Jumat, 09 Januari 2009

Plato Jadi Tim Sukses Pilkada Purwakarta

Oleh : a_Dhie


Konon, Pilkada merupakan suatu pesta rakyat yang dilakukan secara demokratis untuk memilih seorang kepala daerah, Pilkada secara diaktonis masih terhegemoni oleh semangat teori platonis, yang sangat mengagungkan kehadiran pemimpin ditengah-tengah masyarakat yang sedang ramai-ramainya menyambut pilkada, namun sepertinya dalam memahami diktum teori platonis ini dalam konsep internalisasinya kerap kali terjadi interpretasi yang propaganda sebagai titik kulminasi dan suatu kausal teori ini sudah tidak relevan dengan realitas hari ini, Yang perlu digarisbawahi adalah meski semangatnya sama, tapi motivasinya beda. Plato memberi porsi yang demikian besar kepada pemimpin yang bijak, dengan konsekwensi logis akan terjadi kesejahteran pada masyarakat dan kemajuan daerah itu sendiri, sementara kita memandang pemimpin itu sebagai pemberi jabatan dan proyek. Pemimpin kita pandang berbanding lurus dengan penetuan rezeki, pangkat dan jabatan. Menurut penulis, sebaiknya ajaran Plato sudah waktunya untuk kita tinggalkan dan tanggalkan karena tidak memiliki relevansi lagi, karena hari ini masyarakat purwakarta khususnya sudah memiliki pemahaman tentang moralitas (sense of morality)..
Menurut penulis, konflik dalam pilkada merupakan hal yang wajar, penulis teringat dengan Mao Zedong seorang politikus kawakan RRC yang mengangap semua komponen kehidupan berawal dari konfik, akan tetapi ketika konfik itu berimbas pada pengurangan kuota APBD Purwakarta. Lantas siapa yang dirugikan??? Rakyat, lagi lagi Rakyatlah yang dirugikan dalam konflik ini. Bukankah akan lebih bijak kiranya, ketika hari ini kita berpikir bagaimana mensukseskan Pilkada di Purwakarta,dengan mengenyampingkan kepentingan sesaat. Ataukah mungkin hari ini kita mendorong seorang kandidat pemimpin bukan karena betul-betul ia memiliki kualitas terbaik (the best real quality) sebagaimana yang dicari oleh Plato, melainkan mengajukan standar-standar kebaikan dan kualitas kandidat hanya sekadar menjadi bahan bungkusan dari hubungan kedekatan dengan segala macam bentuknya; kenalan, kolega, organisasi, ideologi, agama, perkawinan dan sebagainya.
Terkadang terlintas dalam mindset penulis tentang teka-teki kehidupan yang sebenarnya, berbaur dengan rasa kekecewaan terhadap prilaku manusia dalam ranah politik yang selalu mengatas namakan rakyat dengan menebar beribu janji-janji manis, berbaur dengan rakyat kecil. Namun apakah realitas seperti ini akan terulang kembali ketika “Kursi Pimpinan dalam istana kekuasaan” itu teraih, masihkah ia mau berbaur dan selalu mendengar jeritan nurani rakyat?disinilah teka-teki kehidupan perpolitikan yang hingga saat ini masih mendekam erat dan menjadi kemuakan tersendiri dalam lubuk hati penulis.
Melihat realitas seperti ini, semestinya kita menempatkan pemerintah dan stake holder beserta jajarannya hanya sebatas kolega atupun mitra belaka, tak bisa dipungkiri hari ini kita selalu mengangap sakral dunia pemerintah ataupun kekuasaan, dan ini menjadi suatu sinyalment bahwa penindasan lagi-lagi menimpa komunitas grassroots (akar rumput). lembaga pemerintah selama ini seolah-olah hanya menjadi lembaga yang punya kebijakan dan pemihakan yang bertolak belakang dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat kecil pada umumnya. Para pemimpin yang mengatasnamakan wakil rakyat, telah menjadikan institusi negara menjadi sumber masalah bagi rakyat dan bangsa ini. Institusi negara sekarang penuh dekorasi-dekorasi yang sangat jauh dengan selera masyarakat lemah. Wajah institusi negara begitu angker dan menakutkan bagi masyarakat miskin. Ia seolah-olah telah berubah wajah menjadi lintah yang setiap waktu siap menerkam dan menghisap darah rakyat jelata. Ia tidak menjadi sumber insprasi, imajinasi dan impian, malah sebaliknya menjadi sumber masalah dan konflik kepentingan dan tempat bagi-bagi proyek dan jabatan untuk orang-orang dekat, kolega dan komunitasnya belaka.
Sketsa wajah pemimpin seperti ini yang berlindung dibalik sakralitas institusi negara merupakan hasil dari sikap dan pemahaman yang parsial dan salah kaprah terhadap teori Plato yang cenderung memberikan ‘cek kosong’ kepada pemimpin lewat pemaknaan sebuah mandat yang bernama pemilihan. Hasil pemilihan yang hanya berlangsung beberapa hari, dipandang sebagai sebuah bentuk keputusan final dari masyarakat, yang berlaku hingga periodenya berakhir.
Mudah-mudahan Pilkada hari ini dapat melahirkan seorang pemimpin yang selalu memihak rakyat dengan selalu mendengarkan aspirasi rakyat dengan manifestasi yang real terhadap aspirasi rakyat, serta dapat mengorganisir institusi-institus sosial- politik untuk bisa mengontrol dan mencegah ketimpangan yang akan terjadi lewat langkah-langkah, kebijakan, dan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin terpilih bersama para simpatisan dan pendukungnya.

Wallahu A’lam Bisshawab…

Tidak ada komentar: