Oleh : A_dHie
Sakralisasi awalnya hanya dipakai dalam istilah-istilah yang biasa dipergunakan para teolog, dalam menjelaskan satu konsep keagamaan. Namun, searah dengan bergulirnya zaman dan pemikiran, maka kata sakralisasi atau sakralisme, kini telah menjadi satu icon bersama yang digunakan dalam segala aspek.
Hal tersebut seolah menjadi konflik tersendiri, dalam kehidupan masyarakat perkotaan saat ini. Artinya tak sedikit orang menggunakan dan melarapkan sakralitas dalam berbagai kondisi. Misalnya saja, seolah benar, ketika ada satu kebijakan yang dilontarkan oleh seorang pemimpin mengenai satu peraturan, jika tidak diapresiasikan oleh rakyatnya, maka rakyat tersebut terancam, “diberhentikan” menjadi warga negaranya.
Memang, konflik menjadi sesuatu yang real dalam dinamika kehidupan manusia, yang melibatkan kaum borjuis dan proletar, sudah menjadi satu sejarah dunia, bahwa perseteruan kaum borjuis dan proletar, akan terus berlangsung, sampai dunia menutup mata.
Karena itu, jangan heran ketika, ada satu pernyataan yang dilontarkan seorang politikus, kawakan dari RRC yaitu Mao Zedong yang menganggap dinamika kehidupan muncul atas dasar konflik. Sementara, dalam Realitasnya, tak sedikit, orang yang telah terjebak dalam utopis kehidupan manusia, seolah kita memenjarakan diri kita tanpa sadar, sedangkan, arus Penjajahan “Global Village” terus menerjang dari berbagai aspek kehidupan manusia, dan mencoba membawa kita pada keterasingan.
Beberapa dekade, masyarakat Purwakarta dihadapkan pada kontradiksi “Relokasi pasar rebo” yang cukup krusial dan mengakibatkan baku hantam antar kubu pro & kontra, tapi ternyata, hasilnya nihil. Begitu pula, kata “Masih dalam proses” -lah yang biasanya dijadikan alibi, sehingga lambat laun, kasus-kasus tersebut seakan ditelan bumi.
Namun, dengan mencuatnya isue dugaan korupsi, yang melibatkan unsur incomben di Purwakarta, seolah menjadi satu cara untuk lari dari satu masalah dan masuk pada masalah yang lain. Akhirnya, berbagai persoalan yang tengah dihadapi, oleh masyarakat Purwakarta tetap menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan..
Belum sempat masyarakat Purwakarta menghela napasnya. Kini, masyarakat, dihadapkan kembali dengan carut marutnya pesta demokrasi yang telah digelar 20 Januari, belum lama ini.
Karena itu, dengan realitas tersebut, seyogiannya masyarakat tidak serta merta menerima semua kebijakan atau hasil putusan para wakil rakyat yang duduk di gedung putih. Namun, posisikan stake holder juga wakil rakyat sebagai pelayan masyarakat. Sehingga tidak terkesan kita “justru yang menjadi pelayan mereka”.
Pasalnya, saat ini hampir sebagian besar masyarakat yang menganggap segala sesuatu yang bersumber dari dua lembaga tersebut sudah menjadi satu konsep atau keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Padahal, pemerintah yang baik dan bersih adalah pemerintah yang memiliki sifat serta sikap yang akomodatif.
Selain itu juga, memiliki jiwa lapang dada ketika menerima kritikan yang membangun dari kalangan civitas akademisi.
Ketika kondisi ini, dibiarkan berlarut-larut. Dapat dipastikan institusi pemerintahan ibarat iblis yang menakutkan, apalagi bagi kalangan proletar. Pemerintah akan dipandang ibarat binatang buas yang siap menerkam. Alih-alih, masyarakat bisa mendukung seabreg program pemerintah. malah justru sebaliknya, akan menjauhi pemerintah.
Saat ini, seolah sketsa wajah pemimpin bagaikan berlindung dibalik sebuah sakralitas institusi hanya demi sebuah kepentingan lainnya. Buktinya, setelah konflik PILKADA tengah menjadi buah bibir diberbagai kalangan masyarakat, kini masyarakat disibukan kembali dengan munculnya satu kebijakan pemerintah yang mengagendakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD Purwakarta tahun 2008. Jika demikian adanya, akankah pasca mencuatnya persolaan APBD ini, akan muncul kembali konflik-konflik lainnya yang dibangun?
Wallahu A’lam Bisshawab…..***A_dHie
Sakralisasi awalnya hanya dipakai dalam istilah-istilah yang biasa dipergunakan para teolog, dalam menjelaskan satu konsep keagamaan. Namun, searah dengan bergulirnya zaman dan pemikiran, maka kata sakralisasi atau sakralisme, kini telah menjadi satu icon bersama yang digunakan dalam segala aspek.
Hal tersebut seolah menjadi konflik tersendiri, dalam kehidupan masyarakat perkotaan saat ini. Artinya tak sedikit orang menggunakan dan melarapkan sakralitas dalam berbagai kondisi. Misalnya saja, seolah benar, ketika ada satu kebijakan yang dilontarkan oleh seorang pemimpin mengenai satu peraturan, jika tidak diapresiasikan oleh rakyatnya, maka rakyat tersebut terancam, “diberhentikan” menjadi warga negaranya.
Memang, konflik menjadi sesuatu yang real dalam dinamika kehidupan manusia, yang melibatkan kaum borjuis dan proletar, sudah menjadi satu sejarah dunia, bahwa perseteruan kaum borjuis dan proletar, akan terus berlangsung, sampai dunia menutup mata.
Karena itu, jangan heran ketika, ada satu pernyataan yang dilontarkan seorang politikus, kawakan dari RRC yaitu Mao Zedong yang menganggap dinamika kehidupan muncul atas dasar konflik. Sementara, dalam Realitasnya, tak sedikit, orang yang telah terjebak dalam utopis kehidupan manusia, seolah kita memenjarakan diri kita tanpa sadar, sedangkan, arus Penjajahan “Global Village” terus menerjang dari berbagai aspek kehidupan manusia, dan mencoba membawa kita pada keterasingan.
Beberapa dekade, masyarakat Purwakarta dihadapkan pada kontradiksi “Relokasi pasar rebo” yang cukup krusial dan mengakibatkan baku hantam antar kubu pro & kontra, tapi ternyata, hasilnya nihil. Begitu pula, kata “Masih dalam proses” -lah yang biasanya dijadikan alibi, sehingga lambat laun, kasus-kasus tersebut seakan ditelan bumi.
Namun, dengan mencuatnya isue dugaan korupsi, yang melibatkan unsur incomben di Purwakarta, seolah menjadi satu cara untuk lari dari satu masalah dan masuk pada masalah yang lain. Akhirnya, berbagai persoalan yang tengah dihadapi, oleh masyarakat Purwakarta tetap menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan..
Belum sempat masyarakat Purwakarta menghela napasnya. Kini, masyarakat, dihadapkan kembali dengan carut marutnya pesta demokrasi yang telah digelar 20 Januari, belum lama ini.
Karena itu, dengan realitas tersebut, seyogiannya masyarakat tidak serta merta menerima semua kebijakan atau hasil putusan para wakil rakyat yang duduk di gedung putih. Namun, posisikan stake holder juga wakil rakyat sebagai pelayan masyarakat. Sehingga tidak terkesan kita “justru yang menjadi pelayan mereka”.
Pasalnya, saat ini hampir sebagian besar masyarakat yang menganggap segala sesuatu yang bersumber dari dua lembaga tersebut sudah menjadi satu konsep atau keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Padahal, pemerintah yang baik dan bersih adalah pemerintah yang memiliki sifat serta sikap yang akomodatif.
Selain itu juga, memiliki jiwa lapang dada ketika menerima kritikan yang membangun dari kalangan civitas akademisi.
Ketika kondisi ini, dibiarkan berlarut-larut. Dapat dipastikan institusi pemerintahan ibarat iblis yang menakutkan, apalagi bagi kalangan proletar. Pemerintah akan dipandang ibarat binatang buas yang siap menerkam. Alih-alih, masyarakat bisa mendukung seabreg program pemerintah. malah justru sebaliknya, akan menjauhi pemerintah.
Saat ini, seolah sketsa wajah pemimpin bagaikan berlindung dibalik sebuah sakralitas institusi hanya demi sebuah kepentingan lainnya. Buktinya, setelah konflik PILKADA tengah menjadi buah bibir diberbagai kalangan masyarakat, kini masyarakat disibukan kembali dengan munculnya satu kebijakan pemerintah yang mengagendakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD Purwakarta tahun 2008. Jika demikian adanya, akankah pasca mencuatnya persolaan APBD ini, akan muncul kembali konflik-konflik lainnya yang dibangun?
Wallahu A’lam Bisshawab…..***A_dHie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar