Rabu, 08 April 2009

Lunturnya Sakralitas Ijazah

Oleh : A_dhie_thea


Dalam literatur sejarah bangsa indonesia, Ijazah merupakan suatu konsep yang diterapkan oleh bangsa Belanda pada saat menjajah bangsa indonesia, meskipun konsep ijazah ini merupakan suatu pengejawantrahan atas pemikiran filsafat strukturalisme, yang lebih mementingkan simbol belaka.

Dulu, ijazah merupakan suatu kebanggaan dan bukti administrasi secara formal seseorang setelah melewati proses pembelajaran dalam suatu jenjang pendidikan baik SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Orang bisa dikatakan terpandang dan mempunyai keilmuan yang memadai manakala telah melewati jenjang pendidikan pada tahap Perguruan Tinggi. Bahkan masyarakat menganggap orang yang berpredikat Sarjana sebagai orang yang serba bisa. Tak peduli dia lulusan fakultas pendidikan, teknik mesin, ekonomi maupun yang lainnya, yang pasti orang tersebut pasti mampu menangani segala macam hal. Dan jumlah sarjana-nya pun relatif sedikit, kerena minimnya jumlah perguruan tinggi dan lokasi yang cukup jauh, sehingga minat masyarakat pun terkerangkeng oleh ruang dan waktu. Meskipun jumlah sarjana relatif sedikit, namun dalam segi kualitas keilmuan cukup memadai, karena ditopang dengan kegigihan dan keseriusan dalam mencapai ruh dari ilmu, dan benar-benar menghayati tentang makna pendidikan seumur hidup dan berorientasi pada ‘tholabul-ilmi’. Sehingga wajar bila produk pemikiran dan kapasitas keilmuan yang dimilikinyapun teruji. Meskipun pada saat itu teknologi belum begitu mendukung sepenuhnya. Kegigihan dan keseriusan terpancar dalam setiap gerak langkah para pencari ilmu, yang kelak akan menjadi seorang pendidik. Padahal senyatanya jika pada saat itu ditopang dengan teknologi yang memadai layaknya hari ini, mungkin akan banyak lahir seorang pendidik yang mempunyai kapasitas keilmuan yang memadai.

Dalam perkembangannya, ternyata perkembangan teknologi yang senyatanya mempau menopang transformasi keilmuan bagi para calon pendidik pada saat itu, justru membuat dinding pragmatisme-oportunisme, pengerjaan tugas yang serba praktis, bahkan teknologipun digunakan untuk salah satu media dalam pengedaan Perkuliahan di dunia maya, yang lebih berorientasi pada materialis ketimbang idealis keilmuan. Dan inilah yang senyatanya membuat degradasi keilmuan, kemudian semakin banyaknya inisiatif untuk membuaka perkuliahan model kelas jauh dan sejenisnya, dengan asumsi mempermudah seseorang untuk memperoleh gelar, dan tentunya gelar yang diperolehpun cederung pada kertas biasa yang kesakralannya masih dipertanyakan dan kapasitas keilmuan yang dimiliki oleh pemilik ijazah ini tidak sebanding dengan gelar yang diperoleh, akibatnya ketika mereka terjun dalam dunia praksis (sebagai pendidik) banyak mengalami berbagai kendala yang cukup signifikan, karena dis-orientasi dan kesalahan struktural dalam memperoleh gelar, senyatanya dalam UU. RI. No. 20 Thn. 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Atau dalam bahasa Ki Hajar Dewantoro pendidikan adalah tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Senyatanya, dalam berbagai jenjang pendidikan titik tumpuan yang mesti dijadikan oreientasi adalah ‘tholabul ilmi’ bukan semata-mata untuk mencari uang dan pekerjaan, karena semua itu hanyalah efek domino dari keahlian dan keilmuan yang kita miliki. Wajar jika hari ini tujuan nasional pendidikan belum tercapai secara maksimal dan wajah pendidikan semakin buram dan carut-marut. Mengatasi kegelisan ini pemerintah yang punya otoritas dalam kebijakan pendidikan ini membuat suatu regulasi untuk meng-counter gerak para pelaku dan pendiri kelas-kelas jauh, Sehingga pada tanggal 22 September 2000, diterbitkan surat Nomor: 2630/D/T/2000) yang ditandatangani oleh Direktur Dikti Satryo Soemantri Brodjonegoro (NIP 130889802). Ada empat hal yang penting dalam surat tersebut, yaitu: (1) Kelas jauh dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan.(2) Penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (bukan kelas jauh) selama ini ditangani oleh Universitas Terbuka, dan dalam waktu mendatang PTN lain dan PTS dapat melakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan pola seperti Universitas Terbuka atau menggunakan media teknologi informasi yang saat ini sudah sangat berkembang.(3) Untuk menjamin mutu dan keadilan dalam berkompetisi antara PTN dan PTS maka perlu ditetapkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan Jarak Jauh.(4) Segera setelah terbitnya keputusan tersebut maka PTN dan PTS dapat mengusulkan pelaksanaan pendidikan jarak jauh berdasarkan rambu-rambu yang berlaku.(5) Evaluasi akan dilakukan secara cermat terhadap usulan tersebut sebelum dikeluarkan ijin penyelenggaraan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Namun berbagai ide ini tidak sesuai dengan realita, justeru para pemegang kebijakan dan para pejabat dalam institusi pendidikan ini sebagai konseptor dan inisiator terselenggaranya perkuliahan kelas jauh, sehingga wajar bila regulasi ini hanyalah ‘kertas yang kosong akan nilai implementasi’. Dan tak ada ubahnya dengan kertas-kertas yang digunakan sebagai bungkus ‘bala-bala’ yang kesakralannya mulai meluntur terkena minyak oportunisme-pragmatisme.

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,

Tidak ada komentar: