Kamis, 08 Januari 2009

MASA KEEMASAN ISLAM "Antara Romantisasi & Romantisme


Oleh : A_dhie

Konsep Normativitas Islam merupakan konsep pemikiran yang bersifat tekstual, apa yang tercantum dalam sebuah teks itu diartikan sebagai sesuatu yang bersifat tetap tanpa menelaah secara mendalam apa yang menjadi tujuan (dunia teks ), dan pemikiran seperti ini identik dengan sikap “Romatisme Sejarah Islam”sedangkan konsep pemikiran Historisitas Islam berbicara pada ruang lingkup Islam yang menyejarah dan memiliki haluan kontekstual serta menjunjung tinggi wilayah substansi atas segala hal yang menjadi peraturan, serta identik dengan sikap “Romantisasi Islam”.

Pergolakan ini semakin kental dan mulai berkarat, Menurut Ziauddin Sardar dalam bukunya “Merombak pola fikir intelektual muslim” mengatakan bahwa konflik semacam ini menghambat peradaban Islam, sedangkan Peradaban Islam sangat membutuhkan kaum intelektual sejati, jika tidak, kaum muslim hanya akan berputar-putar pada komunitas tanah tandus yang vakum intelektual, dan keadaan umat yang sudah marginal akan semakin tersisih, disini dibutuhkan kaum intelktual yang mampu menyeimbangkan antara Islam yang normatif (niliai-nilai keIslaman/tekstual) dengan historisitas (Islam yang menyejarah/kontekstual) ,artinya seorang muslim mampu bersaing dengan rintangan yang mungkin muncul di era hegemoni global ini.[1]

Suatu masyarakat yang tidak memiliki kaum intelektual tidak akan mampu bekerja efektif, bahkan tidak akan mampu untuk mendeskripsikan suatu permasalahan yang sedang dihadapinya.

Menurut Sayyid Naquib Al-Attas bahwa imanensi kaum intlektual merupakan kontribusi rill dalam pembangunan peradaban suatu masyarakat ataupun negara. Artinya peranan kaum intelektual mempunyai tanggung jawab yang tidak kalah pentingnya dengan para penguasa formal dalam upaya membangun masyarakat yang beradab. Dalam proses pencerahan kaum intelektual akan mampu membawa masyarakat pada ideologi agama yang benar.

Menurut Al-Kindi, bahwa berpijak pada kebenaranlah persaudaraan universal dapat terwujud. Dalam kondisi masyarakat yang plural, dibutuhkan persepsi bahwa kebenaran tidak bisa diklaim oleh komunitas agama tertentu, kebenaran hanya milik Allah SWT yang dalam praktik nyata sehari-hari ia akan mengambil bentuk sejalan dengan hukum-hukum objektif yang menguasai kehidupan manusia secara universal.

Sebuah penemuan ilmiah pada dirinya sendiri sebenarnya hanya mengabdi pada tata nilai kemanusiaan yang universal, dan tidak hanya dimaksudkan untuk mengabdi kepada segelintir manusia yang berniat memusnahkan manusia lain nya. Jika sejahat itu tujuan pencapaian peradaban modern diprioritaskan seharusnya manusia meninggalkanya sejak lama, dan perlu dicatat bahwa ilmu pengetahuan modern itu bebas nilai, manusialah yang membuat ilmu itu menjadi maslahat atau madharat.

Islam adalah salah satu agama besar yang telah melahirkan peradaban dunia yang menonjol hingga masa modern ini, dan tidak hanya dijazirah arab saja akan tetapi sudah menyebar di segala penjuru dunia, dan perwujudannya masih tetap dipelihara dan diperjuangkan menjadi identitas kolektif yang dominan.

Peradaban modern yang kita cintai sekaligus kita kecam ini, pada mulanya memuat berbagai fragmentasi kebutuhan manusia akan hadirnya sebuah masyarakat yang berkeadaban, masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan secara universal, tanpa membedakan asal-usul (etnis) ataupun perbedaan agama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dulu, masyarakat yang seperti inilah yang disebut Masyarakat Madani (Civil Society),masyarakat yang mencintai prinsip-prinsip musyawarah(Demokratisasi), Keadilan (Egaliterianisme), dan keterbukaan (Inklusifisme) menurut khazanah pemikiran Islam.

Masyarakat madani identik dengan yang namanya akhlaq, sebenarnya akhlaq merupakan pancaran dalam yang bersifat fitrah. Pancaran fitrah ini yang menjadikan manusia mampu membedakan antara baik dan buruk.atau dengan kata lain sebagai ruh ketuhanan yang sering di gembor-gemborkan oleh para filsuf, kejernihan hati seorang muslim menghadapi problematika ini sangat di perlukan, tentunya dengan segala potensi yang telah Allah karunikan kepada kita ,karena hati adalah aset berharga. Untuk mengembalikan harga diri umat Islam dan Islam menjadi sebuah solusi dalam peradaban, di era globalisai ini dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai integritas moral, dan mempunyai sifat yang merakyat (polpulasi), yang egaliter disamping kemampuan dan kemauannya.[2] Serta perlu ditopang dengan sikap ukhuwwah Islamiyah agar terwujudnya masyarakat madani yang selalu menjadi dambaan umat Islam, dan perbedaan konsep memahami Islam tidak perlu dijadikan hijab untuk selalu bersatu.dan perseteruan yang kadang terjadi selama ini dijadikan sebuah ibrah untuk kedepan, dan semoga konsep Islam kaffah menjadi salah atu tujuan kita dengan menanamkan kesadaran iman,orientasi hidup, penajaman ruhani agar terlahir kembali karakter seorang mukmin. Dan menjadikan Islam sebagai solusi segala problematika peradaban tanpa romantisme sejarah akan tetapi romantisasi sejarah Islam.

Wallahu A’lam bishowab.

REFERENSI :

1. Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam,Bandung, PT Mizan Pustaka,2004

2. Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers,2001

3. Dr.Thohir Luth, Masyarakat Madani Solusi DamaiDalam Perbedaan, Jakarta, PT Mediacita,2002

4. Dr.Iman Abdul Mukmin Sa’adudin, Meneladani Akhlak Nabi, Bandung,PT Remaja Rosdakarya,2006

5. Ensiklopedi Tematis, Akar dan Awal, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002

6. KH.Abdullah Gymnastiar, Meraih bening hati dengan Manajemen Qolbu, Jakarta, Gema Insani Press,2002

7. H.Abdul Mannan, Membangun Islam Kaffah,Bekasi,Madina Pustaka,1998

8. Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, Jakarta, PT Listafariska Putra,2000

9. Dr.KH.Miftah Faridl, Islam Ukhuwah Ikhtiar membangun kesalehan sosial, Bandung,PT Remaja Rosdakarya, 2003

10. Muhammad Baqir Shadr, Manusia masa kini dan problema sosial, Bandung,Pustaka,1984


8

[2] Lihat Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, hlm.83

Tidak ada komentar: