Rabu, 08 April 2009

Terpenjara ditepi Lingkaran Eksistensi

Tajam ujung lidahku menggoreskan luka,,,

Tingkahku merobek sutra kecintaan-Mu,,,

Ingkarku menerjang regulasi yang telah terpahat !

Kotor...sungguh kotor dan menjijikan ku tatap wajahku,,,

Didepan cermin kehidupan

Pantas, Helaan nafas spiritual ku tersendat,,

Sesak,,,sungguh sesak,,,

Mengikat hati nuraniku,,,,

Hembusan angin kesombongan

Desiran ombak keangkuhan

Merobohkan dinding-dinding spiritualitas

Virus-virus hedonisme-opportunisme

Bak jeruji besi berbaris tegak

Memenjarakan etika-sosial transcendental

Yang menghiasi cermin kehidupan

Gemerlap tarian iblis mengelilingi langkahku

Sebagai bukti kongkrit ‘du contrac social’ di masa primordial

Sayup-sayup terdengar gelak tawa iblis-iblis kecil tersipu malu

Menghanyutkan jiwaku dalam lamunan

Diriku terkapar ditepi lingkaran eksistensi Negeri absurditas

Terjebak diantara reruntuhan taman spiritual yang terhempas angin kenistaan,,,

Kala jari lentik iblis menunjuk suatu arah

Menuju singgasana kesombongan dan keangkuhan

Pantas, Kilauan cahaya suci mata hati ini semakin meredup termakan gelap

Ku telusuri setapak demi setapak

Jalan terjal yang membentang di tepian ‘kota syahwat’

Entah kemana perginya cahaya fitrah itu,,,

Jiwaku terkujur kaku

Oleh : A_dhie_thea

Mendengar jeritan hati nurani

Namun, kemarau melanda lautan air mata penyesalan

Hingga kering kerontang tak bersisa

Ya Rabb,,,

Tuntunlah jiwaku menuju cahaya suci-Mu

Jernihkanlah fikiranku,,,,

Menuju hamparan samudra keilmuan-Mu

Sabotase Mahkamah Sejarah

Oleh : A_dhie_thea

Sejarah berasal dari pilologi kata ‘syajarotun’ (pohon), bila kita deteksi secara filosofis, akar pohon sebagai simbolisasi titik awal kehidupan, dahan dan batang pohon sebagai sebuah proses, dan seimbolisasi buah sebagai hasil dari gerak sejarah atau sebagai ‘peradaban’ yang dikonstruksikan oleh manusia. Tentunya gerak langkah manusia merupakan ukiran tinta kehidupan dalam mahkamah sejarah. Apa yang kita lakukan sedetik sebelumnya adalah sejarah. Meskipun terkadang ‘penguasa’ seringkali melakukan propaganda sejarah yang hanya meninggalkan serpihan-serpihan absurditas bagi generasi berikutnya, betapapun tidak ‘egosentris-fanatisme’ yang selalu menjadi alibi untuk melakukan propaganda. Yang akhirnya melahirkan ‘fanatisme’ segagai penyakit keturunan, ketika ‘konflik politik’ antara kelompok Sahabat Ali dan Mu’awiyah mengakar kuat yang melahirkan faksi Syi’i dan Sunni. Bahkan diversitas yang tidak prinsipil dalam tubuh islam ini seakan menjadi diding pemisah yang teramat tinggi. Alhasil, Polemik ini menjadi warisan dalam mahkamah sejarah. Sepertinya ini menjadi akar permasalah yang berbuntut ketertinggalan umat islam, karena umat islam terkonsentrasikan pada problematika internal. Sedang diluar intervensi kaum kapitalis, sosialis-komunis mulai merebak, sehingga umat islam terkontaminasi oleh konsepsi-konsepsi asing yang senyatanya merupakan pengembangan terhadap konsep yang dulu pernah dilegislasikan oleh pemikir islam. Yang direbut pada masa perang salib. Lantas apakah kita mesti terkungkung dalam lingkaran problematika yang dirancang khusus untuk kita sendiri? Sepertinya kita terjebak dalam jebakan yang kita buat sendiri karena sabotase penguasa dalam mahkamah sejarah.

Dalam konsep Nietzche, setidaknya dalam mempelajari gerak sejarah mesti menginterpretasikannya secara; historis, a historis dan supra-historis. Penginterpretasian sejarah secara ‘historis dan a historis’ merupakan suatu ‘konsep kebahagiaan dan penderitaan’, menurutnya memperlajari sejarah cenderung membuat orang tidak bahagia, belajarlah bagaimana melupakan dan mengingat pada waktu yang tepat. Inilah yang senyatanya membuat umat islam terpenjara dalam lingkaran eksistensi fanatisme golongan yang hanya melahirkan stagnasi berfikir. Betapa pun tidak kebencian dan penderitaan yang menjadi warisan ini lahir dari rahim kepahitan masa lalu, yang menjadi embrio konfik internal dalam umat islam. Kemudian, masa kejayaan umat islam diabad pertengahan selalu dijadikan suatu kebanggan yang berlebihan, sehingga virus ‘status quo’ menjangkit sebagian umat islam yang hanya melahir efek kemapanan berfikir. Idelanya ‘perseteruan politik dan kejayaan islam’ yang tercatat dalam mahkamah sejarah meski kita format ulang untuk dijadikan embrio dan motivasi dalam melakukan suatu inovasi-inovasi untuk kemajuan umat islam dengan melakukan Romantisasi Sejarah bukan Romantisme Sejarah.

Kemudian, Sejarah sebagai ‘Supra-historis‘ merupakan suatu konsepsi tentang keselamatan dan kebahagiaan selalu dalam proses’. Meskipun pada akhirnya perdebatan theologi islam yang tak kunjung reda ini akan terbongkar kembali dalam memori kita, tentunya benturan pemikiran antara Jabariyah, Qodariyah, Asya’riyah/ Maturidiyah. Dan sampai detik ini hal tersebut tetap menjadi teka-teki kehidupan. Yang mengerucut pada wilayah privasi yakni keyakinan individual maupun kolektif dalam sebuah faksi.

Tentunya perdebatan yang menghiasi mahkamah sejarah ini mesti kita respon secara egaliter dan fleksibel sesuai kebutuhan, yang menjadi substansi adalah bagaimana kita memposisikan diri kapan kita mengingat dan melupakan sejarah. Dan memformat Perseteruan dan Konfik politik yang dulu diselesaikan dengan ‘hunusan pedang’ ditransvaluasikan dengan ‘penajaman nalar’ untuk membangun kembali ‘kejayaan peradaban islam’ di masa lampau, dalam bahasa Hassan Hanafi ; “Semangat Peradaban adalah semangat bangsa, Semangat Ketuhanan yang menyejarah”.

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,

Resume Buku ' Akar-Akar Pendidikan dalam Al-qur'an dan Al- Hadits

Oleh : A_dhie_thea


Judul Buku : Akar-Akar Pendidikan Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

Buku : Lokal

Penulis : H. Drs. Dedeng Rosidin, M. Ag

Tebal : 219 Halaman (8 BAB)

Cetakan : Pertama, Agustus 2003

Penerbit : Pustaka Umat Bandung

Pria yang lahir lahir di Subang, 7 Oktober 1955,dan saat ini berdomisili di Bandung pernah Kuliah di S1 IKIP Bandung Jurusan Bahasa Arab,kemudian beliau menyelesaikan studi S2 di IAIN Bandung (Master Agama). Pada tahun 1972 beliau aktif di pesantren persis pajagalan dan mengajar di STIAI Persis sebagi dosen, kemudian sebagai dosen di STKIP Cimahi Bandung dan staf pengajar B. Arab di UNINUS. dan pada tahun 1990 beliau menjadi tenaga educatif tetap pada prodi B.Arab di UPI Bandung – sekarang.

Dengan dasar bahasa arab yang dimilikinya, beliau mencoba membongkar kata “Tarbiyah” dari sisi semantic & tafsir maudhu’i dengan menjelaskan sejelas-jelasnya tentang istilah tarbiyah, karena disinyalir orang menganggap makna kata tersebut dangkal dan tanpa persoalan, padahal didalamnya terdapat banyak makan yang tertera dalam al-qur’an dan as-sunah, pada sisi semantic kata tarbiyah sepada dengan kata ta’lim tadris, tahdzib, dan ta’dib, (diambil dalam al-qur’an dan al-hadits) sehingga kita akan mampu memaknai akar pendidikan.

Dalam pengantarnya Prof.DR.H. A. Tafsir menyatakan bahwa kebanyakan di Perguruan Tinggi dibuka jurusan tarbiyah/ pendidikan, mainstream masyarakat terkadang menganggap istilah ini tanpa persoalan, senyatanya makna yang tercover dalam lafadz ini memiliki akar yang sangat kaya dan kompleks. Ditegaskan oleh DR.H. Afif Muhammad MA menyatakan bahwa dalam aspek pendidikan, hal yang menjadi titik subatansi adalah membahas nilai-nilai moralitas, dan beliau mensinaylir bahwa pendidik khususnya sudah merasa komprehensip dalam mengajarkan pendidikan, padahal masih ada satu aspek yang sangat penting yaitu nilai moralitas yang belum benar-benar membumi, beliau mendeskripsikan dengan sebuah bangunan yang sepintas kuat, padahal bangunan tersebut belum ada pengujian layak pakai, pada saat angin berhembus dengan kencangnya ternyata bangunan itu roboh. Inilah yang senyatanya yang menjadikan pendidikan kita semakin terkikis oleh degradsi moralitas. Dalam buku ini dengan bahasa yang lugas dan cerdas penulis memaparkan secara radiks makna-makna yang tersirat dalam kata “Tarbiyah” dengan tinjauan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang menarik pada buku ini adalah sitematika penulisan dan istilah-istilah yang cukup sulit difahami dipaparkan secara mendalam dalam bab ke-7.

BAB I

PENDAHULUAN

Al-quran merupakan kalamullah, yang mempunyai essensi tentang ketentuan dan pedoman bagi segenap manusia agar mampu melaksanakan syariat islam dengan benar. Tentunya pedoman semestinya diimplementasikan secara kaffah, baik yang menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan, maupun pendidikan.

Kedudukan al-qur’an sebagai sumber pokok pendidikan islam dapat difahami dari ayat : Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-kitab (al-qur’an) ini, melainkan agarkamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajar orang-orang yang mempunyai fikiran.

Menurut Abu Hasan ‘Ali An-Nadwi bahwa pendidikan dan pengajaran umat islam itu harus berpedoman kepada aqidah islamiyyah yang berdasarkan al-qur’an dan al-hadits.

Dalam perkembangan sejarah peradaban islam sejak masa Nabi s.a.w. sampai masa keemasan islam di tangan bani Abbas, kata tarbiyat tidak pernah muncul dalam literatur pendidikan. Barulah pada abad modern ini kata tarbiyat mencuat ke permukaan sebagai terjemah dari kata dalam bahasa inggris, yaitu “education “.

Pada masa klasik, kata ta’dib digunakan untuk menujukan makna pendidikan, dan kata tersebut termaktub dalam sebuah hadits :

Tuhanku telah mendidikku sehingga menjadikan pendidikanku yang terbaik

Pengertian semacam ini digunakan sepanjang masa keemasan islam, sehingga ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia di sebut dengan “Abad”, dan penginstilahan ini berlaku pada ilmu-ilmu yang berkaitan langsung perihal keislaman maupun diluar bidang keislaman.

Kemudian para ulama melakukan proses spesifik terhadap ilmu pengetahuan, sehingga kata “adab” atau “ta’dib” jadi menyempit dan hanya dipakai untuk menunjuk kesusastraan dan etika. Konsekuensinya, ta’dib sebagai konsep pendidikan islam hilang dari peredaran dan tidak dikenal lagi. Maka, ketika ahli pendidikan islam bertemu dengan istilah “education” pada abad modern, mereka langsung menerjemahkannya dengan tarbiyat tanpa penelitian yang mendalam, padahal makna pendidikan dalm islam tidak sama dengan “education” yang dikembangkan di Barat.

Konsepsi tentang pendidikan islam pada masa ini, sudah terhegemoni oleh konsepsi-konsepsi pendidikan dunia barat, dan perlu adanya suatu rekontruksi pendidikan islam dan melakukan proses furifikasi ataupan melacak lewat kerangkan filosofis terhadap pendidikan islam agar sesuai dengan konsep-konsep yang diajarkan oleh Al-qur’an dan al-hadits.

Definisi pendidikan islam :

Muhammad Athiyyah Al-Abrasy, Pendidikan islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan baerbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmani, sempurna budi pekerti (akhlaq), teratur fikiran, halus perasaan, mahir dalam pekerjaan, dan manis tutur katanya baik lisan maupun tulisan.

Rentetan definisi ini memiliki konklusi bahwa pendidikan islam bertitik tekan pada penataan individu dan social agar tunduk dan taat terhadap aturan islam dan menerapkannya dalam ranah social.

BAB II

A. At-Tarbiyat

Tarbiyat merupakan kegiatan yang membawa manusia sedikit demi sedikit kepada kesempurnaan yang terwujud dalam beribadah kepada Allah, At-tarbiat adalah proses pengembangan, pemeliha-raan, penagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki bagi anak didik baik jasad, akal, jiwa, bakat, potensi, perasaan, secara berkelanjutan, bertahap, penuh kasih saying, penuh perhatian, kelembutan hati, menyenangkan, bijak, mudah diterima, sehingga membentuk kesempurnaan fitrah manusia, kesenangan, kemuliaan, hidup mandiri, untuk mencapai ridha Allah (definisi secara luas dan formal).

Secara general kata tarbiyah berasal dari tiga kata kerja yang berbeda : Raba-Yarbu ; yang bermakna nama-yamnu, artinya berkembang. Rabiya-Yarba yang bermakna nasya’a, tara’ra –a, artinya tumbuh Rabba-Yurabbu yang bermakna aslahahu, tawalla amrahu,sasa-ahu,wa qama ‘alaihi,wa ra’ahu yang berarti memperbaiki, mengurus,memimpin, menjaga, dan memeliharanya atau mendidik.

Secara etimologis, kata tarbiyah adalah masdar (asal kata) dari raba-yarbu-rabwan-rabaan.

At-Tarbiyat dalam Al-Quran :

1. Arbabun, terdapat dalm QS. Yusuf : 39. Al-Juzi mengatakan bahwa arbabun dalam ayat tersebut artinya berhala, baik kecil maupun besar.

2. Arbaban, terdapat dalam QS. Ali Imran : 64. Ath-Thabari, Al-Juzi, Al-Maraghi bahwa yang dimaksud arbaban pada ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi yang menjadikan pendeta-pendetanya (seperti ulama dalam bidang agama)

3. Ribbiyuna, terdapat dalam Q.S. Ali Imran : 146 “ sekelompok orang yang beribadah kepada Tuhannya, baik dari kelompok ahli fiqih, para ulama, para pengajar maupun pelajar/siswa”.

4. Rabiyan, , terdapat dalam Q.S. Ar-Ra’du : 17 “tinggi diatas air /mengambang diatas air”.

5. Rabiyyata, , terdapat dalam Q.S. Al-Haqqat : 10, “Kerasnya adzab/siksa Allah SWT”.

6. Rabwatan, , terdapat dalam Q.S. Mu’minun : 50, “tempat/tanah yang tinggi”.

7. Rabbat, , terdapat dalam Q.S. Fushilat : 39 dan Q.S. Al-Hajj : 5, “ memenuhi atau mengembang /meniggi, bertambah”.

8. Riba/ ar-riba, terdapat dalam QS. Ali Imran : 130, dan QS. Al-Baqarah : 257. kata riba/ ar-riba adalah az-ziyadah (bertambah atau berkembang).

9. Yarbu, , terdapat dalam Q.S. Ar-Rum : 39, “bersih atau berlipat ganda/bertambah”.

10. Yurbi, , terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah :276 “bertambah, berkembang, dan berlipat ganda”.

11. Arba, terdapat dalam QS. Al-Nahl : 92. arba berarti aktsara (lebih banyak). Keduanya menunjukkan arti yang tidak berbeda.

At-Tarbiyat dalam Al-Hadits

Kosakata yang ada dalam hadits baik dalam bentuk fi’l maupun dalam bentuk ism. Kata-kata tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tarubbu (menjaga, memelihara, dan mengurus).

2. Yurabbi (memelihara dari sejak kecil sampai besar)

3. Yurabbani ( kata Yurabbani, bermakna yasudani yang berarti memimpin).

4. Yurabbi (mendidik dengan unsur ta’lim di dalamnya).

5. Rabba (pemilik,menyempurnakan, penambah, mengamalkan)

6. Rabbi (Hadits Abu Hurairah Ra, “ Janganlah seorang buadk berkata “Rabbi” kepad tuanya).

7. Rabbuha (Rabb berarti pemilik, sedang rabbuha berarti hilangnya unta hingga ditemukan oleh pemiliknya).

8. Rabaib (kambing yang diurus di rumah bukan diluar).

9. Rabbaniyyin (mereka yang mendidik murid-murid dari mulai ilmu yang kecil/ mudah sebelum yang sulit). Juga, disebutkan orang yang pandai, beramal, dan pengajar. Dengan demikian, Rabbani (insan pendidik yang mendidik manusia dari masalah mudah ke masalah yang sulit).

BAB III

At-Ta’lim

At-ta’lim adalah pemberitahuan dan penjelasan tentang sesuatu yang meliputi isi dan maksudnya secara berulang-ulang, kontinu, bertahap, menggunakan cara yang mudah diterima, menuntut adab-adab tertentu, bersahabat, berkasih sayang, sehingga muta’alim mengetahui, memahami, dan memilikinya, yang dapat melahirkan amal saleh yang bermanfaat di dunia dan akherat untuk mencapai ridla Allah (definisi secara luas dan formal).

At-Ta’lim dalam al-qur’an menggunkan bentuk fi’il (kata kerja) dan isim (kata benda), dalam fi’il madliy disebutkan sebanyak 25 ayat dari 15 surat, Fi’il mudlari 16 kali dalam 8 surat.

Kata-kata at-Ta’lim dalam bentuk fi’l madliy (kata kerja lampau) adalah ‘allama ( ) dengan berbagai variasinya, antara lain:

1. QS. Al-Baqarah : 31

Al-Maraghi menjelaskan kata ‘allama dengan alhamahu (memberi Ilham), maksudnya Allah memberi Ilham kepada Nabi Adam a.s. untuk mengetahui jenis-jenis yang telah diciptakan beserta zat, sifat, dan nama-namanya.

2. Q.S. Ar-Rahman : 1-4

Kata Allama’ mengandung arti memberitahukan, menjelaskan, memberi pemahaman.

3. QS. Al-‘Alaq : 4-5

Ash-Shawi, Al-Maraghi, dan Al-Juzi menafsirkan makna ‘allama, dengan makna memberitahukan atau menyampaikan ilmu menulis dengan kalam, menjadikan kalam sebagai alat untuk saling memahami di antara manusia.

At-Ta’lim Dalam Hadits

Menurut Al-Asqalani, kata ta’lim nabi kepada umatnya, lai-laki dan perempuan dengan cara tidak mengunakan pendapatnya dan juga qiyas.

Secara struktur, kata hum dalam hadits menunjukan makna ta’lim bersifat umum,bagi siapa saja dan tingkatan usia.

BAB IV

At-Tadris

At-tadris adalah upaya menyiapkan murid ( mutadarris ) agar dapat membaca, mempelajari dan mengkaji sendiri, yang dilakukan dengan cara mudarris membacakan, menyebutkan berulang-ulang dan bergiliran, menjelaskan, mengungkap dan mendiskusikan makna yang terkandung di dalamnya sehingga mutadarris mengetahui, mengingat, memahami, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan mencari ridla Allah (definisi secara luas dan formal).

1. QS. Al-An’am : 105

Al-Maraghi menjelaskan kata darasta dengan makna yang umum, yaitu membaca berulang-ulang dan terus-menerus melakukannya sehingga sampai pada tujuan. Al-Khawrizmi, Ath-Thabari, dan Ash-Shuyuti mengartikan kalimat darasta dengan makna, “engkau membaca dan mempelajari”.

C. At-Tadris dalam Hadits

Al-Juzairi memaknai tadarrusu dengan membaca dan menjamin agar tidak lupa, berlatih dan menjamin sesuatu.

BAB V

At-Tahdzib

At-tahdzib adalah pembinaan akhlak yang dilakukan seorang muhadzdzib (guru) terhadap mutahadzdzib (murid) untuk membersihkan, memperbaiki prilaku dan hati nurani dengan sesegera mungkin karena adanya suatu penyimpangan atau kekhawatiran akan adanya penyimpangan, sehingga tahdzib itu dapat mewujudkan insan muslim yang berhati nurani yang bersih, berperilaku yang baik sesuai dengan ajaran Allah(definisi secara luas dan formal).

BAB VI

At- Ta’dib

At-ta’dib adalah penanaman, pembinaan, dan pengokohan akhlak pada diri anak dengan syariat Allah dan cara yang baik agar ia (muta’addib) berhati bersih, berperilaku baik, beriman, beramal saleh, dan bertaqwa untuk mencapai ridha Allah. (definisi secara luas dan formal).

KESIMPULAN

Berbagai konsepsi-kosepsi tentang pendidikan islam ini ternyata memiliki keunikan makna yang terkandung dalam Al-qur’an dan Al-Hadits, karena Al-qur’an bagaikan cahaya yang terpancar dalam setiap sudut mutiara yang menunjukan kekayaan makna lafad-lafadz dalam ayat-ayat al-qur’an.

kata at-tarbiyat, at-ta’lim, at-tadris, at-tahdzib, maupun at-ta’dib menunjukkan satu konsep pendidikan dalam Islam. Kelima istilah ini saling melengkapi dan tercakup dalam tujuan pendidikan islam yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Terjadi pada diri manusia dalam arti yang umum dan mengisyaratkan adanya komponen-komponen pokok dalam pendidikan, adanya isyarat bagi guru untuk meningkatkan diri, prosesnya bertahap dan berkelanjutan, menuntut adab-adab tertentu dan metode yang mudah diterima dan dilakukan dengan baik dan bijak, adanya tujuan perolehan pengetahuan/ pembinaan akal, perubahan ke arah yang lebih baik, melahirkan amal shalih, akhlak yang baik/ pendidikan jiwa, mewujudkan insan muslim sempurna, untuk taat beribadah memperoleh ridla Allah s.w.t.

Istilah At-tarbiyah lebih tepat digunakan sebagai kata yang mewakili pendidikan islam, hal ini memiliki landasdan filosofis : Q.S. Ali Imran ; 79, perintah untuk menjadi insan rabbani.

Wallahu A’lam Bisshowaab.....

Menyingkap Fenomena Ilahi tentang Kholifah Fil-Ard



Oleh : A_dhie_thea

Qudrat, kekuasaan Tuhan atas manusia, pada prinsipnya meliputi penciptaan,
pemeliharaan, dan penghancuran. Akan tetapi manusia adalah makhluk yang unik di alam semesta ini, maka kaitan kekuasaan Tuhan padanya pun menjadi spesifik.

kekuasaan Tuhan atas manusia yang diberi kehendak dan kekuatan oleh Tuhan sendiri. Atau, sejauh mana Tuhan mendelegasikan kekuasaan dan wewe­nang-Nya kepada manusia yang dengannya manusia diangkat sebagai khalifah di muka bumi dan kemudian akan diminta pertanggungjawaban di Hari Akhir (Eskatologis). Tuhan menciptakan manusia dengan segala sifat dasarnya.

“Kapan manusia perlama diciptakan Tuhan”? Persoalaan ini yang tidak dijawab al-Qur’an. Al-Qur’an hanya mengin­formasikan bahwa Tuhan mengumumkan kepada malaikat akan diciptakannya satu makhluk hidup yang diciptakan dari tanah seperti halnya yang tertera dalam firman Allah tentang penciptaan manusia ;

“Dan sesungguhnya Kami lelah menciptakan manusia dari suatu saripati yang berasal dari tanah (sulalat min thin). Kemudian Kami jadikan saripati air mani (nutfat) yang disimpan dalam tempat yang kokoh (qarar makin). Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqat lalu alaqat itu Kami jadikan mudgat, lalu mudgat itu Kami jadikan tulang, lalu tulang itu Kami bungkus dengan daging. Ke­mudian, Kami jadikan dia makhluk lain. Maha Berkahlah Allah sebaik-baiknya pencipla” (Q.S., 23:12-14).

Dalam penciptaan manusia ini melewati beberapa proses dan bisa dikatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-abiknya, kemudian konon katanya manusialah yang akan menjadi khalifat di muka bumi. Tuhan berfirman kepada malaikat:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang kholifah di bumi “ mereka berkata “mengapa engkau hendak menjadikan kholifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahan darah padahal kami bertasbih, dengan memuji engkau dan mensucikan engkau? Tuhan berfirman “ sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”(Q.S.Al-Baqarah ; 30 ).

Aku membuat khalifat di bumi” (Inni ja’il fi al-ardi khalifat). Di ayat lain dalam persoalan yang sama, Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku akan men­ciptakan manusia (basyar) dari tanah”, (Inni khaliq basyaran min thin)”. Ketika para malaikat mendengar Tuhan akan, menciptakan manusia yang bernama Adam untuk menjadi khalifat di muka bumi, mereka mempertanyakan seraya ber­kata: “Apakah Engkau akan menempatkan di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan dan akan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih memujiMu dan mengqudus­kanMu? Allah menjawab pertanyaan itu dengan berfirman: “Aku mengetahui apa-apa yang kalian tidak ketahui”

Tampaknya yang dimaksud dengan “khalifat” pada surah al-Baqarah di atas sama dengan “basyar” pada surah Shad( Q.S., 38:26. )di atas yaitu Adam karena kedua konsep itu diungkapkan dalam konteks kisah yang sama yang menceritakan pengumuman Allah kepada malikat tentang penciptaan makh­luk yang akan mengurus bumi. Hanya saja tampaknya, konsep “basyar” menunjuk jenisnya, sedangkan konsep “khilafat” menunjuk fungsi dan tugasnya. Konsep-konsep khalifat “bisa mempunyai dua kemungkinan arti”.

Pertama dengan disebutkannya Adam sebagai “khalifat” berarti Tuhan akan menyangkat Adam sebagai pemimpin di bumi. Konsep “khalifat” dalam arti pemimpin ditemukan da­lam surah Shad yang artinya: “Wahai Dawud Aku jadikan kamu sebagai “khalifat” di bumi, maka kamu harus mene­tapkan hukum dengan kebenaran”.

Kedua, konsep “khalifat” itu bisa berarti “sebagai peng­ganti” yang diambil dari kata “khalifat” sebagai tertera pada surah al-A’raf (Q.S., 7:169;), artinya: “Maka mengganti, setelah mereka, pengganti yang mewarisi al-Kitab”. Dengan pengertian ini berarti bahwa Adam meng­gantikan makhluk yang ada sebelumnya.sebenarnya, konsep Khilafat ini banyak pendapat-pendapat yang bermunculan ketika mengkaji masalah ini , ada yang berasumsi bahwa yang namanya “khilafat” ini adalah pemimpin pada suatu umat, adapula yang mengatakan bahwa konsep khilafat ini lebih di tujukan kepada seseorang yang berbuat baik yang bisa dijadikan sebagai panutan (uswatun hasanah).

menurut Ibn Katsir. “khalifat”' ialah orang yang mewakili (yakhluf) Allah akan menetapkan hukum dengan adil di tengah makhluk Allah, Kata “khalifat” pada ayat di atas memberi isyarat bahwa di muka bumi telah ada satu jenis atau lebih dari makhluk ber­akal yang telah lenyap. Kelompok inilah yang diberitakan Allah kepada malaikat untuk diganti. Kelompok ini perusak dan penumpah darah. dan karena itulah, para malaikat “memprotes” mengapa membuat penggantian makhluk demikian. Dengan demikian bila kesimpulan itu benar, maka Adam bukanlah manusia pertama di atas bumi. Selanjutnya tampak dari tradisi-tradisi cerita bangsa-bangsa yang di wariskan bahwa Adam bukanlah makhluk berakal pertama yang menempati bumi.

Dari Uraian di atas tampak bahwa al-Qur’an tidak menya­takan secara eksplisit bahwa Adam adalah manusia per­tama, melainkan Adam adalah manusia yang dijadikan wa­kil Allah untuk mengurus alam dengan adil, atau dia adalah makhluk pengganti dari makhluk berakal lain yang telah ber­ada lebih dulu dari Adam.

Bagaimana cara kekuasan Tuhan menciptakan Adam itu tidak diinformasikan al-Qur’an, kecuali, dia itu dibuat dari tanah dibuat dengan amr takwin “Kun fa yakun” (jadilah, maka jadila dia) dan dengan kekuasaan-Nya sendiri. Apakah dia lahir seorang ibu atau tidak, hal itu tidak diberitahukan al­Qur’an secara tegas, tetapi yang pasti dia dibuat dari tanah sebagaimana keturunannya, yang kepadanya ditiupkan ruh dari Tuhan. Untuk jelasnya, dapat dilihat di bawah ini ayat-ayat tentang penciptan Adam. Firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia (basyaran) dari tanah liat (thin) yang kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk, maka setelah Aku sempurnakan pembuatannya dan telah ku­tiupkan kepadanya ruh-Ku, bersujudlah kamu sekalian kepa­danya”. “Dia yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan memulai penciptaan manusia dari tanah (thin). kemudian, Dia menjadikan keturunannya dari saripati air hina, lalu Dia menyempurnakannya dan meniup­kan ruh-Nya kedalam dirinya. Dan Dia telah menjadikan untukmu sekalian pendengaran, penglihatan, dan fu’ad. tetapi sedikit sekali kamu sekalian bersyukur”. “Sesung­guhnya misal penciptaan Isa seperli Adam. Tuhan mencipta­kannya dari tanah kemudian Dia berkata kepadanya: “Jadi­lah kamu! maka jadilah dia”.

Untuk melangsungkan tugas kekhalifahan, Adam diberi Tuhan seorang wanita pendamping. Al-Qur’an mengungkap­kan hal itu:

“Wahai manusia taqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari seorang manusia (nafs), dan Dia ciptakan dari dia (minha) pasangannya, dan dari kedua­nya berkembanglah laki-laki dan perempuan yang banyak” (Q.S., 4:1).

Dengan dimasukkannya ruh ke dalam diri manusia, maka dia bukan sekedar makhluk biologis yang terdiri dan onggokan bahan kimia atau suatu struktur kimiawi yang mengikuti hu­kum-hukum alam yang merupakan mekanisme yang memper­lihatkan gejala hidup: bermetabolisme, tumbuh, dan berkem­bang biak. Akan tetapi, dia menjadi makhluk ruhani yang mempunyai kesadaran dan pribadi.

Sebagai makhluk ruhani, dia dibekali potensi-potensi, wa­tak-watak dasar (yang baik dan yang buruk), dan kehendak yang untuk memikul amanat yang tidak dapat dipikul oleh la­ngit, bumi dan gunung. Jadi manusia adalah makhluk bio­logis-ruhani yang di dalam dirinya terpendam potensi-potensi dan masalah.

Secara ringkas sifat-sifat negatif manusia itu adalah dia diciptakan lemah (da’if), suka putus asa (ya’usa), tidak sabar (‘ajula), aniaya serta serba tidak tahu (zhalum jahul) resah dan sangat kikir (jazu’a manu’a), paling banyak membantah (aksar sya’i jadala) dan sangat ingkar serta tak berterima kasih (kaffar/kafur/kanud).

Wallahu A'lam Bisshawaab...

Menelanjang Tafsir Hermeneutika

Oleh : A_dhie_thea


Dalam literatur sejarah yunani kuno, hermeneutik merupakan literatur yang terinspirasikan dari kata “Hermes”, seseorang yang dijadikan sebagai penafsir (interpretasi) terhadap kata-kata sakral (pesan) dari sang dewa untuk dikabarkan kepada masyarakat, mungkin dalam ajaran islam sering kita sebut sebagai Nabi. Lambat laun perjalan waktu “Hermes” ini diabadikan sebagai inspirasi dari istilah “Hermeneutik”.

Pasca dari mitos yunani, hermenutik mengalami perkembangan, kemudian digunakan sebagai pisau analisis dalam memahami pesan-pesan Tuhan dalam Bibel untuk diimplementasikan dalam realitas sosial. Pada fase awal, Hermeneutik lebih spesifik hanya menelaah pada kontaks kata-kata (teks), artinya hanya terfokus pada tataran maksud dari fikiran Tuhan secara tekstual. kemudian dalam fase pertengahan, Hermeneutik terpolarisasi dalam sektor Literal, Allegoris, Moral dan Eskatologis. Dalam hal ini terks-teks suci ini dipolarisasikan pada tataran kata,bahasa,moral dan hari akhir. Kemudian terjadinya akselesari Hermeneutik ini pada fase modern, dengan tokohnya Frederich Scheleirmacher pada abad ke-20, identitas Hermeneutik yang disuguhkan lebih pada tataran bahasa yang tertuang dalam teks ilahiyah, Scheleirmacher juga menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya. Kemudian muncul kembali seorang tokoh yaitu Gadamer dengan konsepsi “dimensi bahasanya”, menurutnya bahasa ini memiliki 2 dimensi :

a. Dimensi Internal ; pada aspek psikologis manusia dan intensional (kontruksi berfikir)

b. Dimensi Eksternal ; pada aspek ini manusia menerima respon dari luar, atau dimensi ini terbatas pada hal-hal yang berada diluar dimensi internal manusia.

Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks.

Menurut pendapat Wilhelm Dilthey hermeneutik merupakan metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutik adalah menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Dilthey berusaha untuk menemukan arti asli dari teks lalu menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si pengarang. Apa yang dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini Dilthey masih terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha meniadakan prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si pengarang.

Kunci pokok dalam menggunakan metode hermeneutik, kita perlu memahai dunia teks, bahasa yang digunakan apakah mengandung makna hakiki ataukah majazi, yang kemudian akan mempermudah dalam kerangka analisisnya. Kemudian lebih ekstreemnya kita seakan masuk dalam dunia pengarang (Pengalaman Tuhan) agar maksud-maksud yang tercover dalam teks yang menjadi curahan fikiran-fikiran Tuhan (dalam bahasa Hassan Hanafi) itu mampu tercerap oleh manusia. Sehingga dalam tataran praksisnya manusia mampu memahami secara komprehensif.

Menurut hemat penulis, Hermeneutik ini merupakan padanan katanya dengan Tafsir Bil-Ra’yi, namun ketika hermeneutik ini dijadikan sebagai pisau analisis untuk menafsirkan Al-qur’an ini yang kemudian menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan, katakanlah antara faksi fundamentalis dan liberalis, kaum fundementalis mengclaim bahwa “Haram” hukumnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan Al-qu’an, mungkin karena lahirnya hermeneutik ini dari orang-orang kafir (barat) sehingga imege building yang muncul adalah hermeneutik ini seakan menyetarakan derajat antara al-qur’an dan bibel, sedangkan faksi liberalis ini lebih egaleiter dalam memandang konsepsi hermeneutik dalam menafsirkan al-qur’an, sebab yang mereka jadikan hujjah adalah kerangka subtansi dari teks ilahiyah dalam Al-qur’an, bukan semata-mata mengagungkan konsepsi barat. Namun memang terkadang melenceng dari perbatasan yang telah ditentukan al-qur’an yang akhirnya teks-teks ilahiyah ini menjadi bias konsepsinya.

Pergolakan konsepsi ini setidaknya mampu dijadikan bahan refleksi bagi kita, sebenarnya polemik yang terjadi adalah dalam konteks “Pembenaran atas hujjah” bukan merupakan suatu “kebenaran!” Sehingga kita bebas untuk memilih antara kedua konsepsi dari kedua faksi tersebut sesuai dengan keyakinan yang kita miliki, namun yang menjadi titik kuiditas dari hermeneutik ini adalah bagaimana kita mampu mengakulturasikan konsepsi tafsir menurut pemikir islam dengan pemikir barat, sehingga kita lebih egaliter dan mampu membandingkan konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam memahami pesan ilahiyah yang tercover dalam teks suci. Justeru dengan munculnya metode hermeneutik ini cakrawala pemikiran kita akan mampu berkembang khusunya dalam peneafsiran, meskipun memang ketika hermeneutik ini dijadikan pisau analisis untuk al-qur’an ini maknanya menjadi absurd, namun setidaknya pengembangan grand thema dari teks ayatnya ini akan melebar dalam sub-sub makna yang dikandung, dalam sebuah bagan ini mungkin dapat memperjelas dalam memahami strategi analisisnya, misalnya
Kemudian dalam ayat al-qur’an tentag “Hukum Potong Tangan”, dalam konsepsi penulis penjabarannya sbb :

Ayat Al-Qur’an

Metode

Penjabaran

Hukum Potong Tangan

Bil-Ma’tsur

Memahami maknanya secara Hakiki (tekstual), sehingga orang yang mencuri ini dihukum dengan “Dipotong tangannya”

Bil-Ra’yi

Memahami maknanya secara Majazi, maksudnya diarahkan bagaimana seseorang itu agar tidak mencuri lagi, dengan istilah “Penjara”, yang menjadikan tangan seseorang itu tidak mampu berkutik mengambil hak orang lain.

Hermeneutik

Memahami secara historis munculnya ayat, kemudian kondisi sosial masyarakat pada saat itu, serta mencoba mengikuti alur dari pengalaman & fikiran-fikiran tuhan yang dimaksud. Sehingga substansi dari ayat tersebut mampu dilacak lebih jauh.

Wallahu A’lam Bisshawaab....

Pribumisasi 'Civil Society' dalam Pendidikan

Oleh : A_dhie_thea

Manusia[1] adalah hewan yang berfikir (al-hayawanu-natiq atau animal ratio) merupakan definisi lawas yang dilontarkan Aritoteles, yang menjadi titik diversitas antara manusia dengan mahluk lain adalah identitas pada diri manusia berupa potensi akal untuk menelaah fenomena yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupannya. Karena dalam aspek antropologis, manusia merupakan homo socius artinya mahluk yang bermasyarakat,[2] saling tolong menolong dalam rangka mengembangkan kehidupan di segala bidang.[3] Tentunya manusia merupakan pelaku konkrit mahkamah sejarah dalam mengemban amanah sebagai ‘kholifah fil-ard’.

Senyatanya kata ‘masyarakat’ merupakan bentuk kesepakatan sosial untuk memberikan identitas pada sekelompok manusia yang berkumpul yang terdiri dua atau lebih. Menurut Ralp Linton, Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.[4]

Meskipun terkadang kompleksitas problematika seringkali menghipnotis manusia menjadi sesuatu yang tidak ada bedanya dengan objek material yang seenaknya di eksploitasi. Sehingga lupa akan determinasi dalam diri manusia sebagai pelaku kongkrit mahkamah sejarah dalam kehidupan, tidak sedikit orang yang tidak menyadari tentang hakekat dirinya, dan untuk menyadari hakekat diri manusia tidak memperolehnya secara serta merta. Manusia muncul dari historisitas dan konsekuensi logisnya, manusia hidup dalam proses. Sehingga manusia membutuhkan “pendidikan” (Paulo Freire).[5],

Secara general, Pendidikan merupakan usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan.[6] Menurut seorang yang memiliki paham behaviorisme John Dewey (1985) Pendidikan merupakan proses yang tanpa akhir (Education is the process without end).[7] Tentunya eksistensi pendidikan[8] ini menjadi suatu keniscayan, betapapun tidak, dalam literatur sejarah diberbagai belahan dunia, urgensitas pendidikan menjadi komponen yang membentuk suatu peradaban.

Meskipun diskursus pendidikan bermunculan seiring dengan perkembangan zaman (IPTEK), yang menjadikan suatu sinyalemen bagi instrument yang bertanggung jawab atas pendidikan untuk bersama-sama melakukan suatu controlling dalam proses pendidikan, dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 diterangkan bahwa Instrumen yang bertanggung atas terselenggaranya pendidikan adalah keluarga, masyarakat, dan pemerintah.[9] Ketiga instrument ini merupakan 3 kekuatan yang semestinya saling mendukung dalam penyelenggaraan proses pendidikan. Menurut Tilaar (2001) Pendidikan dewasa ini dihadapkan pada 7 krisis pokok : (1) menurunnya akhlaq dan moral peserta didik, arus globalisasi dan modernisme ini menghantarkan efek degradasi moralitas dikalangan peserta didik, kenakalan remaja, narkoba dan sex bebas seakan mentradisi, pasalnya kemajuan IPTEK dialihfungsikan pada hal-hal yang negative serta lemahnya system controlling dari orang tua dan pihak sekolah.(2)Pemerataan kesempatan belajar, Wajar Dikdas 9 Th yang dijadikan kebijakan pemerintah ternyata belum merata, apalagi biaya pendidikan yang secara tidak langsung mengklasifikasikan peserta didik antara yang miskin dan kaya serta jaminan bekerja yang diberikan menjadikan minimnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya, sehingga mereka lebih memilih bekerja yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang menyekolahkan anak dengan harus mengeluarkan biaya yang melambung tinggi (3)masih rendahnya efesiensi internal system pendidikan (4)Status kelembagaan (5)Manajemen Pendidikan yang tidak sejalan dengan perkembangan (6) SDM yang belum professional.[10]

Senyatanya, kompleksitas problematiak dalam dunia pendidikan semakin kentara dan bukan hal yang tabu, justeru setiap komponen dalam pendidikan ini sudah terindikasi mengalami ketidak stabilan.

Penulis menspesifikasikan pada tataran masyarakat dalam konteks pendidikan, bagaimana responshibility dan urgensitas pendidikan secara filosofis, dengan melacak kebudayaan yang dibangun selama ini dan menawarkan sebuah konsepsi Nurcholis Majid tentang ‘ Masayarakat Madani’ yang merupakan pengggambaran terhadapa nilai-nilai masyarakat Madani yang dijsutifikasi terpancar dari nilai-nilai Islam yang tertuang di dalam Piagam Madinah. Adapun subsistem yang ada konsepsi “Masyarakat Madani” sebagai berikut :

(a) Egaliter. Kata egaliter menurut Marbun, bermakna kesetaraan. Egalitarian adalah paham yang mempercayai bahwa semua orang sederajat, sementara egalitarianisme diartikan sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia-manusia itu ditakdirkan sama, sederajat, tidak ada perbedaan kelas dan kelompok.

(b) penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi ( bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya). Nilai ini sama sekali tidak ada dalam Islam

(c) Keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif) sebagai ciri masyarakat Madani yang ketiga adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan untuk mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut Nurcholis akan memberi peluang pada adanya pengawasan sosial. Lebih lanjut Nurcholis mengatakan bahwa keterbukaan adalah konsekuensi dari prikemanusian, suatu pandangan yang melihat sesama manusia pada dasarnya adalah baik, sebelum terbukti sebaliknya. Oleh karenanya kita harus menerapkan prasangka baik (husnul-zhan), bukan prasangka buruk (su’uzhan) kecuali untuk keperluan kewaspadaan.

Konsepsi tentang “masyarakat Madani”ini merupakan suatu solusi untuk merespon problematika yang terjadi dalam dunia pendidikan belakangan ini, konsep egaliter mempunyai makna filosofis, bagaimana seorang pendidik mampu bersikap egaliter terhadap peserta didik tanpa membenda-bedakan antara di miskin dan si kaya, kemudian pemerintah sebagai otoriatas pemegang kebijakan dalam pendidikanpun mesti bersikap egaliter tanpa melihat backgroud lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, meskipun sudah melakukan langkah konkrit dengan membuat Undang-Undang No......tentang tidak adanya dikotomi antara negeri dan swasta, namun dalam tataran praktisnya masih belum compalibel dengan regulasi yang telah ditetapkan.

Berbagai problematika ini menjadi sebuah sinyalment bahwa manusia telah kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya dan keakuan yang senantiasa dimilikinya, karena ia bergantung kepada pengetahuan eksternal yang tidak berhubungan langsung dengan dirinya, yaitu pengetahuan yang hendak dicarinya dari luar dirinya.[11]



[1] Menurut Plato jiwa manusia adalah entitas non material yang dapat terpisah dari tubuh. Menurutnya, jiwa itu ada sejak sebelum kelahiran, jiwa itu tuidak dapat hancur (abadi), dan hakekat manusia itua da dua yaitu rasio dan kesenangan (nafsu) lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Rosdaykarya, Bandung, 2006 hal. 9.

[2] Masyarakat mencakup beberapa unsur : (a)Masyarakat sebagai manusia yang hidup bersama, Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis angka minimalnya adalah dua orang yang hidup bersama (b) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru, manusia itu juga bisa bercakap-cakap, merasa dan mengerti ; mereka juga memiliki keinginan-keinginan untuk menyempaikan kesan-kesan stau perasaan-perasaannya. Sebagai konsekuensi logis dari hidup bersama itu, tumbuhlah sistem komunikasi dan timbulah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dalam kelompok tersebut (c) mereka sadar bahwa mereka adalah satu kesatuan (d) Mereka merupakan satu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya. Lihat Soerjono Soekanto, Sossiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1990. hal.26-27

[3] Lihat Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan; hlm 2

[4] Lihat Soerjono Soekanto, Sossiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1990. hal.26

[5] Lihat Utomo Dananjaya ,Sekolah Gratis ; hlm.55

[6] Op Cit, hlm 2

[7] Lihat DR.H. Syaiful Sagala, M.Pd, Administrasi Pendidikan Kontemporer ; hlm.4

[8] Pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia, yang telah dinyatakan oleh orang-orang Yunani, lebih dari 600 tahun sebelum masehi. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Rosdaykarya, Bandung,2006 hal.33. dalam pilologi kata ‘ pendidikan’ biasanya diidentikan dengan kata ‘At-tarbiyah’ Tarbiyat merupakan kegiatan yang membawa manusia sedikit demi sedikit kepada kesempurnaan yang terwujud dalam beribadah kepada Allah, At-tarbiat adalah proses pengembangan, pemeliha-raan, penagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki bagi anak didik baik jasad, akal, jiwa, bakat, potensi, perasaan, secara berkelanjutan, bertahap, penuh kasih saying, penuh perhatian, kelembutan hati, menyenangkan, bijak, mudah diterima, sehingga membentuk kesempurnaan fitrah manusia, kesenangan, kemuliaan, hidup mandiri, untuk mencapai ridha Allah (definisi secara luas dan formal). Secara general kata tarbiyah berasal dari tiga kata kerja yang berbeda : Raba-Yarbu ; yang bermakna nama-yamnu, artinya berkembang. Rabiya-Yarba yang bermakna nasya’a, tara’ra –a, artinya tumbuh Rabba-Yurabbu yang bermakna aslahahu, tawalla amrahu,sasa-ahu,wa qama ‘alaihi,wa ra’ahu yang berarti memperbaiki, mengurus,memimpin, menjaga, dan memeliharanya atau mendidik. Lihat H. Drs. Dedeng Rosidin, Akar-Akar Pendidikan dalam Al-qur’an dan Al-Hadits, Pustaka Umat Bandung, 2003.hal. 15

[9] Lihat Dr. Redja Mudyahardjo, Filsafat ilmu Pendidikan,hlm. 56

[10] Lihat Kunandar, S.Pd, M.Si, Guru Profesional, hlm.14

[11] Lihat Sayyed Hosein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Moern; hlm. 6

Lunturnya Sakralitas Ijazah

Oleh : A_dhie_thea


Dalam literatur sejarah bangsa indonesia, Ijazah merupakan suatu konsep yang diterapkan oleh bangsa Belanda pada saat menjajah bangsa indonesia, meskipun konsep ijazah ini merupakan suatu pengejawantrahan atas pemikiran filsafat strukturalisme, yang lebih mementingkan simbol belaka.

Dulu, ijazah merupakan suatu kebanggaan dan bukti administrasi secara formal seseorang setelah melewati proses pembelajaran dalam suatu jenjang pendidikan baik SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Orang bisa dikatakan terpandang dan mempunyai keilmuan yang memadai manakala telah melewati jenjang pendidikan pada tahap Perguruan Tinggi. Bahkan masyarakat menganggap orang yang berpredikat Sarjana sebagai orang yang serba bisa. Tak peduli dia lulusan fakultas pendidikan, teknik mesin, ekonomi maupun yang lainnya, yang pasti orang tersebut pasti mampu menangani segala macam hal. Dan jumlah sarjana-nya pun relatif sedikit, kerena minimnya jumlah perguruan tinggi dan lokasi yang cukup jauh, sehingga minat masyarakat pun terkerangkeng oleh ruang dan waktu. Meskipun jumlah sarjana relatif sedikit, namun dalam segi kualitas keilmuan cukup memadai, karena ditopang dengan kegigihan dan keseriusan dalam mencapai ruh dari ilmu, dan benar-benar menghayati tentang makna pendidikan seumur hidup dan berorientasi pada ‘tholabul-ilmi’. Sehingga wajar bila produk pemikiran dan kapasitas keilmuan yang dimilikinyapun teruji. Meskipun pada saat itu teknologi belum begitu mendukung sepenuhnya. Kegigihan dan keseriusan terpancar dalam setiap gerak langkah para pencari ilmu, yang kelak akan menjadi seorang pendidik. Padahal senyatanya jika pada saat itu ditopang dengan teknologi yang memadai layaknya hari ini, mungkin akan banyak lahir seorang pendidik yang mempunyai kapasitas keilmuan yang memadai.

Dalam perkembangannya, ternyata perkembangan teknologi yang senyatanya mempau menopang transformasi keilmuan bagi para calon pendidik pada saat itu, justru membuat dinding pragmatisme-oportunisme, pengerjaan tugas yang serba praktis, bahkan teknologipun digunakan untuk salah satu media dalam pengedaan Perkuliahan di dunia maya, yang lebih berorientasi pada materialis ketimbang idealis keilmuan. Dan inilah yang senyatanya membuat degradasi keilmuan, kemudian semakin banyaknya inisiatif untuk membuaka perkuliahan model kelas jauh dan sejenisnya, dengan asumsi mempermudah seseorang untuk memperoleh gelar, dan tentunya gelar yang diperolehpun cederung pada kertas biasa yang kesakralannya masih dipertanyakan dan kapasitas keilmuan yang dimiliki oleh pemilik ijazah ini tidak sebanding dengan gelar yang diperoleh, akibatnya ketika mereka terjun dalam dunia praksis (sebagai pendidik) banyak mengalami berbagai kendala yang cukup signifikan, karena dis-orientasi dan kesalahan struktural dalam memperoleh gelar, senyatanya dalam UU. RI. No. 20 Thn. 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Atau dalam bahasa Ki Hajar Dewantoro pendidikan adalah tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Senyatanya, dalam berbagai jenjang pendidikan titik tumpuan yang mesti dijadikan oreientasi adalah ‘tholabul ilmi’ bukan semata-mata untuk mencari uang dan pekerjaan, karena semua itu hanyalah efek domino dari keahlian dan keilmuan yang kita miliki. Wajar jika hari ini tujuan nasional pendidikan belum tercapai secara maksimal dan wajah pendidikan semakin buram dan carut-marut. Mengatasi kegelisan ini pemerintah yang punya otoritas dalam kebijakan pendidikan ini membuat suatu regulasi untuk meng-counter gerak para pelaku dan pendiri kelas-kelas jauh, Sehingga pada tanggal 22 September 2000, diterbitkan surat Nomor: 2630/D/T/2000) yang ditandatangani oleh Direktur Dikti Satryo Soemantri Brodjonegoro (NIP 130889802). Ada empat hal yang penting dalam surat tersebut, yaitu: (1) Kelas jauh dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan.(2) Penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (bukan kelas jauh) selama ini ditangani oleh Universitas Terbuka, dan dalam waktu mendatang PTN lain dan PTS dapat melakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan pola seperti Universitas Terbuka atau menggunakan media teknologi informasi yang saat ini sudah sangat berkembang.(3) Untuk menjamin mutu dan keadilan dalam berkompetisi antara PTN dan PTS maka perlu ditetapkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan Jarak Jauh.(4) Segera setelah terbitnya keputusan tersebut maka PTN dan PTS dapat mengusulkan pelaksanaan pendidikan jarak jauh berdasarkan rambu-rambu yang berlaku.(5) Evaluasi akan dilakukan secara cermat terhadap usulan tersebut sebelum dikeluarkan ijin penyelenggaraan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Namun berbagai ide ini tidak sesuai dengan realita, justeru para pemegang kebijakan dan para pejabat dalam institusi pendidikan ini sebagai konseptor dan inisiator terselenggaranya perkuliahan kelas jauh, sehingga wajar bila regulasi ini hanyalah ‘kertas yang kosong akan nilai implementasi’. Dan tak ada ubahnya dengan kertas-kertas yang digunakan sebagai bungkus ‘bala-bala’ yang kesakralannya mulai meluntur terkena minyak oportunisme-pragmatisme.

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,