Kamis, 08 Januari 2009

Kebijakan BLT (Be+eL+Te = Belet)


Oleh : A_dhie

Meminjam pendapat James E. Anderson Kebijakan merupakan suatu rangkaian atau pola tindakan bertujuan yang diikuti oleh seorang atau sekelompok aktor dalam berurusan dengan suatu masalah atau suatu hal tertentu. Atau dalam bahasa B. Guy Peters merupakan sejumlah aktivitas pemerintah, baik langsung atau melalui perantara, yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan warga Negara. Dalam aspek dinamika “pemerintahan” adalah kegiatan dari lembaga atau badan-badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan Negara. Secara definitive Kebijakan pemerintah akan mengerucut pada titik kuliminasi tercapainya tujuan Negara atau kesejahteraan masyarakat.

Masih hangat dalam telinga kita teriakan moral mahasiswa dan rakyat pasca pemerintah mengeluakan kebijakan yang tidak populis dengan menaikan BBM. secara teknis, kenaikan harga BBM memang tak terelakan, pasalnya, beban subsidi pemerintah memang sangat besar. Disisi lain, harga minyak mentah dunia terus menunjukkan tren kenaikan. Dan konsekuensi logisnya, jika subsidi sangat besar maka defisit anggaran pemerintah akan membengkak, hingga pemerintah terintimidasi gagal bayar (default). Kemudian, untuk menutup defisit anggaran, pemerintah mengeluarkan surat utang negara (SUN) yang harus membayar pada saat jatuh tempo serta bunganya secara periodik. Namun, ketika terjadi krisis kepercayaan pemegang SUN, dihawatirkan akan berimbas pada buruknya kondisi ekonomi makro. Dan ekonomi makro merupakan prestasi pemerintah yang apabila ikut memburuk maka pemerintah tak memiliki apapun untuk dikatakan kepada masyarakat karena sektor riil juga sangat buruk.

Seiring dengan semakin krusialnya kondisi sosio-politik pasca naiknya BBM, pemerintah mencoba meninabobo-kan kegerahan masyarakat dengan merealisasikan kebijakan BLT, yang dinilai efektif membatu masyarakat miskin, namun, apakah kebijakan tersebut efektif dan tepat sasaran? Sebetunya, sebelum menetapkan kebijakan ini pemerintah berkaca pada pengalaman tahun 2005, pasalnya tidak sedikit korban yang berjatuhan untuk mengantre BLT dan tak sedikit bermunculan orang miskin baru yang muncul menjelang penyaluran BLT, hingga membuat suatu polarisasi kesenjangan social. Memang, problematika ini cukup pelik dan dilematis, Rakyat sudah bersiap-siap dan mau tidak mau, dipaksa siap menanggung segala resiko kecerobohan peguasanya mengelola negara. Kenaikan BBM tidak akan menjadi masalah bila masyarakat mampu menjangkaunya, sekali lagi bila mampu menjangkaunya. Sulit dipahami, bagaimana bisa rakyat dipaksa memikul beban yang sangat berat, dari mulai menghidupi dirinya sendiri sampai membayar cicilan dan bunga hutang negara tanpa dibarengi dengan ketersediaan kesempatan kerja. Kalau pemerintah cukup pintar (apa pemerintah kurang pintar ?) kalau penyelenggara negara punya tanggung jawab lebih dan nurani lebih pasti akan mati-matian memutar otak, memeras tenaga, pikiran, memakai 30 jam dari 24 jam yang dimilikinya, memanfaatkan segala sumber daya untuk menciptakan, memperluas lapangan kerja. Sikap dan mentalitas generalis akut, membuat pengambilan keputusanan bertolak dari hal-hal instan yang ‘mudah’. Perencanaan dan mekanisme ditailnya bagaimana nanti saja. Menaikkan BBM sekarang, tak lebih dari kemalasan pemerintah melakukan efisiensi pengelolaan negara untuk menjamin kelangsungan fiskal pemerintah. Padahal sumber-sumber pemborosan bisa saja disumbat. Dengan merapikan bisnis-bisnis finansial yang memicu ekonomi biaya tinggi seperti perbankan, melakukan penegakan hukum kepada para koruptor yang jelas-jelas menggarong uang negara, perapian inefisiensi pada penyelenggaraan pemerintahan hampir pada semua lever dari pusat hingga daerah. Memanfaatkan hutang luar negeri (yang sudah terlanjur diteken kontrak) untuk sektor riil, sektor publik yang menggairahkan usaha, yang benar-benar memutar roda ekonomi dan membuka lapangan kerja, bukan untuk biaya rutin yang notabene dihabiskan untuk konsumsi penyelenggaraan negara. Bagi pemerintah, paling mudah tentu menaikkan harga BBM. Sementara pada saat yang sama, rakyat tidak difasilitasi untuk dapat menjangkau harga BBM dan segala dampak inflasinya kepada harga kebutuhan sehari-hari. Meskipun pada dasarnya sepakat bahwa harga bahan bakar minyak dan gas tidak bias terus-menerus murah demi penghematan dan reservasi generasi mendatang, akan tapi dikala pemerintah menaikkan harga BBM tanpa perimbangan kenaikan kesempatan kerja, dikala pemerintah menaikkan BBM dengan dalih membebani keuangan negara dan dikompensasi dengan program kesehatan dan pendidikan untuk rakyat miskin, dikala negara –bahkan- tidak dipercaya bias menyalurkan program kompensasi itu, dikala pemerintah dan wakil rakyatnya terlalu picik sebagai golongan generalis, maka kenaikan BBM menjadi hal yang patut ditunda.

Wallahu A’lam Bisshawab…..

Tidak ada komentar: