Oleh : A_dhie_thea
Sejarah berasal dari pilologi kata ‘syajarotun’ (pohon), bila kita deteksi secara filosofis, akar pohon sebagai simbolisasi titik awal kehidupan, dahan dan batang pohon sebagai sebuah proses, dan seimbolisasi buah sebagai hasil dari gerak sejarah atau sebagai ‘peradaban’ yang dikonstruksikan oleh manusia. Tentunya gerak langkah manusia merupakan ukiran tinta kehidupan dalam mahkamah sejarah. Apa yang kita lakukan sedetik sebelumnya adalah sejarah. Meskipun terkadang ‘penguasa’ seringkali melakukan propaganda sejarah yang hanya meninggalkan serpihan-serpihan absurditas bagi generasi berikutnya, betapapun tidak ‘egosentris-fanatisme’ yang selalu menjadi alibi untuk melakukan propaganda. Yang akhirnya melahirkan ‘fanatisme’ segagai penyakit keturunan, ketika ‘konflik politik’ antara kelompok Sahabat Ali dan Mu’awiyah mengakar kuat yang melahirkan faksi Syi’i dan Sunni. Bahkan diversitas yang tidak prinsipil dalam tubuh islam ini seakan menjadi diding pemisah yang teramat tinggi. Alhasil, Polemik ini menjadi warisan dalam mahkamah sejarah. Sepertinya ini menjadi akar permasalah yang berbuntut ketertinggalan umat islam, karena umat islam terkonsentrasikan pada problematika internal. Sedang diluar intervensi kaum kapitalis, sosialis-komunis mulai merebak, sehingga umat islam terkontaminasi oleh konsepsi-konsepsi asing yang senyatanya merupakan pengembangan terhadap konsep yang dulu pernah dilegislasikan oleh pemikir islam. Yang direbut pada masa perang salib. Lantas apakah kita mesti terkungkung dalam lingkaran problematika yang dirancang khusus untuk kita sendiri? Sepertinya kita terjebak dalam jebakan yang kita buat sendiri karena sabotase penguasa dalam mahkamah sejarah.
Dalam konsep Nietzche, setidaknya dalam mempelajari gerak sejarah mesti menginterpretasikannya secara; historis, a historis dan supra-historis. Penginterpretasian sejarah secara ‘historis dan a historis’ merupakan suatu ‘konsep kebahagiaan dan penderitaan’, menurutnya memperlajari sejarah cenderung membuat orang tidak bahagia, belajarlah bagaimana melupakan dan mengingat pada waktu yang tepat. Inilah yang senyatanya membuat umat islam terpenjara dalam lingkaran eksistensi fanatisme golongan yang hanya melahirkan stagnasi berfikir. Betapa pun tidak kebencian dan penderitaan yang menjadi warisan ini lahir dari rahim kepahitan masa lalu, yang menjadi embrio konfik internal dalam umat islam. Kemudian, masa kejayaan umat islam diabad pertengahan selalu dijadikan suatu kebanggan yang berlebihan, sehingga virus ‘status quo’ menjangkit sebagian umat islam yang hanya melahir efek kemapanan berfikir. Idelanya ‘perseteruan politik dan kejayaan islam’ yang tercatat dalam mahkamah sejarah meski kita format ulang untuk dijadikan embrio dan motivasi dalam melakukan suatu inovasi-inovasi untuk kemajuan umat islam dengan melakukan Romantisasi Sejarah bukan Romantisme Sejarah.
Kemudian, Sejarah sebagai ‘Supra-historis‘ merupakan suatu konsepsi tentang keselamatan dan kebahagiaan selalu dalam proses’. Meskipun pada akhirnya perdebatan theologi islam yang tak kunjung reda ini akan terbongkar kembali dalam memori kita, tentunya benturan pemikiran antara Jabariyah, Qodariyah, Asya’riyah/ Maturidiyah. Dan sampai detik ini hal tersebut tetap menjadi teka-teki kehidupan. Yang mengerucut pada wilayah privasi yakni keyakinan individual maupun kolektif dalam sebuah faksi.
Tentunya perdebatan yang menghiasi mahkamah sejarah ini mesti kita respon secara egaliter dan fleksibel sesuai kebutuhan, yang menjadi substansi adalah bagaimana kita memposisikan diri kapan kita mengingat dan melupakan sejarah. Dan memformat Perseteruan dan Konfik politik yang dulu diselesaikan dengan ‘hunusan pedang’ ditransvaluasikan dengan ‘penajaman nalar’ untuk membangun kembali ‘kejayaan peradaban islam’ di masa lampau, dalam bahasa Hassan Hanafi ; “Semangat Peradaban adalah semangat bangsa, Semangat Ketuhanan yang menyejarah”.
Wallahu A’lam Bisshawaab,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar