Jumat, 09 Januari 2009

Kontemplasi Cinta

Oleh : A_dHie


Cinta Ilahi adalah ruh tanpa tubuh,cinta duniawi adalah tubuh tanpa ruh,cinta spiritual adalah tubuh dan ruh sekaligus.(Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah 2 : 347)

Muhyiddin Ibn ‘Arabi, “(Manusia) adalah zat yang mensintesakan realitas duniawi dan Citra Ilahi. Dia dihubungkan dengan sisi Yang Maha Suci, yang dari-Nya dia diwujudkan ketika Dia berfirman, “Jadilah” maka dia pun jadi, dan dia dihubungkan dengan ruh melalui ruhnya ; dan dia dihubungkan dengan dunia jasmani dan unsur-unsur melalui dunia alam, melalui esensi dasarnya. 104]dalam bahasa Ali Syariati bahwa manusia merupakan sintesa antara ruh tuhan dan syetan, ketika hati manusia diselimuti oleh rasa cinta kasih maka disanalah manifestasi atas ruh tuhan, namun, ketika hati manusia diselimuti oleh sikap benci,manusia telah berubaha menjadi syetan.
Cinta manusia terbentuk atas dua jenis kecenderungan dari esensi dirinya, yaitu tanah dan ruh Tuhan. Sikap kecintaan manusia yang didominasi oleh kecenderungan asalnya, yaitu tanah atau materi menjadikan ia terperangkap dalam kesenangan-kesenangan jasadi semata, seperti makan, minum dan berhubungan seks. Kecintaan seperti ini menyeret manusia kepada tingkatan hewan, karena kecenderungan yang sama juga dimiliki oleh hewan.
Pada jenis kedua, yaitu kecintaan manusia yang didominasi oleh ruh Ilahi atau spiritual. Kecintaan dalam bentuk ini menjadikan manusia dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan yang murni bersifat Ilahiah, seperti beribadah, bersedekah dan pada tingkatan yang paling tinggi adalah terserap dalam Tuhan, yang ia cintai.
Jenis cinta yang kedua ini sang pencinta dapat menembus Cinta Ilahi hingga ia mendapatkan anugerah kecintaan dari Tuhannya.
KARAKTERISTIK CINTA DUNIAWIMuhyiddin Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Karakteristik cinta duniawi adalah bahwa pecinta hanya mencintai yang dicintainya demi kesenangan dan mencari kebahagiaan (dalam diri kekasih). Jadi pecinta mencintai kekasih hanya demi dirinya sendiri, bukan demi kekasih. 105]
Cinta seperti ini adalah Cinta Aksedental, yaitu kecintaan sang pencinta bukan pada diri yang dicintainya, tetapi pada apa yang melekat pada diri yang dicinta. 106]
Dalam bentuk ini, keintiman dan kemesraan ditentukan melalui hubungan fisik atau seksual. Pengalaman akan kesatuan badani ini dianggap sebagai jawaban untuk mengatasi keterpisahan karena cinta dalam bentuk ini cenderung menganggap keterpisahan sebagai keterpisahan fisik. 107]
Cinta semacam ini bersifat temporal, walaupun terasa mempesonakan dan terasa sangat mendalam, namun makin lama perasaan itu terasa semakin dangkal hingga akhirnya berubah menjadi keinginan untuk kembali menaklukkan hati orang lain lagi, untuk kembali mendapatkan cinta yang baru-dengan ilusi bahwa cinta yang baru akan berbeda dengan cinta yang sebelumnya. Ilusi-ilusi tersebut sangat ditopang oleh ciri memperdaya dari keinginan seksual. 108]
Keinginan seksual juga dapat didorong dan dirangsang oleh ketakutan akan rasa kesepian, oleh keinginan untuk menaklukkan orang lain atau untuk ditaklukkan oleh keangkuhan, oleh keinginan untuk menyakiti-bahkan oleh keinginan untuk menghancurkan. Kebanyakan orang terkecoh oleh anggapan bahwa dorongan seperti ini adalah suatu bentuk cinta, padahal hakikatnya dorongan ini hanyalah suatu bentuk keinginan dan hasrat terhadap fisik belaka. 109]
Cinta seperti ini sering tersamarkan dengan hasrat seksual semata, dimana cinta seperti ini memang terdorong oleh keinginan untuk bersatu secara seksual, tetapi tidak memperlihatkan sifat-sifat buas, rakus, dalam keinginannya untuk menaklukkan atau ditaklukkan, tetapi keinginan untuk berbaur dalam kelembutan serta kemesraan, sebaliknya keinginan dan hasrat pada penyatuan yang hanya bersifat fisik dan semata-mata untuk pemenuhan gejolak seksual tidak memiliki makna cinta sama sekali.
Cinta seperti ini merupakan bentuk cinta yang sangat tidak dapat dipercaya, karena landasan dasarnya hanya bertumpu pada pesona fisik, sehingga apabila yang dicinta tidak lagi memiliki pesona fisik - akibat cacat kecelakaan misalnya – sang pencinta akan segera kehilangan gairah cintanya.
Seandainya sang pencinta tidak dapat menaklukkan yang dicinta, maka akan muncul kemarahan, benci, dan dendam, sebagaimana sikap Zulaikha terhadap Yusuf yang rela memenjarakan Yusuf yang memiliki keteguhan iman.
Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Dia yang mencintai mereka (perempuan) hanya berdasarkan nafsu adalah cacat dalam pengetahuan tentang keinginan itu : bagi dia (si lelaki), perempuan adalah sekedar bentuk tanpa ruh, dan walaupun bentuk ini dalam realitas secara esensial adalah ruh, bagaimanapun juga ia tidak terlihat oleh seseorang yang mendekati istrinya – atau beberapa wanita lainnya – semata-mata demi kesenangan, tanpa menyadari kesenangan siapakah itu sesungguhnya. Jika dia tahu (kebenaran), dia akan tahu dengan siapa dia bersenang-senang dan siapa yang bersenang-senang itu – maka dia akan sempurna (dalam pengetahuan dan visi). 110]
Muhyiddin Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Pada awalnya cinta duniawiah bukan untuk kepuasan diri atau kemurahan hati, karena disposisi alamiah tidak mengenal apa pun tentangnya – ia mencintai sesuatu hanya karena sifat khususnya, ingin bersamanya, dekat dengannya. Ini berlaku untuk semua hewan, dan setiap orang sepanjang mereka (dilihat dari sisi) kehewanannya. Hewan mencintai secara inheren, karena itulah eksistensinya, bukan karena alasan yang lain. Kendati demikian, ia tidak tahu makna dari eksistensinya. 111]
Penulis berharap semoga diri ini bisa menemukan teka-teki cinta yang selama ini mengendap dalam hati setiap manusia, dan imenensi cinta ini dapat menghantarkan kita pada suatu internalisasi diri, semoga penulis menemukan kuiditas dari sebuah cinta,,,,

Wallahu A’lam Bisshawab....

Tidak ada komentar: