Kamis, 08 Januari 2009

Kado Harkitnas “ Naiknya BBM”


Oleh : A_dHie

Hari Kebangkitan Nasional sedianya dijadikan sebagi kerangka refleksi terhadap semangat pemuda tempo doeloe, untuk dijadikan tolok ukur pada sisi nilai perjuangan, diversitas yang prinsipil tidak lagi dijadikan sebagai dinding pemisah, semangat untuk bersatu membangun negara selalu Romantika Subsidi BBM, Selama ini Indonesia masih memberikan subsidi harga BBM sehingga harga di dalam negeri jauh lebih rendah daripada harga pasar dunia, bahkan bias dikatakan paling murah. Angka subsidi hingga 2004 mencapai 59,2 triliun. Melalui subsidi, harga minyak tanah sampai ke tangan ibu rumah tangga berkisar Rp.1000,- per liter, solar Rp.1600,- per liter dan bensin Rp.1810,- per liter. Tentu saja subsidi tersebut sedianya dimanfaatkan oleh masyarakat dengan golongan ekonomi bawah atau yang dipopulerkan pemerintah dengan sebutan penduduk miskin. Ironisnya, subsidi BBM tersebut selama ini lebih banyak dinikmati oleh golongan menengah keatas. Pemakaian minyak tanah untuk konsumsi rumah tangga tidak lebih dari 30% subsidi, sedang 70% sisanya dipakai pemilik kendaraan pribadi dan pabrik-pabrik. Sudah bukan rahasia lagi bahwa pabrik-pabrik membeli bahan-bakar di penyalur umum dengan ‘pelicin’ harga beberapa rupiah diatas harga peruntukan rumah tangga. Bahkan pabrik-pabrik juga menyuruh pekerjanya membeli bahan-bakar sehingga terkesan untuk konsumsi rumah tangga. Atau ulah truk muatan jalur Pantura, yang membeli bensin ireks (irit dan ekonomis) dengan mencampurkan solar, pelumas dan bergalon-galon minyak tanah. Tentu saja, sopir truk muatan itu hanyalah perpanjangan tangan dari pengusaha pelit dan oportunis yang memaksakan keadaan sehingga para sopir harus berhitung dan bermanipulasi dengan uang jalan. Kelangkaan BBM di Cirebon dan Jawa Tengah beberapa waktu lalu ditengarai akibat kasus nakal seperti ini. Belum lagi penyelundupan BBM di perbatasan. Perbedaan harga yang sangat mencolok mengundang pihak tertentu menyelundupkan minyak mentah, premium dan minyak tanah ke luar negeri atau ke kapal-kapal asing yang sedang berlayar. ironisnya negeri ini, keluarga-keluarga sangat bangga dan berlomba- memiliki mobil pribadi sebanyak mungkin. Begitu mudahnya ijin kepemilikan mobil keluar, begitu longgarnya atau bahkan tidak ada uji emisi yang ketat. Di beberapa negara, dibolehkan memiliki kendaraan pribadi lebih dari satu, tetapi harga bahan bakar untuk pemakaian kendaraan pribadi sangat mahal dan dikenakan pajak sangat tinggi. Selisih harga digunakan untuk pembiayaan riset sumber energi alternatif. Disamping itu diberlakukan uji emisi yang ketat sebagai perlindungan lingkungan dari polusi. Walhasil, kendaraan yang telah habis masa berlaku mesinnya meski masih mengkilap harus disingkirkan, kemana lagi kalau tidak ke Indonesia yang ramai diburu sebagai mobil second terjangkau dan menjadi kebanggaan keluarga. Seharusnya, pemerintah mengkalsifikasikan BBM untuk konsumsi kendaraan pribadi dan pabrik dengan kebutuhan masyarakat, pasalnya subsidi seharusnya tepat sasaran yakni terbatas pada BBM yang dikonsumsi masyarakat miskin seperti minyak tanah, bukan pada premium dan bensin untuk kendaraan pribadi atau bahan bakar mesin pabrik-pabrik besar. Apalagi BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumber-sumbernya tertentu dan terbatas. Sementara sumber energi alternative belum sebegitu progresif untuk memenuhi kebutuhan dunia akan bahan bakar. Apakah generasi ini begitu serakah hingga tidak mau memikirkan kelangsungan generasi mendatang terhadap kebutuhan bahan bakar minyak dan gas? Menghemat BBM bukan sekedar persoalan penghematan rupiah, tetapi kepedulian terhadap generasi mendatang yang tidak lain adalah anak cucu kita sendiri. Pengenaan harga mahal pada bahan bakar dimaksudkan dapat memicu penggunaan energi alternatif serta mendukung pembiayaan riset-riset penemuan sumber energi alternatif. Pada awal milenium lalu sempat terdengar penggunaan mobil berbahan bakar gas dan surya, tetapi akhirnya menghilang begitu saja. Mungkin sosialisasi setengah hati serta konsumen yang belum tersentuh gengsi dan segi kepraktisannya tidak jadi menaruh minat. Subsidi BBM Membebani APBN ? Mencabut subsidi BBM karena subsidi membebani APBN? alasan yang keji sekali. Publik sekarang lebih paham sesungguhnya ada sumber-sumber pemborosan APBN yang sebenarnya dapat dikelola lebih baik untuk menyelamatkan fiskal pemerintah. Inefisiensi BUMN, bank-bank yang dijamin BLBI-nya oleh pemerintah itulah yang sungguh-sungguh membebani pemerintah. Apakah subsidi BBM hendak disamakan dengan beban negara akibat skandal keuangan di berbagai bank dan BUMN hingga pemerintah harus mengeluarkan puluhan bahkan ratusan trilyun untuk menutupi kerugian dan hutang-hutangnya. Atau hendak disamakan dengan beban negara akibat koruptor yang menggarong uang rakyat, yang masih duduk manis berdasi dimejanya dengan sematan gelar pejabat publik. Belum lagi fakta bahwa hutang luar negeri yang sedianya untuk investasi publik ternyata dipakai untuk pengeluaran rutin alias konsumsi dengan tingkat kebocoran 40% ke kantong-kantong oknum pejabat negara sendiri. Sedihnya, rakyat harus membayar cicilan dan bunga hutang pertahun sebesar 7,5 miliar dollar AS atau sekitar 67,5 trilyun rupiah. Sangat tidak pantas dan keji bila pemerintah saat ini mengemukakan subsidi BBM membebani keuangan negara. Kenaikan BBM dan Program Kompensasi. Iklan dukungan kenaikan BBM dan pernyataan-pernyataan menteri cabinet seperti Sri Mulyani, kerap kali menyampaikan bahwa subsidi BBM selama ini membebani APBN dan dimaksudkan untuk dialihkan pada penyediaan pelayanan pengobatan kelas tiga dan sekolah gratis untuk penduduk miskin. Pemerintah menyediakan sekitar 21 trilyun rupiah sepanjang 2005 ini untuk tujuan kompensasi tersebut temasuk penambahan alokasi beras murah untuk rakyat miskin (raskin). Kenaikan BBM akibat pencabutan subsidi diimbangi dengan kompensasi untuk program pendidikan dan kesehatan gratis? Ini merupakan REALISME NAIF. Pencabutan subsidi, dialihkan untuk program kompensasi yang digulirkan pemerintahan SBY. Pertama, pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk perlindungan dan tanggung jawab negara dalam hal ini dikelola oleh pemerintah. Jadi pemerintah secara konstitusi dan moral memegang amanah dan tanggung jawab terhadap pengelolaan negara untuk kelangsungan hidup rakyatnya. Terlalu menggampangkan apabila persoalan kesejahteraan itu dipertukarkan dengan subsidi BBM yang bahkan nilai subsidi itu sepersekian saja dari angka belanja rutin negara. Apalagi untuk pendidikan, pendidikan yang seharusnya menjadi investasi terbesar bangsa ini, yang semestinya diarsiteki dengan ditail dan presisi, semakin terpinggirkan dengan anggaran tambahan suatu program kompensasi. Hampir-hampir habis akal dan nurani ini membayangkan bahwa pendidikan menjadi isu tambal sulam yang tidak jelas juntrungannya. Kedua, atas dasar apa pemerintah mampu menjamin bahwa 21 trilyun pengalihan subsidi tahun 2005 (sedih dan enggan menyebut kompensasi) dapat mencapai sasaran. Sedang pemetaan siapa sasarannya saja merupakan bayangan antara jelas dan pekat. Bagaimana tidak, sekarang siapa yang mempunyai peta data penduduk miskin, bila KTP saja diperjualbelikan. Pemerintah menyebut angka 30-40 juta penduduk miskin, World Bank melansir angka lebih dari 110 juta. Dimana titik-titik penduduk miskin? Bagaimana mekanisme penyaluran subsidi, instrumen apa yang dipergunakan untuk menjangkau penduduk miskin? Siapa auditor independen untuk menjamin akuntabilitas program ini? Rame-rame orang meminta adanya audit publik, itu benar, tapi secara tata hukum negara, sudahkan ada aturan untuk bias dilakukan audit publik independen? Adakah wakil rakyat di DPR memahami urgensi hal-hal seperti ini? Kenaikan harga BBM tidak diimbangi dengan kenaikan daya beli masyarakat. Kenaikan BBM menyebabkan jasa kesehatan naik 2,33%, jasa pendidikan 2,45%, angkutan 4,31%, komunikasi 1,7% listrik 4,5%, beras 1,1%dan bangunan 3,5%. Sementara lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja dari kalangan miskin seperti sektor tanaman pangan menurun berkisar 1-2%. Kecepatan kenaikan harga 10 kali lebih cepat dari kenaikan daya beli masyarakat. Sebenarnya, kurang apa tolerannya rakyat negeri ini. Lihatlah ketika pemerintahnya tidak mampu menyediakan kesempatan mencari nafkah, dengan berani mereka menyebrang ke luar negeri, menjadi TKI, buruh kasar, pelayan bahkan nyaris tanpa perlindungan negaranya, mereka sadar bahwa nasibnya tetap harus diperjuangkan sendiri dengan atau tanpa pemerintahnya. Lihatlah ketika pemerintahnya shock diterjang Tsunami lalu, rakyatnya dengan refleks mengupayakan apapun, memberi dan memberi dari yang dimiliki. Lihatlah KRL ekonomi yang mengangkut belasan ribu penumpang setiap hari, lihatlah puskesmas yang akhir-akhir ini selalu ngantri, lihatlah jalan-jalan berlubang yang semakin parah, lihatlah pendidikan yang kian hari kian tak terjangkau, lihatlah apa yang rakyat dapatkan dari pajak-pajak yang dibayarkan. Apakah rakyat sedemikian baik dan tangguhnya atau malah sudah mati rasa dengan segenap kepedihan dari permainan yang menyesakkan ini. Sedikit saja, hanya sedikit saja empati buat rakyat –kalaupun masih ada- akan menjadi pelipur yang bahkan bias melupakan dosa-dosa penguasanya. Rakyat sudah bersiap-siap dan mau tidak mau, dipaksa siap menanggung segala resiko kecerobohan peguasanya mengelola negara. Kenaikan BBM tidak akan menjadi masalah bila masyarakat mampu menjangkaunya, sekali lagi bila mampu menjangkaunya. Sulit dipahami, bagaimana bisa rakyat dipaksa memikul beban yang sangat berat, dari mulai menghidupi dirinya sendiri sampai membayar cicilan dan bunga hutang negara tanpa dibarengi dengan ketersediaan kesempatan kerja. Kalau pemerintah cukup pintar (apa pemerintah kurang pintar ?) kalau penyelenggara negara punya tanggung jawab lebih dan nurani lebih pasti akan mati-matian memutar otak, memeras tenaga, pikiran, memakai 30 jam dari 24 jam yang dimilikinya, memanfaatkan segala sumber daya untuk menciptakan, memperluas lapangan kerja. Mungkin ada benarnya kata Ibu Mutia Hatta, penyelenggara negara ini krisis kesepakatan. Untuk membuat isu bersama yang diperjuangkan bersama sajamerupakan hal yang teramat sulit. Kenaikan BBM dan Sikap Generalis Wakil Rakyat Sekarang ini wakil rakyat di DPR sedang hangat menentukan keputusan penghakimannya atas PP No.20 Tahun 2005 tentang kenaikan BBM. Ada yang lantang menolak demi kepentingan rakyat katanya, ada yang dapat memahami dan menerimanya, ada pula yang belum menentukan pandangannya. Terakhir dalam rapat paripurna Kamis, 17 Maret 2005 lalu tejadi keributan luar biasa hingga main tunjuk dan naik meja, gelas dan mikrophon berjatuhan di meja pimpinan sidang. Ah, malas mengomentari tingkah polah wakil rakyat yang –katanya- terhormat tapi norak amat. DPR jadi tontonan ala preman pasar, kalau saja kursi dan meja ikut dilempar, maka kejadiannya akan sama dengan peristiwa di parlemen Kenya beberapa waktu berselang dari insiden DPR itu. Ada fraksi yang menentukan harga mati menolak kenaikan BBM, pokoknya BBM tidak boleh naik demi rakyat kabarnya, atau demi sensasi? Kesempatan menarik simpati dan menjatuhkan lawan? mumpung yang berkuasa pihak oposisi partainya? Ada juga yang mengamini keputusan pemerintah pokoknya mau tidak mau harga BBM harus naik, karena tuntutan harga minyak dunia yang menyebabkan subsidi kita membengkak dan membebani? Ada juga yang keep silent menunggu situasi. Pokoknya...pokoknya.. sikap generalis politikusyang mengejar simbol tujuan, tidak peduli pertimbangan dan perencanaan ditail, tidak menghargai proses. Bagaimana nanti sajalah, pokoknya harus seperti itu, prosesnya? Bagaimana nanti. Hai DPR, kalau anda mengaku pintar, inilah momennya. Inilah momen untuk menelanjangi Pertamina, menelanjangi APBN setransparan mungkin. Pertamina dengan segala kepentingan politis yang bermain di dalamnya. Pertamina yang selama ini ibarat gunung es, hanya permukaannya saja yang diketahui publik. Persoalan BBM tidak hanya anda jawab dengan menolak dan menerima. Tidak adakah langkah solutif yang nyata? Konstruksi dengan pertimbangan nurani? Anda harus melakukannya DPR, rakyat memberi 25 juta pokok ditambah 10 tunjangan juta perbulan (dan kabarnya anda mengajukan 15 juta lagi untuk menggenapi menjadi 50 juta). Sekarang, Haruskan Harga BBM Dinaikkan? Sikap dan mentalitas generalis akut, membuat pengambilan keputusanan bertolak dari hal-hal instan yang ‘mudah’. Perencanaan dan mekanisme ditailnya bagaimana nanti saja. Menaikkan BBM sekarang, tak lebih dari kemalasan pemerintah melakukan efisiensi pengelolaan negara untuk menjamin kelangsungan fiskal pemerintah. Padahal sumber-sumber pemborosan bisa saja disumbat. Dengan merapikan bisnis-bisnis finnsial yang memicu ekonomi biaya tinggi seperti perbankan, melakukan penegakan hukum kepada para koruptor yang jelas-jelas menggarong uang negara, perapian inefisiensi pada penyelenggaraan pemerintahan hampir pada semua lever dari pusat hingga daerah. Memanfaatkan hutang luar negeri (yang sudah terlanjur diteken kontrak) untuk sektor riil, sektor publik yang menggairahkan usaha, yang benar-benar memutar roda ekonomi dan membuka lapangan kerja, bukan untuk biaya rutin yang notabene dihabiskan untuk konsumsi penyelenggaraan negara. Bagi pemerintah, paling mudah tentu menaikkan harga BBM. Sementara pada saat yang sama, rakyat tidak difasilitasi untuk dapat menjangkau harga BBM dan segala dampak inflasinya kepada harga kebutuhan sehari-hari. Meskipun pada dasarnya sepakat bahwa harga bahan bakar minyak dan gas tidak bias terus-menerus murah demi penghematan dan reservasi generasi mendatang, akan tapi dikala pemerintah menaikkan harga BBM tanpa perimbangan kenaikan kesempatan kerja, dikala pemerintah menaikkan BBM dengan dalih membebani keuangan negara dan dikompensasi dengan program kesehatan dan pendidikan untuk rakyat miskin, dikala negara –bahkan- tidak dipercaya bias menyalurkan program kompensasi itu, dikala pemerintah dan wakil rakyatnya terlalu picik sebagai golongan generalis, maka kenaikan BBM menjadi hal yang patut ditunda.

Wallahu A’lam Bisshawab…..

Tidak ada komentar: