ini melalui Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Manar, dan Tafsir Al-Maraghi. Yang menjadi sorotan adalah “Ulil Amri “ Lafad Uli adalah bentuk jamak dari waly yang artinya Pemilik atau yang mengurus dan menguasai, sedangkan kata amri adalah perintah atau urusan, jadi Ulil Amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslim, kata “Ulil Amri” merupakan kata yang memiliki Multiinterpretasi, di antaranya:
Para Pengasa/ Pemerintah, Ulama, Yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya. Perlu dicatat bahwa kata “Al-Amr “ merupakan bentuk ma’rifah atau definitie, sehingga banyak ulama menafsirkan bahwa wewenang pemilik kekuasaan ini hanya terbatas pada persoalan-persoalan kemasyarakatan saja.bukan persoalan aqidah atau keagamaan murni. Selanjutnya, karena Allah memerintahkan ummat islam taat kepada mereka, ini berarti bahwa ketaatan tersebut bersumber dari ajaran agama, karena perintah Allah adalah perintah agama. Bentuk jamak kata Uli difahami oleh sebagian Ulama adalah kelompok tertentu, yakni suatu badan atau lembaga yag berwewenang menetapkan dan membatalkan sesuatu, katakanlah dalam hal pengangkatan kepala Negara atau pembentukan Undang-Undang dan hukum, mereka terdiri dari para Ulama, pemuka-pemuka masyarakat, petani, buruh, wartawan dan kalangan profesi lainnya serta angkatan bersenjata.
Hal ini sejalan dengan argument mereka yang sering dijadikan senjata melalui sikap para ulama diantaranya adalah Imam Al-Ghazali. Beliau menyatakan “ Kita tidak mungkin menetapkan suatu perkara ketika Negara tidak lagi memiliki imam atau peradilan telah rusak”.
(lah wong pemimpinya juga nggak ada toh, bagaimana kita bisa menetapkan suatu hukum), penulis sepakat dengan pernyataan dari Imam Al-Ghazali, hanya saja kita sering terjebak pemahaman sempit dalam mengartikan imam sebagai khilafah bukan sebagai kepala pemerintahan seperti presiden ataupun yang lainnya. Selama seorang pemimpin itu masih menjalankan syari’at islam (Amal Ma’ruf nahi Munkar) dan tidak melarang tegaknya islam, mengapa kita mesti mendekontruksinya, Penulis memprediksi munculnya suatu konsep baru hanya akan mencuatkan“History in Memorian” tentang Perseteruan Ali & Muawiyah. Dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan pemikiran bahkan sikap ekstrem serta pertumpahan darah di depan mata kita, Oleh karenanya penulis lebih cenderung kita melakukan suatu proses rekontruksi bukan dekontruksi. Yang terpenting adalah nilai-nilai moralitas islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah masih melekat dalam diri kita, dan Negara masih memperbolehkan islam berkembang di Indonesia khususnya.

Wallahu A’lam Bishawab

Tidak ada komentar: