Minggu, 16 Agustus 2009

Karakteristik Berfikir Kritis

KARAKTERISTIK BERFIKIR KRITIS

Oleh : a_dhie

Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:

  1. Watak (dispositions) Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
  2. Kriteria (criteria) Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
  3. Argumen (argument) Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.
  4. Pertimbangan atau pemikiran (reasoning) Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.
  5. Sudut pandang (point of view) Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
  6. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria) Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.

Jumat, 26 Juni 2009

Konsepsi Manusia Tentang Tuhan

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan harus mengikuti alur berfikir manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran,tidak boleh ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 ‘dibunuh’ Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan. Mungkin bila Imam Al-Ghazali masih hidup beliau sudah membantai konsepsi-konsepsi “Religion” barat dengan Tahfut-nya.

Pergolakan pemikiran di Barat tentang “ Agama” ini nampaknya sudah pada titik kulminasi, para sosiolog barat mengatakan agama adalah fanatisme, kemudian F. Schleiermacher menyatakan bahwa Agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence) itulah sederetan konsepsi yang akhirnya memunculkan fantisme golongan, tak kalah peliknya Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”, bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”.Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan bisa dibunuh.

Nampaknya, tak ada salahnya konsepsi tentang “ Barat maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan Islam mundur karena meninggalkan agamanya”, islam sebagai rahmatan lil alamiin disinyalir hanya sebatas wacana transendental Pasalnya, tragedi kekerasan di monas menjadi sinyalment bahwa konsepsi tersebut masih melangit dan belum benar-benar terimplementasikan dalam realitas sosial, alhasil, tragedi tersebut hanya mempertebal fanatisme golongan serta ausnya tongkat ukhuwwah islamiyyah.

Kontradiksi ini semakin memperjelas dinding pemisah antar golongan, dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan ini terlalu berlebihan, seakan “Tuhan & Surga-Nya” adalah milik pribadi mereka, sehingga fanatisme & tirani yang akhirnya mencuat yang secara otomatis membetulkan segala konsepsi-konsepsi barat bahwa islam teroris dan penuh kekerasan, dengan di amini oleh tragedi kemarin.

Rentetan kekerasan yang bukan kali pertama terjadi, disinyalir karena pemahaman keislaman yang semakin absurd, kalimat suci “Allahu Akbar” kini sudah dis-orientasi untuk mendzholimi orang lain dengan asumsi jihad fi sabilillah, bukankah masih banyak stretegi lain untuk memecahkan pergolakan ini? Apakah islam mengajarkan untuk berseteru dan menganiaya kaum hawa dan anak kecil? Orientasi keislaman kita nampaknya sudah terpolarisasi oleh cultur simbolistik.

Senyatanya, umat islam mesti waspada terhadap pemikiran-pemikiran tokoh hanya karena gelarnya sudah mencapai profesor, namun kita tetap bersikap kritis terhadap pemikiran mereka, bukan sebaliknya, kita mengadopsi secara besar-besaran pendapat mereka, alhasil kita terpolariasi oleh konsep kaum sofisme (kaum idealisme-materialisme) dan mengakibatkan paradigma berfikir kita merelatifkan segala sesuatunya, karena standar yang digunakan oleh kaum sofis, sesuatu itu dikatakan ilmiah atau ada jika dapat dicerap oleh panca indera, baru bisa dikatakan sebagai sesuatu yang logis lagi rasional. Senyatanya, pemikiran-pemikiran mereka ini sudah saatnya untuk gulung tikar, rasionalitas terhadap konsep-konsep yang ditawarkan ini sudah terbantahkan, bukankah akal mereka juga gaib/ bersifat metafisik, dan tak terinderakan bagaimana wujud akan senyatanya, standar panca indera yang mereka gunakan tidak perlu dijadikan sebagai pegangan kita.

Pemikiran kaum sofis ini berujung pada atheisme, mereka mengangap bahwa Tuhan hanya sebatas konsepsi-konsepsi yang dibuat-buat oleh manusia karena Tuhan tidak tercerap oleh indera, bahkan Sigmun Frued mengatakan hal itu muncul dalam diri manusia akibat ‘Neorosis Obsesional’ (Obsesi yang tek tercapai) atau lugasnya dia mengatakan, bahwa orang yang mempercayai adanya Tuhan itu adalah orang yang terjangkit gangguan jiwa, dan Tuhan itu muncul dari kebodohan-kebodohan orang dulu yang tidak mampu menerjemahkan peristiwa alam (fenomena alam) sehingga mereka menyimpulkan hal ini dilakukan oleh Tuhan.

Betapa menyesatkannya pemikiran-pemikiran kaum sofis ini, hegemoni pemikiran yang cenderung dilakukan dengan rapih ini mesti kita waspadai dengan selalu kritis terhadap pemikiran-pemikiran mereka.

Wallahu A’lam Bisshawaab...

Dari Rakyat Oleh Rakyat untuk Pejabat


Dalam literatur sejarah, Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa antara abad XVII sampai dengan abad XVIII M. Trias Politica merupakan suatu konsepsi yang beranggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan. Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat Undang-Undang (legislasi); kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan Undang-Undang; ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.

Disamping itu, Trias politica mengajarkan kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, pasalnya, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin dan terakomodir.

Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris. Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan Undang-Undang; kekuasaan eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili; dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).

Selanjutnya, pada 1748, filsuf Prancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L'Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Prancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya. Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang).

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang/lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.

Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya, tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan Undang-Undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu, bila satu orang atau badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.

Tentunya, memang permalahan ‘demokrasi’ ini cukup pelik, apakah memang di indonesia ini sudah benar-benar menanamkan konsep demokrasi atau demokrasi hanya sebatas konsepsi yang melangit yang senyatanya tidak pernah membumi? Bila kita telisik fenomena dan tindakan eksekutor, legislator, dan yudikator, tak jarang kita melihat ‘demokrasi kaum penjahat’ yang hanya menghisap APBN atau APBD hanya untuk memperkaya diri. idealnya tiga macam kekuasaan ini bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya, namun virus dis-ekuilibrium (ketimpangan) ini semakin nampak, terbukti dengan sikap apatis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah baik yang bersifat sektoral maupun lintas sektoral. Perancangan undang-undang, perda, maupun perbup ini dinilai tak pernah membumi, contoh kongkrit perda 2007 tentang wajibnya menggunakan ijazah MD untuk melanjutkan kejenjang SLTP/SMP ternyata hingga detik ini hanya sebatas kertas yang tak jauh bedanya dengan bungkus bala-bala.

Rancangan Undang-undang apapun senyatanya hanya menghabiskan APBD belaka. Lantas demokrasi seperti apa di Indonesia ini, sepertinya sudah terjadi transvaluasi (perubahan makna) demokrasi. bukan lagi ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’ akan tetapi ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk penguasa’. Oleh karenanya, fungsi parlmen jalanan ini mesti diaktualisasikan sebagai controlling terhadap berbagai kebijakan yang digulirkan, dan sepertinya merupakan harga mati, betapatidak eksistensi parlemet jalanan ini sebagai penyambung lidah masyarakat. Namun ternyata ‘pragmatisme’ pun mewabah dalam tubuh parlemen jalanan, sehingga ‘idealisme’ parlemen jalanan-pun akhirnya tergadaikan. Dan lagi-lagi rakyat yang menggung akibat dari ‘negosiasi kaum penjahat’.

Semoga masyarakat kita mampu menerjemahkan bagaimana senyatanya demokrasi dan nilai-nilai mulai yang tercover didalamnya. Sehingga tercipta ‘good governance and clean govermanance’.

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,

Minggu, 10 Mei 2009

Kontemplasi Cinta Jilid 2

Oleh : dhie_thea

Cinta Ilahi adalah ruh tanpa tubuh, cinta duniawi adalah tubuh tanpa ruh,
cinta spiritual adalah tubuh dan ruh sekaligus. Kerinduan yang tak berujung (Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah 2 : 347)

Cinta adalah Kekaguman yang tiada habisnya (Rabi’ah Al-Adawiyah)

Cinta adalah keindahan sejati yang terletak pada keserasian spiritual (Kahlil Gibran)

Cinta adalah Pandangan mata batin yang lebih tajam dari pada mata lahir, karena mata hati lebih peka dan sensitif daya tangkapnya, keindahan hal abstrak yangditangkap mata batin lebih mengagumkan dari mpada keindahan yang kongkrit dan terlihat kasat mata (Ihya Ulmuddin Al-Ghazali)

Cinta laksana virus yang menyebar dalam urat nadi manusia, kekaguman, keindahan dan kedalamannya mampu merobek singgasana kemanusiaan hingga mencapai titik dehumanisasi, apapun yang terpancar dari sang kekasih membutakan ‘nurani’ sang pencinta, Rasa cinta seakan terpahat dalam relung hati yang terhiasi oleh taman-taman kerinduan, terperangkap dalam jeratan kasih sayang, nama sang kekasih terukir dalam figura ketakjuban, kepingan-kepingan kerinduan dan harapan terikat erat ditepian eksistensi perasaan.

Sang pencinta terjerat dalam simbolisasi kecintaan, terjerembab dalam egoisme naif, seakan sang kekasih yang dicinta menjadi ‘hak paten’ yang tak boleh di-ganggu-gugat (absolutism), tak sedikitpun angin kebebasan menyegarkan kegersangan jiwa yang haus akan pertemanan, dan hangatnya cahaya pertemananpun mesti terhenti oleh ‘egoisme-naif’ sang pencinta, api kebencian berkobar tatkala sang kekasih diterpa hembusan angin, memang menyisakan ‘absurditas’

Imam Ibnu Qayyim mengatakan, "Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai). Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya. Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan dia daripada diri dan harta sendiri, se-ia se-kata dengannya baik dengan sembunyi-sembunyi maupun terang- terangan, kemudian merasa bahwa kecintaan tersebut masih kurang. Mengembaranya hati karena mencari yang dicintai sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya. Menyibukkan diri untuk mengenang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya.

Muhyiddin Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Pada awalnya cinta duniawiah bukan untuk kepuasan diri atau kemurahan hati, karena disposisi alamiah tidak mengenal apa pun tentangnya – ia mencintai sesuatu hanya karena sifat khususnya, ingin bersamanya, dekat dengannya. Ini berlaku untuk semua hewan, dan setiap orang sepanjang mereka (dilihat dari sisi) kehewanannya. Hewan mencintai secara inheren, karena itulah eksistensinya, bukan karena alasan yang lain. Kendati demikian, ia tidak tahu makna dari eksistensinya.

Manifestasi dari rasa ’cinta’ adalah ’perasaan ikhlas dan saling percaya’ selalu ingin memberi yang terbaik, dan bangunan komitmen yang kokoh. Selalu tegak mesti diterpa badai oportunisme-sensualisme.

Renungkanlah!!! tanyakan landasan filosofis apa yang membuat anda memilih untuk ’bercinta’.

Robeknya Keperawanan Gedung Putih

Oleh : A_dhie

Tak terasa 2 minggu sudah pesta demokrasi terlewati, ‘contrengan sakral’ yang menentukan nasib masyarakat 5 tahun kedepan tidak bisa diputar ulang kembali, berbagai motif yang melatarbelakangi sang caleg manggung di ‘ludruk kekuasaan’. Entah motif untuk mengabdi kemasyarakat, mengabdi kepada keluarganya atau mungkin hanya sebagai ‘babu-babu kekuasaaan dan penguasa’, tak heran jika pasca pencontrengan dan telah terprediksikan suara yang dicapai lewat quick count para caleg sumringah ketika suaranya mencapai target, dan tak sedikitpula yang ‘kurca (kurang cageur)’ akibat depresi yang berlebih karena cost politik yang tinggi yang mereka keluarkan namun tak menghasilkan suara yang cukup signifikan. Akhirnya, segudang ekspresi depresi mereka tontonkan pada publik. Mulai dari ‘stress berat’ hingga penarikan kembali bantuan-bantuan yang telah diberikan.

Di daerah Tanggerang seorang caleg stress dan meminta-minta dijalan agar uang yang telah diberikan untuk ditarik kembali, senyatanya praktik pembagian uang ini merupakan ‘money politik’ dan secara tidak langsung telah melakukan pembodohan politik terhadap masyarakat. Dan memang sketsa-nya seperti ini, dikalangan masyarakat awam praktik seperti ini merupakan hal yang dianggap jitu karena mayoritas adalah pemilih pragmatis, namun ketika mengena pada pemilih rasional-pragmatis, maka yang terjadi oportunisme yang berlandaskan rasionalitas dan kebebasan untuk memilih. Sehingga wajar bila sang caleg mengalami depresi. Senyatanya fenomena seperti ini merupakan suatu bentuk sentilan terhadap caleg pada pemilihan ke depan dan mayarakat khususnya bahwa ‘money politik’ hanya akan membawa kondisi masyarakat semakin terpuruk karena yang biasanya menjadi prioritas sang caleg terpilih lewat jalur money politik adalah memikirkan bagaimana cara mengembalikan cost politik yang telah dikeluarkan sehingga orientasinya lebih pada ‘kerja’ bukan mengabdi kepada masyarakat. Pantas jika mereka lebih mementingkan keluarga dan komunitasnya.

Secara filosofis, Warna putih yang melekat pada gedung dewan dapat kita maknai sebagai simbolisasi kesucian dan kesakralan, sebagai tempat wakil rakyat untuk melakukan suatu negosiasi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, secara falsafi ‘keperawanan gedung putih’ sebagai suatu ruh suci yang tercover didalamnya, sebagai badan legislasi, contolling terhadap eksekutif dalam rangka pengabdian terhadap masyarakat sebagai kausal representasi dari masyarakat didaerahnya masing-masing. Dan tentunya suara mereka menentukan bagaimana kebijakan ini bergulir. Apakah untuk kepentingan rakyat atau malah sebaliknya? Apalagi tak jarang kita melihat prilaku anggota legislatif yang sering diwacanakan di publik, entah tindak korupsi,penipuan, atau bahkan perselingkuhan. Dan sikap ini tidak mencerminkan ‘tauladan’ bagi rakyat kecil. Entah sampai kapan ‘gedung putih’ ini menjadi perawan kembali, sedang pisau-pisau oportunisme siap merobek-robek keperawanannya, bayangkan praktek ‘money politik’ seakan menjalar dan menjadi fenomena yang tak terlewatkan disaat digelarnya pesta demokrasi. Mungkinkah penghuni gedung putih ini akan benar-benar fair dan konsisten dengan kesuciannya? Ataukah tak ada perubahan yang signifikan dengan periode sebelumnya.

Tentunya, kebingungan yang tak berujung ini akan semakin membuat masyarakat apatis terhadap wakil-wakilnya yang seharusnya memperjuangkan segala aspirasi masyarakat, semoga saja keperawanan gedung putih ini masih dapat dikembalikan dalam jalur fitrahnya, mengingat pentingnya eksistensi Legislator sebagai legislasi dan controlling terhadap kinerja eksekutor. Agar pesta demokrasi tak terkotori oleh muatan-muatan ‘money politik’ yang hanya akan menyengsarakan rakyat .

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,

Awas Infiltasi Sekulerisme

Infiltrasi dalam kamus ilmiah diartikan sebagai penyusupan ataupun perembesan, suatu proses penyusupan yang dilakukan dengan motif tertentu ataupun yang berjalan secara alamiah, sekularisme merupakan paham (ideologi) yang memiliki konsepsi pemisahan antara hal-hal yang bersifat keduniaan (manusia secara horizontal) dan manusia secara vertikal (hubunganya dengan Sang Kholik) ini tidak mempunyai keterikatan sedikitpun, permasalahan yang bersifat horizontal ini mesti diselesaikan secara kesepakatan sosial (dalam bahasa Jean Jaques Rouses ; du contrac sosial), sedangkan wilayah keagamaan ini mesti diselesaikan secara privasi (individualistik) antara penganut agama dengan Tuhannya. Senyatanya paham ini muncul ketika agamawan gereja memanfaatkan ‘agama’ sebagai senjata untuk menina bobo-kan masyarakat pada saat itu untuk menerima ‘apa adanya’ yang terjadi pada kehidupan masyarakat ataupun negara, sebagai bentuk ‘cuci tangan’ penguasa untuk lepas dari tanggungjawab dalam memelihara masyarakat pada saat itu, ketika masyarakat dalam keadaan miskin, maka terimalah sebagai takdir dari Tuhan. Padahal para gerejawan, borjuis dan penguasa pada saat itu berfoya-foya dan hidup dalam kemewahan. Kondisi ini persis dengan islam pada abad pertengahan ketika bermunculan paham jabariyah, qodariyah dan maturidiyah. Dan salah satu khilafah pada saat itu menerapkan paham jabariyah sebagai senjata untuk menina bobo-kan masyarakat pada masa itu. Meskipun berbeda konteks dan filosofis hidupnya.

Dalam perjalanannya paham ini menjalar dengan cepat kepenjuru dunia, bahkan tak luput dari polemik, sehingga ketika mendengar statement ‘sekulerisasi’, kita menjadi rigid (kaku) dan menyamaratakan konsepsi tersebut, namun apakah makhluk sekularisasi ini sama dengan sekularisme?

Banyak kalangan yang mencoba mengkritisi konsepsi ini, baik lewat media massa maupun membuat buku dan stetement di surat kabar, bahkan MUI pun pada tahun 2005 telah menerbitkan ‘haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Sipilis) untuk dianut oleh umat islam. Karena disinyalir dapat merusak aqidah umat islam. Terlepas dari kata ‘sekularisasi ataupun sekularisme’, kita coba telisik secara filosofis, apakah kita benar-benar tidak terjangkit dengan ‘sekularisme’ ataukah tidak?

Hujatan yang sering dilontarkan biasanya menyudutkan pada permasalahan hukum, senyatanya ‘hukum’ yang dibangun oleh sekularisme itu adalah hukum manusia yang lahir dari alam nalarnya, sehingga haram hukumnya jika mengimplementasikan hukum tersebut, yang valid hanyalah hukum Allah yang tersurat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan sepertinya ini harga mati bagi umat islam. Namun permasalahanya bagaimana kita mampu menerjemahkan pesan sakral tersebut tanpa menggunakan potensi akal yang dianugerahkan Allah kepada kita? Sedang jelas dalam al-qur’an ayat-ayat yang mengisyarakan manusia untuk berfikir (Afala Ta’qiluun, Afala Tatadzakkaruun, Afala Tatafakaruun).

Dalam wacana tafsir, tentunya selalu saja berbenturan dengan wilayah ‘tekstual dan kontekstual’, sehingga yang lahir adalah multi-interpretasi (banyak penafsiran), secara deskriptif misalnya ayat tetang hukum ‘potong tangan’ yang disinyalir merupakan ayat qathi’, namun ada pula yang menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan ayat dhanni. Bila kita lacak secara maknawi ‘potong tangan’ dalam konsep pertama memiliki makna hakiki (dalam artian tekstual ; dipotong tangannya) sedang dalam konsep yang kedua sebagai makna majazi (kontekstual ; tangan ditafsirkan sebagai bentuk kekuasaan). Oleh karenanya wajar bila Quraish Shihab menyatakan bahwa makna Al-Qur’an itu layaknya sinar yang terpancar dari berbagai sudut permata.

Tanpa disadari tenyata kita sering menungkapkan statement ‘hukum manusia itu bukan hukum Allah‘, secara tidak langsung statement ini disinyalir telah terbelenggu dalam konsepsi ‘sekularisme’, betapatidak dalam konsepsi ‘hukum kausalitas’ tak ada satupun daya upaya manusia yang tidak berujung pada Allah, dan tentunya statement semacam itu sadah mengarah pada prilaku ‘sekularism’, mungkin saja hal ini bisa dikatakan sebagai kesalahan fatal, pasalnya secara tidak langsung ini telah memisahkan antara permasalah horizontal (manusia) dan vertikal (Tuhan), tentunya konsekuensi logis bagi orang yang mempunyai konsepsi seperti ini dinyatakan sebagai ‘Sekular’, meskipun orang tersebut ‘antipati terhadap paham sekular’ namun tetap saja ia pun tanpa sadar telah menjangkit virus dalam alam nalarnya. Oleh karenanya meningat hegemoni ‘sekularisme’ ini mewabah diseantero jagat raya ini, kita mesti jeli dalam menafsirkan ‘sekularisme’ dan menerjemahkan realitas sosial-politik dan keagamaan. Jangan-jangan kita yang mengutuk abiz sekularisme malah tak sadar telah terjangkit !

“ Sekularisme Terjangkit bukan hanya karena niat dari pelakunya, tapi juga

‘ketidak sadaran alam nalar’ kita !

Waspadalah..... Waspadalah................. Waspadalah........!!!

Walaupun kami dogmatik, kami tidak suka kultus individu, kami tak mengajar orang-orang untuk percaya, melainkan untuk berfikir ! (Fidel Castro)

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,

Rabu, 08 April 2009

Terpenjara ditepi Lingkaran Eksistensi

Tajam ujung lidahku menggoreskan luka,,,

Tingkahku merobek sutra kecintaan-Mu,,,

Ingkarku menerjang regulasi yang telah terpahat !

Kotor...sungguh kotor dan menjijikan ku tatap wajahku,,,

Didepan cermin kehidupan

Pantas, Helaan nafas spiritual ku tersendat,,

Sesak,,,sungguh sesak,,,

Mengikat hati nuraniku,,,,

Hembusan angin kesombongan

Desiran ombak keangkuhan

Merobohkan dinding-dinding spiritualitas

Virus-virus hedonisme-opportunisme

Bak jeruji besi berbaris tegak

Memenjarakan etika-sosial transcendental

Yang menghiasi cermin kehidupan

Gemerlap tarian iblis mengelilingi langkahku

Sebagai bukti kongkrit ‘du contrac social’ di masa primordial

Sayup-sayup terdengar gelak tawa iblis-iblis kecil tersipu malu

Menghanyutkan jiwaku dalam lamunan

Diriku terkapar ditepi lingkaran eksistensi Negeri absurditas

Terjebak diantara reruntuhan taman spiritual yang terhempas angin kenistaan,,,

Kala jari lentik iblis menunjuk suatu arah

Menuju singgasana kesombongan dan keangkuhan

Pantas, Kilauan cahaya suci mata hati ini semakin meredup termakan gelap

Ku telusuri setapak demi setapak

Jalan terjal yang membentang di tepian ‘kota syahwat’

Entah kemana perginya cahaya fitrah itu,,,

Jiwaku terkujur kaku

Oleh : A_dhie_thea

Mendengar jeritan hati nurani

Namun, kemarau melanda lautan air mata penyesalan

Hingga kering kerontang tak bersisa

Ya Rabb,,,

Tuntunlah jiwaku menuju cahaya suci-Mu

Jernihkanlah fikiranku,,,,

Menuju hamparan samudra keilmuan-Mu

Sabotase Mahkamah Sejarah

Oleh : A_dhie_thea

Sejarah berasal dari pilologi kata ‘syajarotun’ (pohon), bila kita deteksi secara filosofis, akar pohon sebagai simbolisasi titik awal kehidupan, dahan dan batang pohon sebagai sebuah proses, dan seimbolisasi buah sebagai hasil dari gerak sejarah atau sebagai ‘peradaban’ yang dikonstruksikan oleh manusia. Tentunya gerak langkah manusia merupakan ukiran tinta kehidupan dalam mahkamah sejarah. Apa yang kita lakukan sedetik sebelumnya adalah sejarah. Meskipun terkadang ‘penguasa’ seringkali melakukan propaganda sejarah yang hanya meninggalkan serpihan-serpihan absurditas bagi generasi berikutnya, betapapun tidak ‘egosentris-fanatisme’ yang selalu menjadi alibi untuk melakukan propaganda. Yang akhirnya melahirkan ‘fanatisme’ segagai penyakit keturunan, ketika ‘konflik politik’ antara kelompok Sahabat Ali dan Mu’awiyah mengakar kuat yang melahirkan faksi Syi’i dan Sunni. Bahkan diversitas yang tidak prinsipil dalam tubuh islam ini seakan menjadi diding pemisah yang teramat tinggi. Alhasil, Polemik ini menjadi warisan dalam mahkamah sejarah. Sepertinya ini menjadi akar permasalah yang berbuntut ketertinggalan umat islam, karena umat islam terkonsentrasikan pada problematika internal. Sedang diluar intervensi kaum kapitalis, sosialis-komunis mulai merebak, sehingga umat islam terkontaminasi oleh konsepsi-konsepsi asing yang senyatanya merupakan pengembangan terhadap konsep yang dulu pernah dilegislasikan oleh pemikir islam. Yang direbut pada masa perang salib. Lantas apakah kita mesti terkungkung dalam lingkaran problematika yang dirancang khusus untuk kita sendiri? Sepertinya kita terjebak dalam jebakan yang kita buat sendiri karena sabotase penguasa dalam mahkamah sejarah.

Dalam konsep Nietzche, setidaknya dalam mempelajari gerak sejarah mesti menginterpretasikannya secara; historis, a historis dan supra-historis. Penginterpretasian sejarah secara ‘historis dan a historis’ merupakan suatu ‘konsep kebahagiaan dan penderitaan’, menurutnya memperlajari sejarah cenderung membuat orang tidak bahagia, belajarlah bagaimana melupakan dan mengingat pada waktu yang tepat. Inilah yang senyatanya membuat umat islam terpenjara dalam lingkaran eksistensi fanatisme golongan yang hanya melahirkan stagnasi berfikir. Betapa pun tidak kebencian dan penderitaan yang menjadi warisan ini lahir dari rahim kepahitan masa lalu, yang menjadi embrio konfik internal dalam umat islam. Kemudian, masa kejayaan umat islam diabad pertengahan selalu dijadikan suatu kebanggan yang berlebihan, sehingga virus ‘status quo’ menjangkit sebagian umat islam yang hanya melahir efek kemapanan berfikir. Idelanya ‘perseteruan politik dan kejayaan islam’ yang tercatat dalam mahkamah sejarah meski kita format ulang untuk dijadikan embrio dan motivasi dalam melakukan suatu inovasi-inovasi untuk kemajuan umat islam dengan melakukan Romantisasi Sejarah bukan Romantisme Sejarah.

Kemudian, Sejarah sebagai ‘Supra-historis‘ merupakan suatu konsepsi tentang keselamatan dan kebahagiaan selalu dalam proses’. Meskipun pada akhirnya perdebatan theologi islam yang tak kunjung reda ini akan terbongkar kembali dalam memori kita, tentunya benturan pemikiran antara Jabariyah, Qodariyah, Asya’riyah/ Maturidiyah. Dan sampai detik ini hal tersebut tetap menjadi teka-teki kehidupan. Yang mengerucut pada wilayah privasi yakni keyakinan individual maupun kolektif dalam sebuah faksi.

Tentunya perdebatan yang menghiasi mahkamah sejarah ini mesti kita respon secara egaliter dan fleksibel sesuai kebutuhan, yang menjadi substansi adalah bagaimana kita memposisikan diri kapan kita mengingat dan melupakan sejarah. Dan memformat Perseteruan dan Konfik politik yang dulu diselesaikan dengan ‘hunusan pedang’ ditransvaluasikan dengan ‘penajaman nalar’ untuk membangun kembali ‘kejayaan peradaban islam’ di masa lampau, dalam bahasa Hassan Hanafi ; “Semangat Peradaban adalah semangat bangsa, Semangat Ketuhanan yang menyejarah”.

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,

Resume Buku ' Akar-Akar Pendidikan dalam Al-qur'an dan Al- Hadits

Oleh : A_dhie_thea


Judul Buku : Akar-Akar Pendidikan Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

Buku : Lokal

Penulis : H. Drs. Dedeng Rosidin, M. Ag

Tebal : 219 Halaman (8 BAB)

Cetakan : Pertama, Agustus 2003

Penerbit : Pustaka Umat Bandung

Pria yang lahir lahir di Subang, 7 Oktober 1955,dan saat ini berdomisili di Bandung pernah Kuliah di S1 IKIP Bandung Jurusan Bahasa Arab,kemudian beliau menyelesaikan studi S2 di IAIN Bandung (Master Agama). Pada tahun 1972 beliau aktif di pesantren persis pajagalan dan mengajar di STIAI Persis sebagi dosen, kemudian sebagai dosen di STKIP Cimahi Bandung dan staf pengajar B. Arab di UNINUS. dan pada tahun 1990 beliau menjadi tenaga educatif tetap pada prodi B.Arab di UPI Bandung – sekarang.

Dengan dasar bahasa arab yang dimilikinya, beliau mencoba membongkar kata “Tarbiyah” dari sisi semantic & tafsir maudhu’i dengan menjelaskan sejelas-jelasnya tentang istilah tarbiyah, karena disinyalir orang menganggap makna kata tersebut dangkal dan tanpa persoalan, padahal didalamnya terdapat banyak makan yang tertera dalam al-qur’an dan as-sunah, pada sisi semantic kata tarbiyah sepada dengan kata ta’lim tadris, tahdzib, dan ta’dib, (diambil dalam al-qur’an dan al-hadits) sehingga kita akan mampu memaknai akar pendidikan.

Dalam pengantarnya Prof.DR.H. A. Tafsir menyatakan bahwa kebanyakan di Perguruan Tinggi dibuka jurusan tarbiyah/ pendidikan, mainstream masyarakat terkadang menganggap istilah ini tanpa persoalan, senyatanya makna yang tercover dalam lafadz ini memiliki akar yang sangat kaya dan kompleks. Ditegaskan oleh DR.H. Afif Muhammad MA menyatakan bahwa dalam aspek pendidikan, hal yang menjadi titik subatansi adalah membahas nilai-nilai moralitas, dan beliau mensinaylir bahwa pendidik khususnya sudah merasa komprehensip dalam mengajarkan pendidikan, padahal masih ada satu aspek yang sangat penting yaitu nilai moralitas yang belum benar-benar membumi, beliau mendeskripsikan dengan sebuah bangunan yang sepintas kuat, padahal bangunan tersebut belum ada pengujian layak pakai, pada saat angin berhembus dengan kencangnya ternyata bangunan itu roboh. Inilah yang senyatanya yang menjadikan pendidikan kita semakin terkikis oleh degradsi moralitas. Dalam buku ini dengan bahasa yang lugas dan cerdas penulis memaparkan secara radiks makna-makna yang tersirat dalam kata “Tarbiyah” dengan tinjauan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang menarik pada buku ini adalah sitematika penulisan dan istilah-istilah yang cukup sulit difahami dipaparkan secara mendalam dalam bab ke-7.

BAB I

PENDAHULUAN

Al-quran merupakan kalamullah, yang mempunyai essensi tentang ketentuan dan pedoman bagi segenap manusia agar mampu melaksanakan syariat islam dengan benar. Tentunya pedoman semestinya diimplementasikan secara kaffah, baik yang menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan, maupun pendidikan.

Kedudukan al-qur’an sebagai sumber pokok pendidikan islam dapat difahami dari ayat : Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-kitab (al-qur’an) ini, melainkan agarkamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajar orang-orang yang mempunyai fikiran.

Menurut Abu Hasan ‘Ali An-Nadwi bahwa pendidikan dan pengajaran umat islam itu harus berpedoman kepada aqidah islamiyyah yang berdasarkan al-qur’an dan al-hadits.

Dalam perkembangan sejarah peradaban islam sejak masa Nabi s.a.w. sampai masa keemasan islam di tangan bani Abbas, kata tarbiyat tidak pernah muncul dalam literatur pendidikan. Barulah pada abad modern ini kata tarbiyat mencuat ke permukaan sebagai terjemah dari kata dalam bahasa inggris, yaitu “education “.

Pada masa klasik, kata ta’dib digunakan untuk menujukan makna pendidikan, dan kata tersebut termaktub dalam sebuah hadits :

Tuhanku telah mendidikku sehingga menjadikan pendidikanku yang terbaik

Pengertian semacam ini digunakan sepanjang masa keemasan islam, sehingga ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia di sebut dengan “Abad”, dan penginstilahan ini berlaku pada ilmu-ilmu yang berkaitan langsung perihal keislaman maupun diluar bidang keislaman.

Kemudian para ulama melakukan proses spesifik terhadap ilmu pengetahuan, sehingga kata “adab” atau “ta’dib” jadi menyempit dan hanya dipakai untuk menunjuk kesusastraan dan etika. Konsekuensinya, ta’dib sebagai konsep pendidikan islam hilang dari peredaran dan tidak dikenal lagi. Maka, ketika ahli pendidikan islam bertemu dengan istilah “education” pada abad modern, mereka langsung menerjemahkannya dengan tarbiyat tanpa penelitian yang mendalam, padahal makna pendidikan dalm islam tidak sama dengan “education” yang dikembangkan di Barat.

Konsepsi tentang pendidikan islam pada masa ini, sudah terhegemoni oleh konsepsi-konsepsi pendidikan dunia barat, dan perlu adanya suatu rekontruksi pendidikan islam dan melakukan proses furifikasi ataupan melacak lewat kerangkan filosofis terhadap pendidikan islam agar sesuai dengan konsep-konsep yang diajarkan oleh Al-qur’an dan al-hadits.

Definisi pendidikan islam :

Muhammad Athiyyah Al-Abrasy, Pendidikan islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan baerbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmani, sempurna budi pekerti (akhlaq), teratur fikiran, halus perasaan, mahir dalam pekerjaan, dan manis tutur katanya baik lisan maupun tulisan.

Rentetan definisi ini memiliki konklusi bahwa pendidikan islam bertitik tekan pada penataan individu dan social agar tunduk dan taat terhadap aturan islam dan menerapkannya dalam ranah social.

BAB II

A. At-Tarbiyat

Tarbiyat merupakan kegiatan yang membawa manusia sedikit demi sedikit kepada kesempurnaan yang terwujud dalam beribadah kepada Allah, At-tarbiat adalah proses pengembangan, pemeliha-raan, penagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki bagi anak didik baik jasad, akal, jiwa, bakat, potensi, perasaan, secara berkelanjutan, bertahap, penuh kasih saying, penuh perhatian, kelembutan hati, menyenangkan, bijak, mudah diterima, sehingga membentuk kesempurnaan fitrah manusia, kesenangan, kemuliaan, hidup mandiri, untuk mencapai ridha Allah (definisi secara luas dan formal).

Secara general kata tarbiyah berasal dari tiga kata kerja yang berbeda : Raba-Yarbu ; yang bermakna nama-yamnu, artinya berkembang. Rabiya-Yarba yang bermakna nasya’a, tara’ra –a, artinya tumbuh Rabba-Yurabbu yang bermakna aslahahu, tawalla amrahu,sasa-ahu,wa qama ‘alaihi,wa ra’ahu yang berarti memperbaiki, mengurus,memimpin, menjaga, dan memeliharanya atau mendidik.

Secara etimologis, kata tarbiyah adalah masdar (asal kata) dari raba-yarbu-rabwan-rabaan.

At-Tarbiyat dalam Al-Quran :

1. Arbabun, terdapat dalm QS. Yusuf : 39. Al-Juzi mengatakan bahwa arbabun dalam ayat tersebut artinya berhala, baik kecil maupun besar.

2. Arbaban, terdapat dalam QS. Ali Imran : 64. Ath-Thabari, Al-Juzi, Al-Maraghi bahwa yang dimaksud arbaban pada ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi yang menjadikan pendeta-pendetanya (seperti ulama dalam bidang agama)

3. Ribbiyuna, terdapat dalam Q.S. Ali Imran : 146 “ sekelompok orang yang beribadah kepada Tuhannya, baik dari kelompok ahli fiqih, para ulama, para pengajar maupun pelajar/siswa”.

4. Rabiyan, , terdapat dalam Q.S. Ar-Ra’du : 17 “tinggi diatas air /mengambang diatas air”.

5. Rabiyyata, , terdapat dalam Q.S. Al-Haqqat : 10, “Kerasnya adzab/siksa Allah SWT”.

6. Rabwatan, , terdapat dalam Q.S. Mu’minun : 50, “tempat/tanah yang tinggi”.

7. Rabbat, , terdapat dalam Q.S. Fushilat : 39 dan Q.S. Al-Hajj : 5, “ memenuhi atau mengembang /meniggi, bertambah”.

8. Riba/ ar-riba, terdapat dalam QS. Ali Imran : 130, dan QS. Al-Baqarah : 257. kata riba/ ar-riba adalah az-ziyadah (bertambah atau berkembang).

9. Yarbu, , terdapat dalam Q.S. Ar-Rum : 39, “bersih atau berlipat ganda/bertambah”.

10. Yurbi, , terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah :276 “bertambah, berkembang, dan berlipat ganda”.

11. Arba, terdapat dalam QS. Al-Nahl : 92. arba berarti aktsara (lebih banyak). Keduanya menunjukkan arti yang tidak berbeda.

At-Tarbiyat dalam Al-Hadits

Kosakata yang ada dalam hadits baik dalam bentuk fi’l maupun dalam bentuk ism. Kata-kata tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tarubbu (menjaga, memelihara, dan mengurus).

2. Yurabbi (memelihara dari sejak kecil sampai besar)

3. Yurabbani ( kata Yurabbani, bermakna yasudani yang berarti memimpin).

4. Yurabbi (mendidik dengan unsur ta’lim di dalamnya).

5. Rabba (pemilik,menyempurnakan, penambah, mengamalkan)

6. Rabbi (Hadits Abu Hurairah Ra, “ Janganlah seorang buadk berkata “Rabbi” kepad tuanya).

7. Rabbuha (Rabb berarti pemilik, sedang rabbuha berarti hilangnya unta hingga ditemukan oleh pemiliknya).

8. Rabaib (kambing yang diurus di rumah bukan diluar).

9. Rabbaniyyin (mereka yang mendidik murid-murid dari mulai ilmu yang kecil/ mudah sebelum yang sulit). Juga, disebutkan orang yang pandai, beramal, dan pengajar. Dengan demikian, Rabbani (insan pendidik yang mendidik manusia dari masalah mudah ke masalah yang sulit).

BAB III

At-Ta’lim

At-ta’lim adalah pemberitahuan dan penjelasan tentang sesuatu yang meliputi isi dan maksudnya secara berulang-ulang, kontinu, bertahap, menggunakan cara yang mudah diterima, menuntut adab-adab tertentu, bersahabat, berkasih sayang, sehingga muta’alim mengetahui, memahami, dan memilikinya, yang dapat melahirkan amal saleh yang bermanfaat di dunia dan akherat untuk mencapai ridla Allah (definisi secara luas dan formal).

At-Ta’lim dalam al-qur’an menggunkan bentuk fi’il (kata kerja) dan isim (kata benda), dalam fi’il madliy disebutkan sebanyak 25 ayat dari 15 surat, Fi’il mudlari 16 kali dalam 8 surat.

Kata-kata at-Ta’lim dalam bentuk fi’l madliy (kata kerja lampau) adalah ‘allama ( ) dengan berbagai variasinya, antara lain:

1. QS. Al-Baqarah : 31

Al-Maraghi menjelaskan kata ‘allama dengan alhamahu (memberi Ilham), maksudnya Allah memberi Ilham kepada Nabi Adam a.s. untuk mengetahui jenis-jenis yang telah diciptakan beserta zat, sifat, dan nama-namanya.

2. Q.S. Ar-Rahman : 1-4

Kata Allama’ mengandung arti memberitahukan, menjelaskan, memberi pemahaman.

3. QS. Al-‘Alaq : 4-5

Ash-Shawi, Al-Maraghi, dan Al-Juzi menafsirkan makna ‘allama, dengan makna memberitahukan atau menyampaikan ilmu menulis dengan kalam, menjadikan kalam sebagai alat untuk saling memahami di antara manusia.

At-Ta’lim Dalam Hadits

Menurut Al-Asqalani, kata ta’lim nabi kepada umatnya, lai-laki dan perempuan dengan cara tidak mengunakan pendapatnya dan juga qiyas.

Secara struktur, kata hum dalam hadits menunjukan makna ta’lim bersifat umum,bagi siapa saja dan tingkatan usia.

BAB IV

At-Tadris

At-tadris adalah upaya menyiapkan murid ( mutadarris ) agar dapat membaca, mempelajari dan mengkaji sendiri, yang dilakukan dengan cara mudarris membacakan, menyebutkan berulang-ulang dan bergiliran, menjelaskan, mengungkap dan mendiskusikan makna yang terkandung di dalamnya sehingga mutadarris mengetahui, mengingat, memahami, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan mencari ridla Allah (definisi secara luas dan formal).

1. QS. Al-An’am : 105

Al-Maraghi menjelaskan kata darasta dengan makna yang umum, yaitu membaca berulang-ulang dan terus-menerus melakukannya sehingga sampai pada tujuan. Al-Khawrizmi, Ath-Thabari, dan Ash-Shuyuti mengartikan kalimat darasta dengan makna, “engkau membaca dan mempelajari”.

C. At-Tadris dalam Hadits

Al-Juzairi memaknai tadarrusu dengan membaca dan menjamin agar tidak lupa, berlatih dan menjamin sesuatu.

BAB V

At-Tahdzib

At-tahdzib adalah pembinaan akhlak yang dilakukan seorang muhadzdzib (guru) terhadap mutahadzdzib (murid) untuk membersihkan, memperbaiki prilaku dan hati nurani dengan sesegera mungkin karena adanya suatu penyimpangan atau kekhawatiran akan adanya penyimpangan, sehingga tahdzib itu dapat mewujudkan insan muslim yang berhati nurani yang bersih, berperilaku yang baik sesuai dengan ajaran Allah(definisi secara luas dan formal).

BAB VI

At- Ta’dib

At-ta’dib adalah penanaman, pembinaan, dan pengokohan akhlak pada diri anak dengan syariat Allah dan cara yang baik agar ia (muta’addib) berhati bersih, berperilaku baik, beriman, beramal saleh, dan bertaqwa untuk mencapai ridha Allah. (definisi secara luas dan formal).

KESIMPULAN

Berbagai konsepsi-kosepsi tentang pendidikan islam ini ternyata memiliki keunikan makna yang terkandung dalam Al-qur’an dan Al-Hadits, karena Al-qur’an bagaikan cahaya yang terpancar dalam setiap sudut mutiara yang menunjukan kekayaan makna lafad-lafadz dalam ayat-ayat al-qur’an.

kata at-tarbiyat, at-ta’lim, at-tadris, at-tahdzib, maupun at-ta’dib menunjukkan satu konsep pendidikan dalam Islam. Kelima istilah ini saling melengkapi dan tercakup dalam tujuan pendidikan islam yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Terjadi pada diri manusia dalam arti yang umum dan mengisyaratkan adanya komponen-komponen pokok dalam pendidikan, adanya isyarat bagi guru untuk meningkatkan diri, prosesnya bertahap dan berkelanjutan, menuntut adab-adab tertentu dan metode yang mudah diterima dan dilakukan dengan baik dan bijak, adanya tujuan perolehan pengetahuan/ pembinaan akal, perubahan ke arah yang lebih baik, melahirkan amal shalih, akhlak yang baik/ pendidikan jiwa, mewujudkan insan muslim sempurna, untuk taat beribadah memperoleh ridla Allah s.w.t.

Istilah At-tarbiyah lebih tepat digunakan sebagai kata yang mewakili pendidikan islam, hal ini memiliki landasdan filosofis : Q.S. Ali Imran ; 79, perintah untuk menjadi insan rabbani.

Wallahu A’lam Bisshowaab.....

Menyingkap Fenomena Ilahi tentang Kholifah Fil-Ard



Oleh : A_dhie_thea

Qudrat, kekuasaan Tuhan atas manusia, pada prinsipnya meliputi penciptaan,
pemeliharaan, dan penghancuran. Akan tetapi manusia adalah makhluk yang unik di alam semesta ini, maka kaitan kekuasaan Tuhan padanya pun menjadi spesifik.

kekuasaan Tuhan atas manusia yang diberi kehendak dan kekuatan oleh Tuhan sendiri. Atau, sejauh mana Tuhan mendelegasikan kekuasaan dan wewe­nang-Nya kepada manusia yang dengannya manusia diangkat sebagai khalifah di muka bumi dan kemudian akan diminta pertanggungjawaban di Hari Akhir (Eskatologis). Tuhan menciptakan manusia dengan segala sifat dasarnya.

“Kapan manusia perlama diciptakan Tuhan”? Persoalaan ini yang tidak dijawab al-Qur’an. Al-Qur’an hanya mengin­formasikan bahwa Tuhan mengumumkan kepada malaikat akan diciptakannya satu makhluk hidup yang diciptakan dari tanah seperti halnya yang tertera dalam firman Allah tentang penciptaan manusia ;

“Dan sesungguhnya Kami lelah menciptakan manusia dari suatu saripati yang berasal dari tanah (sulalat min thin). Kemudian Kami jadikan saripati air mani (nutfat) yang disimpan dalam tempat yang kokoh (qarar makin). Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqat lalu alaqat itu Kami jadikan mudgat, lalu mudgat itu Kami jadikan tulang, lalu tulang itu Kami bungkus dengan daging. Ke­mudian, Kami jadikan dia makhluk lain. Maha Berkahlah Allah sebaik-baiknya pencipla” (Q.S., 23:12-14).

Dalam penciptaan manusia ini melewati beberapa proses dan bisa dikatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-abiknya, kemudian konon katanya manusialah yang akan menjadi khalifat di muka bumi. Tuhan berfirman kepada malaikat:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang kholifah di bumi “ mereka berkata “mengapa engkau hendak menjadikan kholifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahan darah padahal kami bertasbih, dengan memuji engkau dan mensucikan engkau? Tuhan berfirman “ sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”(Q.S.Al-Baqarah ; 30 ).

Aku membuat khalifat di bumi” (Inni ja’il fi al-ardi khalifat). Di ayat lain dalam persoalan yang sama, Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku akan men­ciptakan manusia (basyar) dari tanah”, (Inni khaliq basyaran min thin)”. Ketika para malaikat mendengar Tuhan akan, menciptakan manusia yang bernama Adam untuk menjadi khalifat di muka bumi, mereka mempertanyakan seraya ber­kata: “Apakah Engkau akan menempatkan di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan dan akan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih memujiMu dan mengqudus­kanMu? Allah menjawab pertanyaan itu dengan berfirman: “Aku mengetahui apa-apa yang kalian tidak ketahui”

Tampaknya yang dimaksud dengan “khalifat” pada surah al-Baqarah di atas sama dengan “basyar” pada surah Shad( Q.S., 38:26. )di atas yaitu Adam karena kedua konsep itu diungkapkan dalam konteks kisah yang sama yang menceritakan pengumuman Allah kepada malikat tentang penciptaan makh­luk yang akan mengurus bumi. Hanya saja tampaknya, konsep “basyar” menunjuk jenisnya, sedangkan konsep “khilafat” menunjuk fungsi dan tugasnya. Konsep-konsep khalifat “bisa mempunyai dua kemungkinan arti”.

Pertama dengan disebutkannya Adam sebagai “khalifat” berarti Tuhan akan menyangkat Adam sebagai pemimpin di bumi. Konsep “khalifat” dalam arti pemimpin ditemukan da­lam surah Shad yang artinya: “Wahai Dawud Aku jadikan kamu sebagai “khalifat” di bumi, maka kamu harus mene­tapkan hukum dengan kebenaran”.

Kedua, konsep “khalifat” itu bisa berarti “sebagai peng­ganti” yang diambil dari kata “khalifat” sebagai tertera pada surah al-A’raf (Q.S., 7:169;), artinya: “Maka mengganti, setelah mereka, pengganti yang mewarisi al-Kitab”. Dengan pengertian ini berarti bahwa Adam meng­gantikan makhluk yang ada sebelumnya.sebenarnya, konsep Khilafat ini banyak pendapat-pendapat yang bermunculan ketika mengkaji masalah ini , ada yang berasumsi bahwa yang namanya “khilafat” ini adalah pemimpin pada suatu umat, adapula yang mengatakan bahwa konsep khilafat ini lebih di tujukan kepada seseorang yang berbuat baik yang bisa dijadikan sebagai panutan (uswatun hasanah).

menurut Ibn Katsir. “khalifat”' ialah orang yang mewakili (yakhluf) Allah akan menetapkan hukum dengan adil di tengah makhluk Allah, Kata “khalifat” pada ayat di atas memberi isyarat bahwa di muka bumi telah ada satu jenis atau lebih dari makhluk ber­akal yang telah lenyap. Kelompok inilah yang diberitakan Allah kepada malaikat untuk diganti. Kelompok ini perusak dan penumpah darah. dan karena itulah, para malaikat “memprotes” mengapa membuat penggantian makhluk demikian. Dengan demikian bila kesimpulan itu benar, maka Adam bukanlah manusia pertama di atas bumi. Selanjutnya tampak dari tradisi-tradisi cerita bangsa-bangsa yang di wariskan bahwa Adam bukanlah makhluk berakal pertama yang menempati bumi.

Dari Uraian di atas tampak bahwa al-Qur’an tidak menya­takan secara eksplisit bahwa Adam adalah manusia per­tama, melainkan Adam adalah manusia yang dijadikan wa­kil Allah untuk mengurus alam dengan adil, atau dia adalah makhluk pengganti dari makhluk berakal lain yang telah ber­ada lebih dulu dari Adam.

Bagaimana cara kekuasan Tuhan menciptakan Adam itu tidak diinformasikan al-Qur’an, kecuali, dia itu dibuat dari tanah dibuat dengan amr takwin “Kun fa yakun” (jadilah, maka jadila dia) dan dengan kekuasaan-Nya sendiri. Apakah dia lahir seorang ibu atau tidak, hal itu tidak diberitahukan al­Qur’an secara tegas, tetapi yang pasti dia dibuat dari tanah sebagaimana keturunannya, yang kepadanya ditiupkan ruh dari Tuhan. Untuk jelasnya, dapat dilihat di bawah ini ayat-ayat tentang penciptan Adam. Firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia (basyaran) dari tanah liat (thin) yang kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk, maka setelah Aku sempurnakan pembuatannya dan telah ku­tiupkan kepadanya ruh-Ku, bersujudlah kamu sekalian kepa­danya”. “Dia yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan memulai penciptaan manusia dari tanah (thin). kemudian, Dia menjadikan keturunannya dari saripati air hina, lalu Dia menyempurnakannya dan meniup­kan ruh-Nya kedalam dirinya. Dan Dia telah menjadikan untukmu sekalian pendengaran, penglihatan, dan fu’ad. tetapi sedikit sekali kamu sekalian bersyukur”. “Sesung­guhnya misal penciptaan Isa seperli Adam. Tuhan mencipta­kannya dari tanah kemudian Dia berkata kepadanya: “Jadi­lah kamu! maka jadilah dia”.

Untuk melangsungkan tugas kekhalifahan, Adam diberi Tuhan seorang wanita pendamping. Al-Qur’an mengungkap­kan hal itu:

“Wahai manusia taqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari seorang manusia (nafs), dan Dia ciptakan dari dia (minha) pasangannya, dan dari kedua­nya berkembanglah laki-laki dan perempuan yang banyak” (Q.S., 4:1).

Dengan dimasukkannya ruh ke dalam diri manusia, maka dia bukan sekedar makhluk biologis yang terdiri dan onggokan bahan kimia atau suatu struktur kimiawi yang mengikuti hu­kum-hukum alam yang merupakan mekanisme yang memper­lihatkan gejala hidup: bermetabolisme, tumbuh, dan berkem­bang biak. Akan tetapi, dia menjadi makhluk ruhani yang mempunyai kesadaran dan pribadi.

Sebagai makhluk ruhani, dia dibekali potensi-potensi, wa­tak-watak dasar (yang baik dan yang buruk), dan kehendak yang untuk memikul amanat yang tidak dapat dipikul oleh la­ngit, bumi dan gunung. Jadi manusia adalah makhluk bio­logis-ruhani yang di dalam dirinya terpendam potensi-potensi dan masalah.

Secara ringkas sifat-sifat negatif manusia itu adalah dia diciptakan lemah (da’if), suka putus asa (ya’usa), tidak sabar (‘ajula), aniaya serta serba tidak tahu (zhalum jahul) resah dan sangat kikir (jazu’a manu’a), paling banyak membantah (aksar sya’i jadala) dan sangat ingkar serta tak berterima kasih (kaffar/kafur/kanud).

Wallahu A'lam Bisshawaab...

Menelanjang Tafsir Hermeneutika

Oleh : A_dhie_thea


Dalam literatur sejarah yunani kuno, hermeneutik merupakan literatur yang terinspirasikan dari kata “Hermes”, seseorang yang dijadikan sebagai penafsir (interpretasi) terhadap kata-kata sakral (pesan) dari sang dewa untuk dikabarkan kepada masyarakat, mungkin dalam ajaran islam sering kita sebut sebagai Nabi. Lambat laun perjalan waktu “Hermes” ini diabadikan sebagai inspirasi dari istilah “Hermeneutik”.

Pasca dari mitos yunani, hermenutik mengalami perkembangan, kemudian digunakan sebagai pisau analisis dalam memahami pesan-pesan Tuhan dalam Bibel untuk diimplementasikan dalam realitas sosial. Pada fase awal, Hermeneutik lebih spesifik hanya menelaah pada kontaks kata-kata (teks), artinya hanya terfokus pada tataran maksud dari fikiran Tuhan secara tekstual. kemudian dalam fase pertengahan, Hermeneutik terpolarisasi dalam sektor Literal, Allegoris, Moral dan Eskatologis. Dalam hal ini terks-teks suci ini dipolarisasikan pada tataran kata,bahasa,moral dan hari akhir. Kemudian terjadinya akselesari Hermeneutik ini pada fase modern, dengan tokohnya Frederich Scheleirmacher pada abad ke-20, identitas Hermeneutik yang disuguhkan lebih pada tataran bahasa yang tertuang dalam teks ilahiyah, Scheleirmacher juga menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya. Kemudian muncul kembali seorang tokoh yaitu Gadamer dengan konsepsi “dimensi bahasanya”, menurutnya bahasa ini memiliki 2 dimensi :

a. Dimensi Internal ; pada aspek psikologis manusia dan intensional (kontruksi berfikir)

b. Dimensi Eksternal ; pada aspek ini manusia menerima respon dari luar, atau dimensi ini terbatas pada hal-hal yang berada diluar dimensi internal manusia.

Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks.

Menurut pendapat Wilhelm Dilthey hermeneutik merupakan metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutik adalah menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Dilthey berusaha untuk menemukan arti asli dari teks lalu menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si pengarang. Apa yang dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini Dilthey masih terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha meniadakan prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si pengarang.

Kunci pokok dalam menggunakan metode hermeneutik, kita perlu memahai dunia teks, bahasa yang digunakan apakah mengandung makna hakiki ataukah majazi, yang kemudian akan mempermudah dalam kerangka analisisnya. Kemudian lebih ekstreemnya kita seakan masuk dalam dunia pengarang (Pengalaman Tuhan) agar maksud-maksud yang tercover dalam teks yang menjadi curahan fikiran-fikiran Tuhan (dalam bahasa Hassan Hanafi) itu mampu tercerap oleh manusia. Sehingga dalam tataran praksisnya manusia mampu memahami secara komprehensif.

Menurut hemat penulis, Hermeneutik ini merupakan padanan katanya dengan Tafsir Bil-Ra’yi, namun ketika hermeneutik ini dijadikan sebagai pisau analisis untuk menafsirkan Al-qur’an ini yang kemudian menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan, katakanlah antara faksi fundamentalis dan liberalis, kaum fundementalis mengclaim bahwa “Haram” hukumnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan Al-qu’an, mungkin karena lahirnya hermeneutik ini dari orang-orang kafir (barat) sehingga imege building yang muncul adalah hermeneutik ini seakan menyetarakan derajat antara al-qur’an dan bibel, sedangkan faksi liberalis ini lebih egaleiter dalam memandang konsepsi hermeneutik dalam menafsirkan al-qur’an, sebab yang mereka jadikan hujjah adalah kerangka subtansi dari teks ilahiyah dalam Al-qur’an, bukan semata-mata mengagungkan konsepsi barat. Namun memang terkadang melenceng dari perbatasan yang telah ditentukan al-qur’an yang akhirnya teks-teks ilahiyah ini menjadi bias konsepsinya.

Pergolakan konsepsi ini setidaknya mampu dijadikan bahan refleksi bagi kita, sebenarnya polemik yang terjadi adalah dalam konteks “Pembenaran atas hujjah” bukan merupakan suatu “kebenaran!” Sehingga kita bebas untuk memilih antara kedua konsepsi dari kedua faksi tersebut sesuai dengan keyakinan yang kita miliki, namun yang menjadi titik kuiditas dari hermeneutik ini adalah bagaimana kita mampu mengakulturasikan konsepsi tafsir menurut pemikir islam dengan pemikir barat, sehingga kita lebih egaliter dan mampu membandingkan konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam memahami pesan ilahiyah yang tercover dalam teks suci. Justeru dengan munculnya metode hermeneutik ini cakrawala pemikiran kita akan mampu berkembang khusunya dalam peneafsiran, meskipun memang ketika hermeneutik ini dijadikan pisau analisis untuk al-qur’an ini maknanya menjadi absurd, namun setidaknya pengembangan grand thema dari teks ayatnya ini akan melebar dalam sub-sub makna yang dikandung, dalam sebuah bagan ini mungkin dapat memperjelas dalam memahami strategi analisisnya, misalnya
Kemudian dalam ayat al-qur’an tentag “Hukum Potong Tangan”, dalam konsepsi penulis penjabarannya sbb :

Ayat Al-Qur’an

Metode

Penjabaran

Hukum Potong Tangan

Bil-Ma’tsur

Memahami maknanya secara Hakiki (tekstual), sehingga orang yang mencuri ini dihukum dengan “Dipotong tangannya”

Bil-Ra’yi

Memahami maknanya secara Majazi, maksudnya diarahkan bagaimana seseorang itu agar tidak mencuri lagi, dengan istilah “Penjara”, yang menjadikan tangan seseorang itu tidak mampu berkutik mengambil hak orang lain.

Hermeneutik

Memahami secara historis munculnya ayat, kemudian kondisi sosial masyarakat pada saat itu, serta mencoba mengikuti alur dari pengalaman & fikiran-fikiran tuhan yang dimaksud. Sehingga substansi dari ayat tersebut mampu dilacak lebih jauh.

Wallahu A’lam Bisshawaab....