Jumat, 09 Januari 2009

Menyelami Samudra Ijtihad

Oleh ; A_dhie


Sejarah Ijtihad

Ijtihad dimulai sejak zaman rasul;ullah SAW, seperti yang sering tersurat dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah. Seperti contoh kasus pada Umar bin Khattab yang mencium isterinya pada saat berpuasa, dan beliau menganggap puasanya itu telah batal, kemudian beliaupun mempertanyaakan hal tersebut kepada rasullah SAW, kemudian Rasulullah menjawab pertanyaan beliau dengan mengqiyaskan hal tersebut dengan praktek kumur-kumur pada saat berpuasa,sehingga beliau menarik suatu konklusi bahwa puasanya itu tidak batal dan Rasulullah pun menyuruh beliau meneruskan puasanya (HR.Ad-Damiri dari Umar bin Khattab).

Dari kasus seperti ini berarti pada masa Rasulullah telah diberlakukan yang namnya ijtihad, adapula yang berpendapat bahwa strategi perang yang muncul dari buah fakir nabi merupakan suatu hasil ijtihad, namun, setelah Nabi wafat para sahabatlah yang memilki peran untuk berijtihad saat terjadi sebuah problematika yang tidak terdapat dalam nas al-qur’an maupun as-sunnah, meskipun sering terjadi perbedaan pendapat atas problem solver yang diusung, akan tetapi sebelum Nabi wafat beliau pernah bersabda : bahwa apapun hasil ijtihad seseorang apabila dilakukan secara maksimal itu akan mendapatkan pahala dari Allah SWT(HR. Imam Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah).

Menurut Ibnu Qayyim perbedaan pendapat itu karena letak geografis yang berbeda antara sahabat dalam menyesaikan masalah ada yang menggunakan metode qiyas dan ada pula yang menggunakan metode al-maslahah, namun meski terjadi perbentiran pendapat, akan tetapi perbedaan tersebut tidak dijadikan sebagai sesuatu yang menimbulkan perpecahan umat, karena mereka menyadari bahwa ijtihad itu hasil kemampuan intelektual seseorang.pada masa sahabat inilah ijtihad berada pada fase permulan dan persiapan fiqh islam. Pada masa Tabi’in ini ijtihad dijadikan sebagai pembinaan dan pembukuan fiqh islam( terjadi selama 250 tahun sejak abad ke-2 H dan pertengahan abad ke-4 H). Sedangkan pada masa keemasan terjadi pada masa Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi’I, imam Hanbali.

Setelah periode ijtihad dan masa keemasan fiqh islam berakhir dunia ijtihad mengalami kemunduran yang disebabkan masing-masing madzhab yang sudah terbentuk melegitimasi pendapatnya, dan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Sehingga memunculkan suatu perpecahan dan hambarnya rasa toleransi sesamanya. Sehingga lambat laun perjalanan waktu pintu ijtihad di tutup. Dalam literature fiqh tidak menjelaskan siapa ulama yang menutup pintu ijtihad itu sendiri, dan masa seperti ini berlangsung hingga abad ke- 13 H, dan pada fase ini disebut sebagai Periode taklid dan tertutupnya pintu Ijtihad.

Sebab – sebab pintu ijtihad ditutup :

a. Truth Claim yang terjadi dikalangan mujtahid pada masa itu yang melegitimasi konklusi yang dikeluarkan adalah yang paling benar

b. Ijtihad yang dilakukan terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih mengedepankan rasio, sedangkan yang namnya ijtihad itu harus diimbangi oleh literature Al-qur’an dan As-shunnah( ketakutan para mujtahid keluar dari jalur Al-qur’an dan As-Shunnah dalam mencari problem solver)

Sejak abad ke-13 H hingga sekarang, ulama fiqh mulai merasakan perbedaan yang terjasdi secara terusmenerus antar sesama madzhab. Ibnu Taimiyah merupakan orang pertama yang mengumandangkan bahwa pitu ijtihad tidak pernah tertutup. Menurutnya sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan zaman. Ijtihad harus lebih dikembangkan dalam hal muamalah. Kemudian pendaat beliau diteruskan oleh muridnya yaitu Ibnu Qayyim, Syah Waliullah Ad-Dahlawi.M. Abduh, M. Rasyid.[1]
Namun imbas dari issu ditutupnya pintu ijtihad begitu terasa, seperti halnya dalam aspek penentuan shahih tidaknya hadits menurut Ibnu Shalah ia tetap berpegang teguh bahwa tidak diperkenankan ijtihad, karena pintu ijtihad telah ditutup.berbeda dengan al-Ramahurmuzi, al-baghdadi, Ibnu Asir, Ibnu Taimiyah dan M. Syakir yang tatap berpegang teguh bahwa ijtihad masih diberlakukan.[2]

A. DEFINISI IJTIHAD

Ijtihad berasal dari kata Jahadah ( Mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban) Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang Mujtadid untuk mencapai suatu putusan syarak (hukum islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. [3]

Adapula ulama yang merumuskan pengertian Ijtihad adalah Mencurahkan segala tenaga (fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’).melalui salah satu dalili syara’ dengan cara tertentu. [4] Menurut Abu Zahrah, Ijtihad bermakna Pwengerahan kemampuan seorang ahli fiqh akan upaya kemampuannya dalam upaya mengistinbathkan hokum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya.[5] Bila penelusuran itu tanpa diiringi oleh dalil syara’ maka itu bukanlah suatu ijtihad. Ulama-ulama terdahulu bila memecahkan suatu pokok permasalaah yang tidak mendapatkan rujukan dalam Al-Qur’an ataupun Asunnah, maka mereka akan menggunkan ijtihad dengan metode yang berbeda, ada yang menggunkaan qiyas atau istihsan, maslahah mursalah. Akan tetapi para ulama memandang ijtihad dan qiyas ada yang berpendapat bahwa ijtihad lebih luas dari pada qiyas, setiap ada qiyas tentu terdapat ijtihad, tetapi belum tentu setiap ada ijtihad terdapat qiyas. Berbeda dengan pendapat Imanm syafi’I yang mengatakan bahwa keduanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan.[6]

B. DASAR-DASAR IJTIHAD

Landasan dasar ijtihad adalah :

  1. Al-Qur’an

“ Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan (Ulil Amri) diantara kamu, kemudian bila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (jiwa Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Jiwa As-Shunnah).
(Q.S. An-Nisa : 59).

  1. As-Shunnah

As-Shunnah merupakan proses pengambila hukum setelah Al-Qur’an, seperti halnya dialog yang terjadi antara sahabat Mu’adz bin Jabal dengan nabi tantang proses pengambilan hukum yang tidak terdapat dalam nash al-qur’an maupun as-shunnah.

c. Dalil Aqly (Rasio)

Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-qur’an yang diturunkan itu hanya sebatas kepada Nabi, sehingga setelah beliau wafat, tapi atas peristiwa yang pernah terjadi kepada Mu’adz bin Jabal dan kemudian dilegitimasi oleh nabi mengisyaratkan bahwa peranan rasio dalam ijtihad sangat urgen. Dengan catatan tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan as-shunnah.

B. PERKEMBANGAN IJTIHAD

Permulaan diberlakukannya ijtihad ini menjadi sebuah ikhtilaf dikalangan ulama, apakah ijtihad itu dimulai pada masa Nabi masih hidup ataukan pada masa sahabat? bila kita menganalisis beberapa pendapat para ulama :

  1. Menurut Jumhurul Ulama ; ijtihad dimulai pada masa Nabi dengan argumen pada firman Allah :

“ Maka ambil i'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (Q.S. Al-Hasr ; 2).
adapula dari hadits Nabi yang mengatakan Nabi pernah berijtihad dalam kasus strategi perang, hukum mencium isteri pada saat berpuasa diqiyaskan kepada hukum berkumur-kumur pada saat berpuasa(studi kasus Umar Bin Khattab).

2. Golongan aliran kalam Asyariyah dan Mu'tazilah mengatakan bahwa Nabi tidak pernah melakukan Ijtihad dan semua pernyataanya itu sesuai dengan wahyu dengan argumen :

  1. Firman Allah Q.S.An-najm ; 3-4

" dan tiada ia berbicara dari hawa nafsunya, tetapi tidak lain dari wahyu yang diwahyukan" (segala yang diucapkan nabi adalah wahyu)

  1. Nabi selalu menemukan ketentuan suatu hukum dari wahyu Allah jika sudah turun, dan jika
    belum turun, beliau tidak berani untuk memutuskan suatu masalah hingga wahyu diturunkan.
  2. Nabi tidak memberi jawaban ketika pertanyaan itu ayatnya belum turun.
  3. Ijtihad adalh buah karya akal yang kemungkinan sekali untuk menemui kesalahan, sedangkan
    nabi sendiri memiliki sifat ma'shum.
  4. Ijtihad boleh berlaku jika nash-nya tidak ada dalam al-qur'an maupun as-shunnah, selagi Nabi
    masih hidup maka semua problematika bisa ditanyakan kepadanya, dan hukum ijtihad di sini dilarang selama nabi masih hidup.
  1. sebagian ulama berpendapat menengahi kedua pendapat diatas dengan pernyataan bahwa
    nabi hanya berijtihad dalam masalah duniawi saja, tidak kepada hukum syara'.[7]

    D. HUKUM BERIJTIHAD

Orang yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mencapai tingkat faqih (orang yang mencapai derajat terutama dibidang keilmuan).adapun sebagian ulama mengatakan bahwa hukum ijtihad adalah wajib artinya seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' ketika hal-hal yang berkaitan dengan syara' tidak menetapkannya secara jelas dan pasti.maka disini peranan ijtihad dihukumi wajib,[8] sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur'an :

Maka ambil i'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan (Q.S. Al-Hasr ; 2).
dalam ayat ini mengandung makna perintah untuk mengambil sebuh ibarat, berarti konsekuensi logisnya Allah memerintahkan kita untuk berijtihad. [9]

E. UNSUR POKOK DALAM IJTIHAD

I. Syarat Menjadi Mujtahid

a. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian

o Syarat umum bagi Mujtahid adalah baligh dan berakal

o Syarat khusus bagi Mujtahid adalah keimanan kepada Allah SWT .[10]

b. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan
syarat secara kumulatif bagi Mujtahid :

1. Menguasai bahasa Arab dan ilmu bantu yang berhubungan denganya (Ilmu alat ; nahwu, sharaf, bayan, ma'ani, badi'), mengingat Al-qur'an dan as-sunnah ini menggunakan teks bahasa Arab,[11] kriteria menguasai bahasa arab menurut para ulama sbb:
- Menurut Ibnu Subki cukup pada tingkatan pertengahan saja.[12]
- Menurut Imam Al-Ghazali ; mampu memahami ucapan orang arab dan kebiasaan
kebiasaan yang berlaku dan pemakaian bahasa arab dikalangan mereka(bias
membedakan ucapan sharih, zhahir, mujmal) yang khusus (Muhkam,Mutasyabihat,
Muthlaq, Muqayyad).[13]
2. Pengetahuan tentang Al-qur'an, mengetahui isi al-qur'an yang berkenana dengan hukum, menurut imam Al-ghazali minimal seorang mujtahid harus hafal 500 ayat tentang ayat-ayat hukum.namun pendapat Iama Al-Ghazali ini tidak disepakati oleh Muhammad bin Ali As-Syaukani, bahwa hukum islam bisa saja berlipat ganda, orang yang berpemahaman mendalam tentang al-qur'an bisa saja mengistinbathkan ayat-ayat tentang kisah umat terdahulu sebagai suatu hukum.
3. Mengetahui Hadits-Hadits Nabi, dan untuk menentukan shahih tidaknya hadits pun menurut Al-Ramahurmuzi, Al-Baghdadi, Ibnu Asir, dan Ibnu Taimiyah itu diperlukan yang namanya Ijtihad.[14]
4. Pengatahuan tentang Ijma' Ulama, agar ijtihadnya tidak menyalahi kesepakatan ulama yang sudah ditetapkan, dan bukti kehujjahan ulama ini sesuai dengan Firman Allah :



" Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu..(Q.S.An-Nisa; 59).
maksud dari ulil amri menjadikan multiinterpretasi di kalangan ulama, ada yang menafsirkannya, Ulama, Penguasa, Ijma' suatau hukum ,maka wajib diikuti dan dilaksanakan hukumnya berdasarkan Al-qur'an,[15] akan tetapi tentang Ijma' disini Ulama Syi'ah tidak melegitimasi kehujjahan Ijma' karena pembuat hukum adalah imam yang dianggap mereka ma'shum.[16]
5. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh,Menurut Al-Ghazali bahwa seorang Mujtahid harus mengasai 3 ilmu diantaranya ushul fiqh, dan menurut Abu ishak Al-Asfarini menuqil pendapat Al-Razi bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu yang penting dimiliki oleh seorang Mujtahid.
6. Mengetahui seluk beluk Qiyas, karena qiyas merupakan hujjah syar'iyyah terhadap hukum-hukum syara' mengenai tindakan manusia. akan tetapi ada saja yang berpendapat bahwa Qiyas tidak bisa dipakai sebagai hujjah syar'iyyah menurut Madzhab Nazhamiyyah dan sebagaian kaum Syi'ah, sehingga mereka disebut sebagai Nafatu'i qiyas (yang menafikan Qiyas).[17]
7. Mampu menangkap tujuan Syari'at, bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Allah sebagai hakim pasti mengandung suatu tujuan, meskipun dalam beberapa tempat kita tidak mengetahuinya.
8. Mengetahui tentang nasikh Mansukh.Syarat ini ditentukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Risalah.

II. Pembagian Ijtihad

a. Ijtihad fardhli

Menurut pendapat At-Thayyib Khudari As-Sayyid Bahwa Ijtihad Fardhli adal ijtidhad yang dilakukan oleh peseorangan atau beberapa orang Mujtahid. ijtihad ini dibagi menjadi 2 bagian :

1. Ijtihad Muthlaq adalah ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah milah dalam masalah hukum tertentu, dan Mujtahid disini disebut sebagai Mujtahid Muthlaq, yaitu Mujtahid yang mempunyai kemampuan mengistinbathkan seluruh hukum dari dalil-dalilnya(secara Syar'i atau 'Aqli).

2. Ijtihad Juz'i (Parsial), Ijtihad tentang aturan hukum tertentu saja, atau bisa disebut Mujtahid Spesialis yang hanya mengistinbathkan sebagian tertentu dari hukum syara'. [18]

b. Muhammad Abu zahrah dalam bukunya, Ushul Fiqh membagi Ijtihad dari segi bentuk karya ijtihadnya kepada dua bagian :

1. Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan.

2. Ijtihad Tathbiqi ;Ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil temuan Mujtahid terdahulu kepada kejadian yang mencul kemudian.
c. Menurut Ibnu Subkhi Ijtihad Tathbiqi (menerapkan hukum hasil temuan Mujtahid terdahulu ) terbagai menjadi :
1. Takhrij al-ahkam yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu kejadian yang baru dengan
cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh imam mujtahid
terdahulu.
2. Tarjih yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan dikemudian hari bagi para
pengikut seorang imam Mujtahid dengan memilih dan memilah pendapat mana yang terkuat
dikalangan ulama mujtahid untuk didikuti.[19]

III. Macam-macam Ijtihad

Ijtihad dilihat dari aspek dalil yang dijadikan pedoman.

1. Ijtihad Bayani yaitu Ijtihad yang digunakan untuk menemukan hukum yang terkandung dalam Nash Al-qur'an, namun sifatnya dhanni.

2. Ijtihad Qiyas, Qiyas menyamakan suatu kejiadian yang tidak ada nashnya dengan kejadian yang lain yang ada nash nya dengan meliaht illatnya [20]

3. Ijtihad istilahi Ijtihad dilihat dari aspek pelaksananya :

a. Ijtihad Fardhi (individu)

b. Ijtihad jama'i (Kolektif) bukan berarti Ijma', karena dalam ijtihad kolektif ini bukan hanya dilakukan oleh ulama yang telah memenuhi syarat untuk melakukan suatu ijma'. [21]

4. Peringkat Mujtahid

Bebapa tingkatan Mujtahid menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh :
1. Mujtahid dalam hukum syara' Mujtahid pada urutan pertama ini mampu menggali, menemukan dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya (AL-qur'an dan As-Sunnah) dengan menggunakan beberapa metode ijtihad (Mujtahid Muthlaq) seperti : Istinbath,Qiyas,Maslahah Mursalah,dll. contohnya seperti ke-4 Imam Fiqh,Said Ibnu Musayyab, Al-Auza dll.

2. Mujtahid Muntasib adalah Ijtihadnya dihubungkan dengan ijtihad yang lain. dengan konsekuensi logis ada keterkaitan hubungan antara murid dam guru, ia hanya mengambil metode yang telah digunakan gurunya, meskipun nantinya akan terjadi kesamaan atau perbedaan yang prinsipil dalam segi hasil ijtihad. contoh : Abu Yusuf, Muhammad Ibnu hasan yang menghubungkan dirinya dengan Abu hanifah(madzhab hanafi), Al-Muzanni yang berguru cukup lama pada Imam Syafi'i.dll

3. Mujtahid Madzhab Mujtahid yang mengikuti madzhab tempat ia bernaung(taklid terhadap suatu madzhab), ia tidak hanya mencari hal-hal yang belum diterangkan oleh madzhabnya, Contoh Imam Abu Al-hasan.[22] Peranan mereka terbatas melakukan istinbath hukum tentang masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya, menurut Imam Maliki Mujtahid Madzhab ini selalu mengisi setiap ruang waktu /perkembangan zaman. Fungsinya sebagai :

a. Mengambil kaedah-kaedah yang fiqhiyyah yang bersifat umum yang termasuk dari illat qiyas yang telah diambil oelh ualam-ulama besar.

b. Menggali hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaedah-kaedah tersebut.[23]
4. Mujtahid Fi At-Tarjrih

Mujtahid yang hanya membandingkan pendapat beberapa madzhab. dengan menganalisis kelemahan dan keunggulan dalil yang digunakan.[24]

5. Mujtahid Mawazin

Menurut Ibnu Abidin tingkatanini identik dengan membandingkan antara pendapat-pendapat dengan riwayat-riwayat.mereka lebih mengkritisi pada wilayah qiyasnya.
6. Mujtahid Muhafidz

Mujtahid ini hanya bisa hujjah untuk membedakan pendapat mana yang terkuat dan terlemah (analisis)

7. Mujtahid Muqallid

Ulama yang mampu memahami kitab-kitab tetapi tidak mempu menganalisis pendapat dan riwayat dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki. [25]

F. BEBERAPA PERSOALAN IJTIHAD

1. Kekosongan Mujtahid

Al-Zarkasy berpendapat dalam kitabnya Al-Bahr ; bahwa ada suatu masa kekosongan Mujtahid(Mujtahid Muthlaq sekaliber Imam Madzhab) karena setiap zaman tidak memilki kualitas Mujtahid sekaliber beliau. Namun Golongan ulama Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh ada masa kekosongan Mujtahid, karena ijtihad sendiri hukumnya fardhu kifayah dan secara tidak langsung kita sudah tidak menegakan hukum termaksud.[26] Namun sering diperbincangkna masalah Ijtihad, apakah mungkin ijtihad muthlaq masih terbuka? dalam hal ini banyak terjadi ikhtilaf dikalangan ulama, menurut Madzhab Syafi' dan sebagian Madzhab Hanafy mengatakan bahwa Ijtihad mutklaq masih terbuka, argumen beliau bahwa ijtihad untuk semua tingkatan Mujtahid masedangkan sebagian ulama yang lainyya menutup keras pintu ijtihad muthlaq.[27]
2. Metode Ijtihad
Beberapa metode Ijtihad :
a. Istihsan
b. Maslahah Mursalah
c. Istishhsab
d. 'Adat/U'rf
e. Madzhab Shahabi (Fatwa sahabat secara perorangan)
f. Syar'u Man Qoblina (Syari'at sebelum kita)
Metode Ijtihad yang ditempuh oleh Imam madzhab :
a. Imam Abu Hanifah, metode Ijtihadnya ; Al-Qur'an, As-Sunnah, Qiyas, dan Istihsan, Menurut beliau " Seandainya tidak ada riwayat, niscaya saya berbicara dengan qiyas" [28]
b.Imam Malik, metode Ijtihadnya ; Al-Qur'an, As-Sunnah,Amal Ahli Madinah(Ijma' dalam artinan
umum), Maslahat Mursalah, Qiyas dan Syaddu Al-Zari'ah.Syar'u Manqoblana.[29]
c. Imam Syafi'i, metode Ijtihadnya ; Al-Qur'an, As-Sunnah,Ijma' dan Qiyas, Istihsab. menurut beliau
Ijtihad yang menggunakan metode Qiyas, kalau sudah benar maka bisa dijadikan sebagai hujjah
(dalil) yang sah.[30]
d. Imam Hanbali , metode Ijtihadnya ; Al-Qur'an, As-Sunnah,Fatwa sahabat (Ijma), hadits mursal,
Qiyas, Syaddu' adzdzara'i.

3. Fungsi dan Lapangan Ijtihad
Imam Syafi'i pnyusun pertama Ushul Fiqh dalam kitabnya Al-Risalah ketika menggambarkan betapa sempurnanya Al-qur'an, dan beliau yakin bahwa semua permasalahan yang terjadi itu dapat di jawab oleh al-qur'an, dan dalam hal ini diperlukan peranan ijtihad untuk memahaminya. dan dalam dunia hadits menurut beliau disini peranan ijtihad di perlukan pula, mengingat tingkatan-tingkatan hadits yang berbeda.[31] yang jelas bahwa lapangan ijtihad adalah problematika yang hukum tidak dijelaskan dalam Al-qur'an ataupun adanya ketidak pastian(dilalah)[32]
Masalah dalam lapangan ijtihad :
a. Masalah Aqliyyah atau Nazhariyyah (Aqidah)
b. Masalah Syar'iyyah.

4. Kebenaran hasil Ijtihad
ketetapan hukum yang daimbil oleh mujtahid semata-mata adalah hukum Allah. sesuai dengan Q.S.Al-An'am ; 57, bahwa hukum yang dapat dicapai oleh mujtahid adalah hukum Allah dalam lisan mujtahid.karena mujtahid menginterpretasiakan ayat-ayat yang dinggap memilki sifat multi interpretasi.
menurut Al-Anbari bahwa yang betul dalam hasil ijtihad itu hanya satu, sedangkan yang lainnya salah. menurutnya bahwa yang melakuka ijtihadnya salah itu terbebaskan dari dosa. sesuai dengan Firman Allah :

Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas uasahanya(Q.S.Al-Baqarah ; 286)

5. Kekuatan Hasil Ijtihad
Hasil yang dapat dicapai oleh seorang Mujtahid bersifat Zhanni, hanya merupakan dugaan yang kuat yang dicapai dari hasl ijtihadnya.
Menurut Salam Madzkur bahwa hasil dari Mujtahid itu mengikat pada dirinya serta orang yang meminta fatwa kepadnya.
Menurut Ibnu Subki Bagi orang awam/ belum mencapai tingkatan mujtahid, ia harus mengikuti pendapat mujtahid sesuai dengan tempat ia meminta fatwa.
KESIMPULAN
Ijtihad merupakan salah satu cara berfikir secara mendalam dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat Dzanni, dengan menggunakan beberapa metode yang telah ditetapkan sebagai suatu problem solving atas suatu kasus yang belum terdapat dalam nash al-qur’an ataupun as-sunnah, kemudian dilegitimasi lewat ijma’ para ulama, bila dianalogikan mungkin ijtihad ini bisa disebut pula filsafat, dengan sebuah indicator yang bersifat prinsipil dari segi paradigma berfikir sehingga terbentuklah suatu konklusi dalam sebuah kasus.
Iijtihad dimulai sejak zaman Rasullah SAW terbukti dari beberapa hadits – hadits dan beberapa pendapat para Ulama, memang dalam hal ini terdapat suatu ikhtilaf antar ulama, bahkan bukan hanya itu saja, dalam hal pintu ijtihad tertutup pun menjadi perdebatan hingga saat ini, karena bukti rill mengungkapkan sebagaian ulama menyepakati bahwa tidak ada kata tutup dalam hal berijtihad, ada pula yang berpendapat bahwa pintu ijtihad tertutup tetapi bila kita kritisi bukti konkrit yang menjelaskannya bisa dikatakan kurang valid. Kapan mulai ditutupnya ataupun dibukanya pintu ijtihad ini masih bias.akan tetapi konon katanya Ibnu taimiyah adalah orang yang pertama kali menggembar gemborkan bahwa pintu ijtihad telah dibuka. Apakah mungkin semua itu hanya suatu manajemen konfik semata?yang pasti dalam hal ini hanya bersifat dzanni.
Peranan ijtihad bersifat urgen melihat perkembangan zaman yang begitu cepat dari hasil karya fikirr seorang manusia dalam dinamika kehidupan, sehingga tidak menutup kemungkinan hal-hal yang baru akan muncul sebagai imbas dari modernisasi.
Wallahu a’lam BisshawwabREFERENSI :

1. Prof.DR.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999
2. M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
3. DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Rislah, bandung, 1985
4. DR.H.Nasrun Haroen, MA, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, jakarta, 1997
5. Ensiklopedi Tematis Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta, 2002
6. DR.M.Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Paramadina,Jakarta, 1999
7. Prof.M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994
8. Ensiklopedi Hukum Islam 1, Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta,2000
9. Hasbi Ash- Shiddiqi, Pokok-pokok pegangan Imam Madzhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1992
10.Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi'i, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1991
11.Thaha Jabir, Adabul Ikhtilaf Fil Islam, dalam terjemah Abd.Fahmi, Gema Insani Press, Jakarta,
1991.





[1] Lihat Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, hlm.671
[2] Lihat Dr.M.Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, hlm.91
[3] Lihat Dahlan Abdul Aziz, Op.Cit, hlm.669
[4] Lihat M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, hlm.33
[5] Lihat Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hlm. 295
[6] Ibid. hlm.34
[7] Lihat Prof.DR.H.Amir Syarifudin, Ushul Fiqh 2 hlm.230
[8] Ibid. hlm.227
[9] Lihat.M.Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, hlm.41
[10] Lihat Prof.DR.H.Amir Syarifudin, Loc.Cit, hlm.256
[11] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,hlm. 298
[12] Lihat Prof.DR.H.Amir Syarifudin, Loc.Cit. hlm.257.
[13] Prof.M.Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm.568
[14] Lihat Dr.M.Abdurrahman, Loc.Cit, hlm. 91
[15] Lihat DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm. 64
[16] Lihat DR.H.Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, hlm.54
[17] Lihat DR.Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit, hlm. 76
[18] Lihat Prof.DR.H.Amir Syarifudin, Loc.Cit hlm.265

[19] Lihat Prof.DR.H.Amir Syarifudin, Loc.Cit. hlm.266
[20] Lihat.DR.Abdul wahhab Khallaf, Loc.Cit, hlm. 73
[21] Lihat Prof.DR.H.Amir Syarifudin, Loc.Cit, hlm.272

[22] Ibid. hlm.276
[23] Lihat Prof.M.Abu Zahrah, Loc.Cit, hlm.588
[24] Ensiklopedi Tematis Hukum Islam, hlm.299
[25] Lihat Prof.M.Abu Zahrah, Op.Cit, hlm.588

[26] Lihat Prof.DR.H.Amir Syarifudin,Loc.Cit, hlm.278)
[27] Lihat Prof.M.Abu Zahrah,Op.Cit, hlm.582
[28] Lihat Thaha Jabir, Adabul Ikhtilaf Fil Islam,hlm.88
[29] Lihat Hasbi As-Shadiqi, Pokok -pokok pegangan Imam-Imam Madzhab, hlm. 173
[30] Lihat Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi'i,hlm.120

[31] Ensiklopedi Tematis Hukum Islam, hlm.298
[32] Lihat Prof.DR.H.Amir Syarifudin, Loc.Cit, hlm.287

Tidak ada komentar: