Oleh : A_dHie’ Cre_ ActivE
Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan pemerintah pusat yang berdampak cukup signifikan dan mendestruksi berbagai aspek, meskipun secara fungsionalitasnya mengedepankan nilai-nilai moralitas dalam tataran konsep dan tekhnis, namun UN ini menjadi sebuah polemik yang selalu hangat untuk diperbincangkan.
Konsep standarisasi nilai dalam UN memunculkan dampak psikologis pada setiap instrumen yang terkait, mulai dari Bupati, Dinas Pendidikan, Orang Tua, Guru maupun anak didik sendiri sebagai objeknya, Keresahan ini seolah menuntut seorang guru dan kepala sekolah melakukan upaya minimalisir ketidak lulusan, mulai dari pembentukan “tim sukses” dengan berbagai konskuensi, seolah UN ini menjadi proyek bersama elit-elit politik dunia pendidikan, dan ini merupakan proses pembodohan secara struktural dan berjama’ah. Karena hal ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan nasional pendidikan Indonesia yang tercantum dalam manuskrip UU Sisdiknas BAB II Dasar, Fungsi dan Tujuan pada pasal 3 menyatakan bahwa : “ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangungjawab”. Bila dalam tataran praktisnya terdapat banyak penyimpangan, lantas pendidikan kita ini akan mencetak peserta didik seperti apa? Jika dalam realitasnya terjebak dalam lingkaran dilematis.
Regulasi ini setiap tahunnya mengalami penaikan angka mulai dari 3,01 hingga 5,01. regulasi ini seolah menjadi ancaman bersama, sebetulnya peningkatan nilai standar ini bukan hal yang patut dijadikan polemik, namun karena hasil UN ini dijadikan standar kelulusan. Hal inilah yang menjadi substansi dari kontradiksi dikalangan akademisi selama ini, padahal standarisasi ini tercantum Dalam Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional pada pasal 35 ayat 1 menyatakan standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga pendidik, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala, Penjelasan pasal dan ayat tersebut antara lain berbunyi: Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan standar nasional yang disepakati. Namun dalam realitasnya, Ujian Nasional hanya mengukur kemampuan pengetahuan belaka, penentuan standar pun ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Padahal yang mengetahuai secara komprehensip peserta didik adalah pihak sekolah yang bersangkutan. Satu sisi ada gegenstand usaha untuk melakukan akselerasi dalam pembelajaran, misalnya : Bimbingan belajar, namun usaha itu hanya mampu dilakukan oleh siswa yang berlatar belakang mampu, sedangkan bagi siswa yang berlatar belakang miskin ini hanya sebatas utopia belaka, karena biaya yang harus dipersiapkan tidak sedikit.
Demam keresahan ini bukan hanya di rasakan oleh orang tua dan siswa, namun kepala sekolah dan guru pun turut serta terserang demam tersebut, mulai dari pembocoran kunci jawaban via sms sampai lobi-lobi terhadap tim independen, yang semula konsep tim independent yang diusung oleh pemerintah ini dijadikan sebagai resolusi atas penyimpangan atas dosa masa lalu, hingga saat ini masih dipertanyakan keindependenannya, seolah konsep ini hanya simbolik belaka yang menjadi kausal munculnya proyek independen, belum lagi pemerintah daerah pun merasakan keresahannya pasca UN, ketika daerahnya termasuk pada kategori terbanyak siswanya yang tidak lulus, maka keresahan ini akan semakin menjadi-jadi, bahkan berbagai usaha dilakukan hanya untuk meminimalisir kuota siswa yang tidak lulus, misalnya dengan lobi-lobi tingkat tinggi yang akhirnya berlaku istilah zakat independen. Hal lainnya, dalam Aspek Ekonomi, Penyelenggaraan Ujian Nasional merupakan suatu pemborosan biaya, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai 300 miliar, belum lagi dana pendamping dari pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Dalam konsep ini belum dibuat sistem regulasi yang jelas untuk anti tesis penyimpangan financial dana Ujian Nasional. Akibat dari sistem pengelolaan masih eksklusif dan bias dalam pertanggung jawabannya, lantas bagaimana siklus pendanaan yang dilakukan pemerintah?
Kompleksitas probematika UN ini menunjukan sinyalment bahwa pendidikan di negara kita terkontaminasi oleh budaya politik praktis, segala penyimpangan dan pelangaran hukum yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan UN seolah tertelan lobi-lobi politik, wajar saja bila pendidikan di indonesia berjalan tertatih-tatih. Seharusnya otoritas kelulusan siswa tidak hanya mengacu pada UN, namun UN hanya salah satu alat pertimbangan dalam kelulusan peserta didik. Untuk menentukan kelulusan peserta didik harus dilakukan akumulasi nilai yang dimulai dari keikutsertaan dalam program belajar peserta didik serta tingkah laku siswa selama menuntut ilmu di sekolah serta nilai dari ujian disatuan pendidikan. Oleh karenanya kriteria dan penentuan kelulusan dikembalikan sepenuhnya kepada satuan pendidikan dengan otoritas dari pendidik.
Hal ini sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) UU 20/2003 tentang Sisdiknas; “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Deskripsi pasal tersebut jelas memberikan otoritas kepada pendidik untuk melihat kemajuan-kemajuan peserta didik secara intens. Penilaian akhir dan kelulusan peserta didik diserahkan sepenuhnya kepada guru dan satuan pendidikan dengan melakukan evaluasi pembelajaran secara komprehensif sesuai amanat UU No 20/2005 tentang Sisdiknas, dan sebaiknya UN hanya dijadikan sebagai parameter dalam memetakan permasalahan pendidikan mulai dari tingkatan pusat hingga daerah, sebagai kerangka acuan pemerintah dalam membenahi SDM & Infrastrukur dunia pendidikan di Indonesia.
Wallahu A’lam Bisshawaab…
Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan pemerintah pusat yang berdampak cukup signifikan dan mendestruksi berbagai aspek, meskipun secara fungsionalitasnya mengedepankan nilai-nilai moralitas dalam tataran konsep dan tekhnis, namun UN ini menjadi sebuah polemik yang selalu hangat untuk diperbincangkan.
Konsep standarisasi nilai dalam UN memunculkan dampak psikologis pada setiap instrumen yang terkait, mulai dari Bupati, Dinas Pendidikan, Orang Tua, Guru maupun anak didik sendiri sebagai objeknya, Keresahan ini seolah menuntut seorang guru dan kepala sekolah melakukan upaya minimalisir ketidak lulusan, mulai dari pembentukan “tim sukses” dengan berbagai konskuensi, seolah UN ini menjadi proyek bersama elit-elit politik dunia pendidikan, dan ini merupakan proses pembodohan secara struktural dan berjama’ah. Karena hal ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan nasional pendidikan Indonesia yang tercantum dalam manuskrip UU Sisdiknas BAB II Dasar, Fungsi dan Tujuan pada pasal 3 menyatakan bahwa : “ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangungjawab”. Bila dalam tataran praktisnya terdapat banyak penyimpangan, lantas pendidikan kita ini akan mencetak peserta didik seperti apa? Jika dalam realitasnya terjebak dalam lingkaran dilematis.
Regulasi ini setiap tahunnya mengalami penaikan angka mulai dari 3,01 hingga 5,01. regulasi ini seolah menjadi ancaman bersama, sebetulnya peningkatan nilai standar ini bukan hal yang patut dijadikan polemik, namun karena hasil UN ini dijadikan standar kelulusan. Hal inilah yang menjadi substansi dari kontradiksi dikalangan akademisi selama ini, padahal standarisasi ini tercantum Dalam Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional pada pasal 35 ayat 1 menyatakan standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga pendidik, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala, Penjelasan pasal dan ayat tersebut antara lain berbunyi: Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan standar nasional yang disepakati. Namun dalam realitasnya, Ujian Nasional hanya mengukur kemampuan pengetahuan belaka, penentuan standar pun ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Padahal yang mengetahuai secara komprehensip peserta didik adalah pihak sekolah yang bersangkutan. Satu sisi ada gegenstand usaha untuk melakukan akselerasi dalam pembelajaran, misalnya : Bimbingan belajar, namun usaha itu hanya mampu dilakukan oleh siswa yang berlatar belakang mampu, sedangkan bagi siswa yang berlatar belakang miskin ini hanya sebatas utopia belaka, karena biaya yang harus dipersiapkan tidak sedikit.
Demam keresahan ini bukan hanya di rasakan oleh orang tua dan siswa, namun kepala sekolah dan guru pun turut serta terserang demam tersebut, mulai dari pembocoran kunci jawaban via sms sampai lobi-lobi terhadap tim independen, yang semula konsep tim independent yang diusung oleh pemerintah ini dijadikan sebagai resolusi atas penyimpangan atas dosa masa lalu, hingga saat ini masih dipertanyakan keindependenannya, seolah konsep ini hanya simbolik belaka yang menjadi kausal munculnya proyek independen, belum lagi pemerintah daerah pun merasakan keresahannya pasca UN, ketika daerahnya termasuk pada kategori terbanyak siswanya yang tidak lulus, maka keresahan ini akan semakin menjadi-jadi, bahkan berbagai usaha dilakukan hanya untuk meminimalisir kuota siswa yang tidak lulus, misalnya dengan lobi-lobi tingkat tinggi yang akhirnya berlaku istilah zakat independen. Hal lainnya, dalam Aspek Ekonomi, Penyelenggaraan Ujian Nasional merupakan suatu pemborosan biaya, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai 300 miliar, belum lagi dana pendamping dari pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Dalam konsep ini belum dibuat sistem regulasi yang jelas untuk anti tesis penyimpangan financial dana Ujian Nasional. Akibat dari sistem pengelolaan masih eksklusif dan bias dalam pertanggung jawabannya, lantas bagaimana siklus pendanaan yang dilakukan pemerintah?
Kompleksitas probematika UN ini menunjukan sinyalment bahwa pendidikan di negara kita terkontaminasi oleh budaya politik praktis, segala penyimpangan dan pelangaran hukum yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan UN seolah tertelan lobi-lobi politik, wajar saja bila pendidikan di indonesia berjalan tertatih-tatih. Seharusnya otoritas kelulusan siswa tidak hanya mengacu pada UN, namun UN hanya salah satu alat pertimbangan dalam kelulusan peserta didik. Untuk menentukan kelulusan peserta didik harus dilakukan akumulasi nilai yang dimulai dari keikutsertaan dalam program belajar peserta didik serta tingkah laku siswa selama menuntut ilmu di sekolah serta nilai dari ujian disatuan pendidikan. Oleh karenanya kriteria dan penentuan kelulusan dikembalikan sepenuhnya kepada satuan pendidikan dengan otoritas dari pendidik.
Hal ini sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) UU 20/2003 tentang Sisdiknas; “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Deskripsi pasal tersebut jelas memberikan otoritas kepada pendidik untuk melihat kemajuan-kemajuan peserta didik secara intens. Penilaian akhir dan kelulusan peserta didik diserahkan sepenuhnya kepada guru dan satuan pendidikan dengan melakukan evaluasi pembelajaran secara komprehensif sesuai amanat UU No 20/2005 tentang Sisdiknas, dan sebaiknya UN hanya dijadikan sebagai parameter dalam memetakan permasalahan pendidikan mulai dari tingkatan pusat hingga daerah, sebagai kerangka acuan pemerintah dalam membenahi SDM & Infrastrukur dunia pendidikan di Indonesia.
Wallahu A’lam Bisshawaab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar