Dalam dunia perpolitikan dikenal istilah “Propaganda Politik”, senyatanya teknik propaganda tersebut telah lama dipakai dalam setiap dimensi peradaban. Wacana tentang rentetan prestasi para calon legislatif itu dipaparkan secara berlebihan sehingga muncul mitos dan berbagai kepercayaan di kalangan massa akan kehebatan dan keperkasaanya. Padahal senyatanya itu hanyalah tekhnik untuk membangun citra dirinya di hadapan pemilihnya. Bila citra agung telah ditetapkan dalam berbagai catatan dan diketahui pemilih, maka penghormatan dan otoritasnya dipercaya akan menguat.
Dalam Teori Lama, teori-teori propaganda berawal di Athena pada tahun 500 SM. Lugasnya adalah retorika yang berarti "teknik-teknik para orator". Dengan menggunakan trik-trik bahasa yang mantap diwarnai dengan humor, ditambah dengan argumen yang logis yang biasa dipraktekan oleh para pengacara, demagog dan politisi. Dalam bahasa Plato, menggunakan sesuatu yang dapat dipercaya, retorika "baik" dan bentuk yang "pantas" dalam menulis dan berbicara sebagai alat untuk membujuk manusia, hal ini bisa kita analisis dalam konteks hari ini ketika sedang gencar-gencarnya safari politik yang dilakukan oleh para calon legislatif untuk menumbuhkan simpati didaerah pemilihanya,dan sepertinya ini merupakan orientasi yang hendak dicapai oleh setiap caleg, terlepas apakah hal tersebut akan direalisasikan kemudian, ataukah hanya sebatas wacana belaka?
Dalam Teori Modern, tekhnik propaganda mulai muncul kembali setelah Revolusi Industri yang dimulai dengan pemanfaatan untuk meraih untung sebanyak-banyak dari produksi massal. Pada abad ke-20 para peneliti mulai mengadakan studi tentang motivasi pembeli dan responsnya terhadap berbagai penawaran, iklan dan teknik marketing lainnya.
Sebelumnya, pada awal tahun 1920-an, telah berkembang kesadaran diantara para pengkritik bahwa perpanjangan dari Pemilu dan daya beli yang meningkat sampai kepada masyarakat biasa telah dimanfaatkan oleh para propagandis yang menggunakan mitos,cerita-cerita dan imbauan yang utopis.
Dalam literature sejarah, teori-teori propaganda sepintas dilematis, di satu sisi ada kelompok yang berusaha membentuk pikiran massa demi keuntungan calon legislative semata, agar memiliki akses terhadap kekuatan ekonomi dan militer. Di sisi lain terdapat obyek yang jadi sasaran dari propaganda yang merupakan kelinci percobaan berbagai teori lama maupun modern. Dalam alam modern maka teori propaganda digunakan baik di bidang militer, ekonomi maupun politik. Meskipun demikian banyak kritik dilontarkan terhadap kelompok yang memanfaatkan rendahnya pendidikan masyarakat demi keuntungan mereka yang berkuasa.
Realita hari ini grand-teori dalam politik lebih mensiratkan “How to get the power and how to use the power” yang kental dengan nuansa “menghalalkan segala cara” konsekuensi logisnya akan memunculkan suatu statement “tidak ada kawan dan lawan parennial (abadi), yang ada hanyalah kepentingan yang parennial (abadi)”. Dalam konsep “How to get the power” tidak jarang orang menggunakan cara-cara “tidak halal”. Kemudian setelah “the power” dapat diraih, selanjutnya adalah “how to use the power”, bagaimana menjaga, memelihara dan melindungi “the power”, bahkan bisa jadi akan memunculkan suatu konsep “cost and money politic” (bagaimana cara mengembalikan), kalau perlu dengan jalan abuse of power, dan ini merupakan strategi kolot yang diwangsitkan sang guru Macheavelis dalam bukunya “The Prince”. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah dalam dunia politik, tak heran jika mantan pejabat pemerintah terjerat kasus korupsi. Karena menggunakan APBD untuk kepentingan dirinya dan kelompkonya dalam mencapai target yang diinginkan.
Menjelang percaturan politik 2009, spanduk-spanduk caleg kini mulai terpampang disetiap penjuru kota dan desa sebagai suatu indikasi bahwa pintu gerbang perpolitikan mulai terbuka, berbagai slogan digunakan oleh para calon untuk menarik simpati masyarakat pemilih. Dan sepertinya ini merupakan suatu orientasi yang akan digencarkan bila calon terpilih. namun apakah orientasi tersebut akan diimplementasikan? Ataukan hanya sebatas konsepsi belaka? Pasalnya, sikap apatis masyarakat dalam merespon percaturan politik menjadikan suatu sinyalment bahwa masyakat mulai melek dan mampu mendeteksi intrik-intrik politik yang hanya sebatas bualan tanpa arti. Slogan-slogan yang ditempelkan dalam pemilihan sebelumnya ternyata tak mampu terimplementasikan, janji akan “Selalu memperjuangkan aspirasi rakyat, Kesejahteraan rakyat, sembako murah, dsb”. ternyata tak pernah terbukti hingga detik ini, harga sembako dan bahan bakar semakin melambung tinggi, apakah mereka hanya mementingkan kebutuhan pribadi dan golongannnya? ketika aspirasi masyarakat hanya sebatas tumpukan berita tanpa respon, bahkan hingga air mata si miskin mengeringpun mereka tetap apatis, mungkin ini yang menjadikan masyarakat berbalik bersikap apatis terhadap “Pesta Rakyat”.
Tenyata propaganda yang dilakukan bukan hanya sebatas spanduk/baligho, tidak sedikit para calon mendatangi langsung lokasi dan membagikan bantuan atau sembako untuk masyarakat yang berada didaerah pemilihannya, layaknya malaikat yang sedang membagikan kado special menjelang pemilihan, kebutuhan-kebutuhan pokok daerah pemilihan selalu dituruti untuk mencapai target yang diinginkan layaknya messias (juru selamat) yang selalu mengabulkan segala permintaan, senyatanya ini merupakan pembodohan politik terhadap rakyat yang bertendensi pada krisis logika dikalangan masyarakat. Sehingga rakyat mudah terintevensi oleh “rayuan politik”.
Semoga masyarakat mampu menganalisis dan memilih calon legislatif yang benar-benar wakil rakyat bukan wakil keluarga ataupun kelompoknya. Dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Wallahu A’lam Bisshawaab....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar