Jumat, 09 Januari 2009

Sunatan Dana (Sunda) Pendidikan

Oleh : A_dHie ‘86

Manusia adalah pelaku kongkrit sejarah dalam kehidupan, tidak sedikit orang yang tidak menyadari tentang hakekat dirinya, dan untuk menyadari hakekat diri manusia tidak memperolehnya secara serta merta. Manusia muncul dari historisitas dan konsekuensi logisnya, manusia hidup dalam proses. disini manusia membutuhkan apa yang namanya pendidikan ( Paulo Freire).[1] berbicara perihal pendidikan, banyak pendapat ilmuwan yang memaparkan tentang hal pendidikan, namun semuanya berujung pada “proses pendewasaan (usaha secara sadar)”, penulis mengutip sebuah pendapat dari seorang yang memiliki paham behaviorisme John Dewey (1985) bahwa Pendidikan merupakan proses tanpa akhir (Education is the process without end).[2]
Kontribusi rill pendidikan mampu mendekontruksi tatanan masyarakat yang nota benenya awam menjadi tatanan masyarakat yang berpendidikan dan berfikir maju,serta mampu mengubah pola fikir dan pola tingkah suatu komunitas. Negara Jepang lepas dari keterpurukan pasca pemboman di Hiroshima dan Nagasaki, pada saat itu, pemerintah menyelamatkan “Guru“ sebagai prioritas. Karena pemerintah menyadari peranan seorang guru yang elanvital dapat memberikan kontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa, terbukti hingga saat ini meskipun wilayahnya kecil, namun Negara Jepang mampu bersaing dengan Negara lain dalam hal IPTEK. Pemerintahnya pun sadar akan kesejahteraan guru dan menghargai kerja keras seorang guru. Dan memberikan tunjangan rill sesuai dengan jerih payah sang guru. Namun, bila kita analisis nasib guru di negara kita seolah memprihatinkan, apalagi bila kita membicarakan kesejahteraan dan subsidi dari pemerintah terhadap pelaku pendidikan, terkadang masih banyak oknum-oknum yang memanfaatkannya dengan argumen transfortasi maupun jatah keamanan. Inilah “borok” yang menghambat proses pendidikan. Pantas, hingga saat ini pendidikan di Indonesia berjalan statis dan tertatih-tatih.
Sunda (Sunatan Dana) tunjangan seakan sudah mentradisi dan dilegitimed melalui kesepakatan sosial, mulai dari tingkat pusat,provinsi,kabupaten, kecamatan hingga pedesaan semuanya berafiliasi untuk melakukan proses sunatan massal. padahal penggunaan subsidi tersebut sebagai motivasi bagi guru serta pemerataan batuan pendidikan untuk siswa yang nota benenya dari kalangan miskin, namun dalam tataran praktis banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan yang memanfaatkan tunjangan termaksud.
Perilaku seperti ini seakan mendarah daging ditubuh pendidikan, belum lagi mahalnya biaya pendidikan, lantas bagaimana kita pemerintah mampu mencerdaskan anak bangsa dan merealisasikan amanat UU Sisdiknas tentang wajar Dikdas? Dalam menanggapi hal semacam ii diperlukan seorang pionir yang memiliki idealisme tinggi untuk merekontruksi prilaku yang seolah mentradisi, bahkan bila perlu didekontruksi, hal ini dilakukan demi kemajuan dunia pendidikan di indonesia, para eksponen yang merumuskan kebijakan dalam dunia pendidikan perlu menyadari pentingnya pendidikan bagi rakyat, dan perlu menyusun suatu kebijakan yang membela kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi semata.
Wallahu A’lam Bisshawab….
[1] Lihat Utomo Dananjaya ,Sekolah Gratis ; hlm.55
[2] Lihat DR.H. Syaiful Sagala, M.Pd, Administrasi Pendidikan Kontemporer ; hlm.4

Tidak ada komentar: