Rabu, 08 April 2009

Menelanjang Tafsir Hermeneutika

Oleh : A_dhie_thea


Dalam literatur sejarah yunani kuno, hermeneutik merupakan literatur yang terinspirasikan dari kata “Hermes”, seseorang yang dijadikan sebagai penafsir (interpretasi) terhadap kata-kata sakral (pesan) dari sang dewa untuk dikabarkan kepada masyarakat, mungkin dalam ajaran islam sering kita sebut sebagai Nabi. Lambat laun perjalan waktu “Hermes” ini diabadikan sebagai inspirasi dari istilah “Hermeneutik”.

Pasca dari mitos yunani, hermenutik mengalami perkembangan, kemudian digunakan sebagai pisau analisis dalam memahami pesan-pesan Tuhan dalam Bibel untuk diimplementasikan dalam realitas sosial. Pada fase awal, Hermeneutik lebih spesifik hanya menelaah pada kontaks kata-kata (teks), artinya hanya terfokus pada tataran maksud dari fikiran Tuhan secara tekstual. kemudian dalam fase pertengahan, Hermeneutik terpolarisasi dalam sektor Literal, Allegoris, Moral dan Eskatologis. Dalam hal ini terks-teks suci ini dipolarisasikan pada tataran kata,bahasa,moral dan hari akhir. Kemudian terjadinya akselesari Hermeneutik ini pada fase modern, dengan tokohnya Frederich Scheleirmacher pada abad ke-20, identitas Hermeneutik yang disuguhkan lebih pada tataran bahasa yang tertuang dalam teks ilahiyah, Scheleirmacher juga menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya. Kemudian muncul kembali seorang tokoh yaitu Gadamer dengan konsepsi “dimensi bahasanya”, menurutnya bahasa ini memiliki 2 dimensi :

a. Dimensi Internal ; pada aspek psikologis manusia dan intensional (kontruksi berfikir)

b. Dimensi Eksternal ; pada aspek ini manusia menerima respon dari luar, atau dimensi ini terbatas pada hal-hal yang berada diluar dimensi internal manusia.

Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks.

Menurut pendapat Wilhelm Dilthey hermeneutik merupakan metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutik adalah menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Dilthey berusaha untuk menemukan arti asli dari teks lalu menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si pengarang. Apa yang dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini Dilthey masih terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha meniadakan prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si pengarang.

Kunci pokok dalam menggunakan metode hermeneutik, kita perlu memahai dunia teks, bahasa yang digunakan apakah mengandung makna hakiki ataukah majazi, yang kemudian akan mempermudah dalam kerangka analisisnya. Kemudian lebih ekstreemnya kita seakan masuk dalam dunia pengarang (Pengalaman Tuhan) agar maksud-maksud yang tercover dalam teks yang menjadi curahan fikiran-fikiran Tuhan (dalam bahasa Hassan Hanafi) itu mampu tercerap oleh manusia. Sehingga dalam tataran praksisnya manusia mampu memahami secara komprehensif.

Menurut hemat penulis, Hermeneutik ini merupakan padanan katanya dengan Tafsir Bil-Ra’yi, namun ketika hermeneutik ini dijadikan sebagai pisau analisis untuk menafsirkan Al-qur’an ini yang kemudian menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan, katakanlah antara faksi fundamentalis dan liberalis, kaum fundementalis mengclaim bahwa “Haram” hukumnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan Al-qu’an, mungkin karena lahirnya hermeneutik ini dari orang-orang kafir (barat) sehingga imege building yang muncul adalah hermeneutik ini seakan menyetarakan derajat antara al-qur’an dan bibel, sedangkan faksi liberalis ini lebih egaleiter dalam memandang konsepsi hermeneutik dalam menafsirkan al-qur’an, sebab yang mereka jadikan hujjah adalah kerangka subtansi dari teks ilahiyah dalam Al-qur’an, bukan semata-mata mengagungkan konsepsi barat. Namun memang terkadang melenceng dari perbatasan yang telah ditentukan al-qur’an yang akhirnya teks-teks ilahiyah ini menjadi bias konsepsinya.

Pergolakan konsepsi ini setidaknya mampu dijadikan bahan refleksi bagi kita, sebenarnya polemik yang terjadi adalah dalam konteks “Pembenaran atas hujjah” bukan merupakan suatu “kebenaran!” Sehingga kita bebas untuk memilih antara kedua konsepsi dari kedua faksi tersebut sesuai dengan keyakinan yang kita miliki, namun yang menjadi titik kuiditas dari hermeneutik ini adalah bagaimana kita mampu mengakulturasikan konsepsi tafsir menurut pemikir islam dengan pemikir barat, sehingga kita lebih egaliter dan mampu membandingkan konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam memahami pesan ilahiyah yang tercover dalam teks suci. Justeru dengan munculnya metode hermeneutik ini cakrawala pemikiran kita akan mampu berkembang khusunya dalam peneafsiran, meskipun memang ketika hermeneutik ini dijadikan pisau analisis untuk al-qur’an ini maknanya menjadi absurd, namun setidaknya pengembangan grand thema dari teks ayatnya ini akan melebar dalam sub-sub makna yang dikandung, dalam sebuah bagan ini mungkin dapat memperjelas dalam memahami strategi analisisnya, misalnya
Kemudian dalam ayat al-qur’an tentag “Hukum Potong Tangan”, dalam konsepsi penulis penjabarannya sbb :

Ayat Al-Qur’an

Metode

Penjabaran

Hukum Potong Tangan

Bil-Ma’tsur

Memahami maknanya secara Hakiki (tekstual), sehingga orang yang mencuri ini dihukum dengan “Dipotong tangannya”

Bil-Ra’yi

Memahami maknanya secara Majazi, maksudnya diarahkan bagaimana seseorang itu agar tidak mencuri lagi, dengan istilah “Penjara”, yang menjadikan tangan seseorang itu tidak mampu berkutik mengambil hak orang lain.

Hermeneutik

Memahami secara historis munculnya ayat, kemudian kondisi sosial masyarakat pada saat itu, serta mencoba mengikuti alur dari pengalaman & fikiran-fikiran tuhan yang dimaksud. Sehingga substansi dari ayat tersebut mampu dilacak lebih jauh.

Wallahu A’lam Bisshawaab....

Tidak ada komentar: