Rabu, 08 April 2009

Pribumisasi 'Civil Society' dalam Pendidikan

Oleh : A_dhie_thea

Manusia[1] adalah hewan yang berfikir (al-hayawanu-natiq atau animal ratio) merupakan definisi lawas yang dilontarkan Aritoteles, yang menjadi titik diversitas antara manusia dengan mahluk lain adalah identitas pada diri manusia berupa potensi akal untuk menelaah fenomena yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupannya. Karena dalam aspek antropologis, manusia merupakan homo socius artinya mahluk yang bermasyarakat,[2] saling tolong menolong dalam rangka mengembangkan kehidupan di segala bidang.[3] Tentunya manusia merupakan pelaku konkrit mahkamah sejarah dalam mengemban amanah sebagai ‘kholifah fil-ard’.

Senyatanya kata ‘masyarakat’ merupakan bentuk kesepakatan sosial untuk memberikan identitas pada sekelompok manusia yang berkumpul yang terdiri dua atau lebih. Menurut Ralp Linton, Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.[4]

Meskipun terkadang kompleksitas problematika seringkali menghipnotis manusia menjadi sesuatu yang tidak ada bedanya dengan objek material yang seenaknya di eksploitasi. Sehingga lupa akan determinasi dalam diri manusia sebagai pelaku kongkrit mahkamah sejarah dalam kehidupan, tidak sedikit orang yang tidak menyadari tentang hakekat dirinya, dan untuk menyadari hakekat diri manusia tidak memperolehnya secara serta merta. Manusia muncul dari historisitas dan konsekuensi logisnya, manusia hidup dalam proses. Sehingga manusia membutuhkan “pendidikan” (Paulo Freire).[5],

Secara general, Pendidikan merupakan usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan.[6] Menurut seorang yang memiliki paham behaviorisme John Dewey (1985) Pendidikan merupakan proses yang tanpa akhir (Education is the process without end).[7] Tentunya eksistensi pendidikan[8] ini menjadi suatu keniscayan, betapapun tidak, dalam literatur sejarah diberbagai belahan dunia, urgensitas pendidikan menjadi komponen yang membentuk suatu peradaban.

Meskipun diskursus pendidikan bermunculan seiring dengan perkembangan zaman (IPTEK), yang menjadikan suatu sinyalemen bagi instrument yang bertanggung jawab atas pendidikan untuk bersama-sama melakukan suatu controlling dalam proses pendidikan, dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 diterangkan bahwa Instrumen yang bertanggung atas terselenggaranya pendidikan adalah keluarga, masyarakat, dan pemerintah.[9] Ketiga instrument ini merupakan 3 kekuatan yang semestinya saling mendukung dalam penyelenggaraan proses pendidikan. Menurut Tilaar (2001) Pendidikan dewasa ini dihadapkan pada 7 krisis pokok : (1) menurunnya akhlaq dan moral peserta didik, arus globalisasi dan modernisme ini menghantarkan efek degradasi moralitas dikalangan peserta didik, kenakalan remaja, narkoba dan sex bebas seakan mentradisi, pasalnya kemajuan IPTEK dialihfungsikan pada hal-hal yang negative serta lemahnya system controlling dari orang tua dan pihak sekolah.(2)Pemerataan kesempatan belajar, Wajar Dikdas 9 Th yang dijadikan kebijakan pemerintah ternyata belum merata, apalagi biaya pendidikan yang secara tidak langsung mengklasifikasikan peserta didik antara yang miskin dan kaya serta jaminan bekerja yang diberikan menjadikan minimnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya, sehingga mereka lebih memilih bekerja yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang menyekolahkan anak dengan harus mengeluarkan biaya yang melambung tinggi (3)masih rendahnya efesiensi internal system pendidikan (4)Status kelembagaan (5)Manajemen Pendidikan yang tidak sejalan dengan perkembangan (6) SDM yang belum professional.[10]

Senyatanya, kompleksitas problematiak dalam dunia pendidikan semakin kentara dan bukan hal yang tabu, justeru setiap komponen dalam pendidikan ini sudah terindikasi mengalami ketidak stabilan.

Penulis menspesifikasikan pada tataran masyarakat dalam konteks pendidikan, bagaimana responshibility dan urgensitas pendidikan secara filosofis, dengan melacak kebudayaan yang dibangun selama ini dan menawarkan sebuah konsepsi Nurcholis Majid tentang ‘ Masayarakat Madani’ yang merupakan pengggambaran terhadapa nilai-nilai masyarakat Madani yang dijsutifikasi terpancar dari nilai-nilai Islam yang tertuang di dalam Piagam Madinah. Adapun subsistem yang ada konsepsi “Masyarakat Madani” sebagai berikut :

(a) Egaliter. Kata egaliter menurut Marbun, bermakna kesetaraan. Egalitarian adalah paham yang mempercayai bahwa semua orang sederajat, sementara egalitarianisme diartikan sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia-manusia itu ditakdirkan sama, sederajat, tidak ada perbedaan kelas dan kelompok.

(b) penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi ( bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya). Nilai ini sama sekali tidak ada dalam Islam

(c) Keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif) sebagai ciri masyarakat Madani yang ketiga adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan untuk mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut Nurcholis akan memberi peluang pada adanya pengawasan sosial. Lebih lanjut Nurcholis mengatakan bahwa keterbukaan adalah konsekuensi dari prikemanusian, suatu pandangan yang melihat sesama manusia pada dasarnya adalah baik, sebelum terbukti sebaliknya. Oleh karenanya kita harus menerapkan prasangka baik (husnul-zhan), bukan prasangka buruk (su’uzhan) kecuali untuk keperluan kewaspadaan.

Konsepsi tentang “masyarakat Madani”ini merupakan suatu solusi untuk merespon problematika yang terjadi dalam dunia pendidikan belakangan ini, konsep egaliter mempunyai makna filosofis, bagaimana seorang pendidik mampu bersikap egaliter terhadap peserta didik tanpa membenda-bedakan antara di miskin dan si kaya, kemudian pemerintah sebagai otoriatas pemegang kebijakan dalam pendidikanpun mesti bersikap egaliter tanpa melihat backgroud lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, meskipun sudah melakukan langkah konkrit dengan membuat Undang-Undang No......tentang tidak adanya dikotomi antara negeri dan swasta, namun dalam tataran praktisnya masih belum compalibel dengan regulasi yang telah ditetapkan.

Berbagai problematika ini menjadi sebuah sinyalment bahwa manusia telah kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya dan keakuan yang senantiasa dimilikinya, karena ia bergantung kepada pengetahuan eksternal yang tidak berhubungan langsung dengan dirinya, yaitu pengetahuan yang hendak dicarinya dari luar dirinya.[11]



[1] Menurut Plato jiwa manusia adalah entitas non material yang dapat terpisah dari tubuh. Menurutnya, jiwa itu ada sejak sebelum kelahiran, jiwa itu tuidak dapat hancur (abadi), dan hakekat manusia itua da dua yaitu rasio dan kesenangan (nafsu) lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Rosdaykarya, Bandung, 2006 hal. 9.

[2] Masyarakat mencakup beberapa unsur : (a)Masyarakat sebagai manusia yang hidup bersama, Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis angka minimalnya adalah dua orang yang hidup bersama (b) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru, manusia itu juga bisa bercakap-cakap, merasa dan mengerti ; mereka juga memiliki keinginan-keinginan untuk menyempaikan kesan-kesan stau perasaan-perasaannya. Sebagai konsekuensi logis dari hidup bersama itu, tumbuhlah sistem komunikasi dan timbulah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dalam kelompok tersebut (c) mereka sadar bahwa mereka adalah satu kesatuan (d) Mereka merupakan satu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya. Lihat Soerjono Soekanto, Sossiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1990. hal.26-27

[3] Lihat Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan; hlm 2

[4] Lihat Soerjono Soekanto, Sossiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1990. hal.26

[5] Lihat Utomo Dananjaya ,Sekolah Gratis ; hlm.55

[6] Op Cit, hlm 2

[7] Lihat DR.H. Syaiful Sagala, M.Pd, Administrasi Pendidikan Kontemporer ; hlm.4

[8] Pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia, yang telah dinyatakan oleh orang-orang Yunani, lebih dari 600 tahun sebelum masehi. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Rosdaykarya, Bandung,2006 hal.33. dalam pilologi kata ‘ pendidikan’ biasanya diidentikan dengan kata ‘At-tarbiyah’ Tarbiyat merupakan kegiatan yang membawa manusia sedikit demi sedikit kepada kesempurnaan yang terwujud dalam beribadah kepada Allah, At-tarbiat adalah proses pengembangan, pemeliha-raan, penagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki bagi anak didik baik jasad, akal, jiwa, bakat, potensi, perasaan, secara berkelanjutan, bertahap, penuh kasih saying, penuh perhatian, kelembutan hati, menyenangkan, bijak, mudah diterima, sehingga membentuk kesempurnaan fitrah manusia, kesenangan, kemuliaan, hidup mandiri, untuk mencapai ridha Allah (definisi secara luas dan formal). Secara general kata tarbiyah berasal dari tiga kata kerja yang berbeda : Raba-Yarbu ; yang bermakna nama-yamnu, artinya berkembang. Rabiya-Yarba yang bermakna nasya’a, tara’ra –a, artinya tumbuh Rabba-Yurabbu yang bermakna aslahahu, tawalla amrahu,sasa-ahu,wa qama ‘alaihi,wa ra’ahu yang berarti memperbaiki, mengurus,memimpin, menjaga, dan memeliharanya atau mendidik. Lihat H. Drs. Dedeng Rosidin, Akar-Akar Pendidikan dalam Al-qur’an dan Al-Hadits, Pustaka Umat Bandung, 2003.hal. 15

[9] Lihat Dr. Redja Mudyahardjo, Filsafat ilmu Pendidikan,hlm. 56

[10] Lihat Kunandar, S.Pd, M.Si, Guru Profesional, hlm.14

[11] Lihat Sayyed Hosein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Moern; hlm. 6

Tidak ada komentar: