Kamis, 23 Desember 2010
JIWA DAN RUH DALAM PANDANGAN FILSUF ISLAM
Al Kindi
Jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak aksidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan. Menurut Al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya, antara lain 1. jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah), 2. jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan 3. jiwa berakal (al-quwwah al-‘aqilah). Selama ruh atau jiwa berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh.
Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, llahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.
Ibnu Sina
Segi – segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam – macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan – kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain – lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
1. Jiwa tumbuh – tumbuhan dengan daya – daya : makan, tumbuh, berkembang biak.
2. Jiwa binatang dengan daya – daya : gerak, menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera, Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala. Rekoleksi yang menyimpan hal – hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3. Jiwa manusia dengan daya – daya : Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal – hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a. Akal materil yang semata – mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal – hal abstrak.
d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal – hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Pandangan filosof Muslim tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan jiwa.
1. Mahiyat al-nafs (Makna dan esensi jiwa)
Beberapa filosof Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Al-Kindi, Ibnu Bajjah berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad.
Hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa.
Ibnu Sina juga menerima pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi dan bentuk, dan jiwa memiliki hubungan erat dengan badan. Hanya saja Ibnu Sina sejalan dengan filosof Muslim lainnya yang menolak pendapat Aristoteles, bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang esensial, karena ini akan berimplikasi pada kefanaan jiwa. Jika jasad hancur maka jiwa juga akan hancur. Sebab itu para filosof Muslim kemudian lebih memilih pendapat Plato. yang mengatakan bahwa hubungan tersebut adalah accident, yang memposisikan jiwa kekal dan tidak binasa walaupun jasad tempat di mana jiwa berada telah hancur.
Menurut Sirajuddin Zar, filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka menyelaraskannya dengan ajaran Islam. Hal itu karena adanya ayat al-Quran yang menjadi tembok penghalang dalam menyingkap tabir hakekat ruh, di mana hanya Allah swt semata yang mengetahui urusan ruh . Jika ini benar, maka bagi penulis di balik kesuksesan besar yang telah dicapai para filosof Muslim dalam dunia filsafat,
Keabadian Jiwa.
Keabadian jiwa bukanlah keabadian yang haqiqi sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir . Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Lebih rinci Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa jiwa memiliki temporalitas, tanda temporalitasnya adalah ketidak tentuannya dan ketidak pastiannya kecuali dengan perantaraan tubuh. Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh
Dalam membuktikan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil ;
1. Burhan al-infisal (bukti perpisahan). Perpaduan jiwa dan jasad bersifat aksiden, keduanya memiliki substansi tersendiri, dan jika jasad mati atau hancur, jiwa tetap dan kekal. Sementara jasad bergantung kepada jiwa untuk bisa hidup
2. Burhan al-basatat (bukti keluasan). Jiwa adalah substansi ruhani yang luas. Dengan keluasannya ia selalu hidup dan tidak mati.
3. Burhan al-musyabbahat (bukti persamaan). Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia bersumber dari akal fa’al (akal kesepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal Sepuluh adalah merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)nya juga akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)nya
Al-Ghazali
Dengan demikian terdapat empat bagian dari diri manusia:
1. Jiwa Berfikir (nafs nâthiqoh) atau dalam al-Qur’an disebut sebagai nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram) dan rûh amrî atau istilah lainnya disebut sebagai kalbu. Jiwa ini adalah esensi yang hidup, aktif dan rasional. Kalbu ini dipercaya memiliki substansi seperti jasad. Ia dapat melihat segala yang tampak dengan mata dan melihat hakekat dengan akal. Sebagaimana sabda rasul: ﻥﺎﻧﻳﻋ ﻪﺒﻠﻗﻠﻮ ﻻﺇ ﺪﺑﻋ ﻦﻤ ﺎﻤ (artinya: tidak ada dari seorang hamba itu kecuali kalbunya memili dua mata). Keduanya dapat melihat hal yang ghaib. Dan ia pun tidak akan mati namun hanya kembali kepada Tuhan mereka :
ﺔﻳﻀﺮﻤ ﺔﻳﻀﺍﺭ ﻚﺒﺮ ﻰﻟﺇ ﻲﻌﺠﺮْﺍ ♦ ﺔﻨﺌﻣﻄﻣﻠﺍ ﺲﻓﻧﻠﺁ ﺎﻬﺗﻳﺃ ﺎﻳ [23]
(wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridloi). Dalam kehidupannya, jiwa ini selalu bekerja mencari ilmu, karena ilmu adalah perhiasannya di akherat.
1. Jasad, perangkat tubuh manusia yang kasar dan empiris. Allah menyusun jasad ini dari saripati tanah dan disusun dan dibangun dari sari-sari makanan. Ia terdiri dari bagian-bagian keras dan kuat serta melaksanakan tugas-tugas berjalan, gerakan, penginderaan yang diperintahkan oleh ruh hewani (sebagai pelayan ruh hewani).
2. Ruh Hewani sering pula disebut sebagai nafsu. Ruh hewani ini merupakan penggerak syahwat dan emosi. Lebih jauh lagi Ia pula yang melahirkan keinginan-keinginan untuk melakukan kekerasan, amarah, berbuat sadis menguasai segala sesuatu dan lain sebagainya.[24] Ruh hewani dapat digambarkan sebagai jasad lembut yang bertempat di dalam kalbu. Ia bagaikan lampu menyala di dalam kaca kalbu. Kehidupan adalah cahaya lampu itu dan darah adalah minyaknya . emosi adalah panasnya, sedangkan kekuatan yang menggerakkan jasad adalah ajudannya.
3. Ruh kehidupan. Ruh ini tidak menunjukkan pada ilmu serta tidak menegtahui jalan makhluk dan kebenaran pencipta. Ia merupakan kehidupan di saat jasad hidup, dan ia akan mati seiring jasad mati.
Dari berbagai hal yang dimiliki manusia tersebut, maka Ghazali kemudian membaginya dalam tiga dimensi, yakni: Jasad, ‘Aradh, serta jawhar. Jasad sebagaimana diterangkan diatas merupakan bagian kasar. Sementara ‘aradh (aksiden) adalah ditentukan oleh jasad dan ruh. Ia tidak kekal setelah substansi –yakni nafs nâthiqoh— kembali kepada sang pencipta. Sedangkan jawhar (substansi) ialah jiwa yang tak pernah mati, jiwa yang hanya kembali kepada Tuhan, nafs al-muthmainnah.
Lebih lanjut, dalam buku-buku Ghazali yang lain (Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifah al-Nafs), ia tidak berbeda dengan Ibnu Sina dalam teori hubungan antara jiwa dan akal.[25] Ibnu Sina (demikian juga al-Ghazali) membagi jiwa menjadi 3 bagian:[26]
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini mempunyai tiga daya yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak.
2. Jiwa binatang. Mempunyai dua daya yaitu daya penggerak dan daya pencerap. Daya penggerak dapat berbentuk nafsu, amarah dan bisa pula berpindah tempat. Sedangkan daya pencerap dapat diterima melalui pancaindera lahir (mata, telinga, mulut, kulit dan hidung) serta indera batin, yakni; pertama, indera bersama, bertempat di bagian depan otak yang berfungsi menerima kesan-kesan dari pancaindera luar. Kedua, Indera penggambar, bertempat di bagian depan dan bertugas melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama. Ketiga, Indera pengreka yang berada di otak tengah dan bertugas untuk memisahkan kesan-kesan yang diterima kemudian digabungkan lagi. Keempat, indera penganggap yang berada di otak tengah dan berfungsi mengungkap arti yang dikandung gambaran itu. Dan kelima, indera pengingat yang berada di bagian belakang otak dan bertugas menyimpan gambar itu.
3. Jiwa manusia yang mempunyai daya berfikir. Dapat pula disebut sebagai aql (akal), dan akal ini dibagi dua; akal praktis yang berfungsi menangkap gambar-gambar empiris dan akal teoritik yang berfungsi menangkap hal-hal yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh, dan sebagainya.
Menurut Imam al-Ghazali, roh manusia mempunyai tiga unsur yang membedakannya dengan roh makhluk-makhluk lain iaitu hati (al-Qalb), nafsu (al-Nafs) dan akal (al-‘Aql).
Alfarabi
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi.
Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.
Minggu, 16 Agustus 2009
Karakteristik Berfikir Kritis
KARAKTERISTIK BERFIKIR KRITIS
Oleh : a_dhie
Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:
- Watak (dispositions) Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
- Kriteria (criteria) Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
- Argumen (argument) Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.
- Pertimbangan atau pemikiran (reasoning) Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.
- Sudut pandang (point of view) Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
- Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria) Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.
Jumat, 26 Juni 2009
Konsepsi Manusia Tentang Tuhan
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan harus mengikuti alur berfikir manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran,tidak boleh ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 ‘dibunuh’ Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan. Mungkin bila Imam Al-Ghazali masih hidup beliau sudah membantai konsepsi-konsepsi “Religion” barat dengan Tahfut-nya.
Pergolakan pemikiran di Barat tentang “ Agama” ini nampaknya sudah pada titik kulminasi, para sosiolog barat mengatakan agama adalah fanatisme, kemudian F. Schleiermacher menyatakan bahwa Agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence) itulah sederetan konsepsi yang akhirnya memunculkan fantisme golongan, tak kalah peliknya Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”, bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”.Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan bisa dibunuh.
Nampaknya, tak ada salahnya konsepsi tentang “ Barat maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan Islam mundur karena meninggalkan agamanya”, islam sebagai rahmatan lil alamiin disinyalir hanya sebatas wacana transendental Pasalnya, tragedi kekerasan di monas menjadi sinyalment bahwa konsepsi tersebut masih melangit dan belum benar-benar terimplementasikan dalam realitas sosial, alhasil, tragedi tersebut hanya mempertebal fanatisme golongan serta ausnya tongkat ukhuwwah islamiyyah.
Kontradiksi ini semakin memperjelas dinding pemisah antar golongan, dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan ini terlalu berlebihan, seakan “Tuhan & Surga-Nya” adalah milik pribadi mereka, sehingga fanatisme & tirani yang akhirnya mencuat yang secara otomatis membetulkan segala konsepsi-konsepsi barat bahwa islam teroris dan penuh kekerasan, dengan di amini oleh tragedi kemarin.
Rentetan kekerasan yang bukan kali pertama terjadi, disinyalir karena pemahaman keislaman yang semakin absurd, kalimat suci “Allahu Akbar” kini sudah dis-orientasi untuk mendzholimi orang lain dengan asumsi jihad fi sabilillah, bukankah masih banyak stretegi lain untuk memecahkan pergolakan ini? Apakah islam mengajarkan untuk berseteru dan menganiaya kaum hawa dan anak kecil? Orientasi keislaman kita nampaknya sudah terpolarisasi oleh cultur simbolistik.
Senyatanya, umat islam mesti waspada terhadap pemikiran-pemikiran tokoh hanya karena gelarnya sudah mencapai profesor, namun kita tetap bersikap kritis terhadap pemikiran mereka, bukan sebaliknya, kita mengadopsi secara besar-besaran pendapat mereka, alhasil kita terpolariasi oleh konsep kaum sofisme (kaum idealisme-materialisme) dan mengakibatkan paradigma berfikir kita merelatifkan segala sesuatunya, karena standar yang digunakan oleh kaum sofis, sesuatu itu dikatakan ilmiah atau ada jika dapat dicerap oleh panca indera, baru bisa dikatakan sebagai sesuatu yang logis lagi rasional. Senyatanya, pemikiran-pemikiran mereka ini sudah saatnya untuk gulung tikar, rasionalitas terhadap konsep-konsep yang ditawarkan ini sudah terbantahkan, bukankah akal mereka juga gaib/ bersifat metafisik, dan tak terinderakan bagaimana wujud akan senyatanya, standar panca indera yang mereka gunakan tidak perlu dijadikan sebagai pegangan kita.
Pemikiran kaum sofis ini berujung pada atheisme, mereka mengangap bahwa Tuhan hanya sebatas konsepsi-konsepsi yang dibuat-buat oleh manusia karena Tuhan tidak tercerap oleh indera, bahkan Sigmun Frued mengatakan hal itu muncul dalam diri manusia akibat ‘Neorosis Obsesional’ (Obsesi yang tek tercapai) atau lugasnya dia mengatakan, bahwa orang yang mempercayai adanya Tuhan itu adalah orang yang terjangkit gangguan jiwa, dan Tuhan itu muncul dari kebodohan-kebodohan orang dulu yang tidak mampu menerjemahkan peristiwa alam (fenomena alam) sehingga mereka menyimpulkan hal ini dilakukan oleh Tuhan.
Betapa menyesatkannya pemikiran-pemikiran kaum sofis ini, hegemoni pemikiran yang cenderung dilakukan dengan rapih ini mesti kita waspadai dengan selalu kritis terhadap pemikiran-pemikiran mereka.
Wallahu A’lam Bisshawaab...
Dari Rakyat Oleh Rakyat untuk Pejabat
Dalam literatur sejarah, Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa antara abad XVII sampai dengan abad XVIII M. Trias Politica merupakan suatu konsepsi yang beranggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan. Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat Undang-Undang (legislasi); kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan Undang-Undang; ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.
Disamping itu, Trias politica mengajarkan kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, pasalnya, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin dan terakomodir.
Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris. Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan Undang-Undang; kekuasaan eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili; dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Selanjutnya, pada 1748, filsuf Prancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L'Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Prancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya. Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang/lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.
Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya, tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan Undang-Undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu, bila satu orang atau badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.
Tentunya, memang permalahan ‘demokrasi’ ini cukup pelik, apakah memang di indonesia ini sudah benar-benar menanamkan konsep demokrasi atau demokrasi hanya sebatas konsepsi yang melangit yang senyatanya tidak pernah membumi? Bila kita telisik fenomena dan tindakan eksekutor, legislator, dan yudikator, tak jarang kita melihat ‘demokrasi kaum penjahat’ yang hanya menghisap APBN atau APBD hanya untuk memperkaya diri. idealnya tiga macam kekuasaan ini bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya, namun virus dis-ekuilibrium (ketimpangan) ini semakin nampak, terbukti dengan sikap apatis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah baik yang bersifat sektoral maupun lintas sektoral. Perancangan undang-undang, perda, maupun perbup ini dinilai tak pernah membumi, contoh kongkrit perda 2007 tentang wajibnya menggunakan ijazah MD untuk melanjutkan kejenjang SLTP/SMP ternyata hingga detik ini hanya sebatas kertas yang tak jauh bedanya dengan bungkus bala-bala.
Rancangan Undang-undang apapun senyatanya hanya menghabiskan APBD belaka. Lantas demokrasi seperti apa di Indonesia ini, sepertinya sudah terjadi transvaluasi (perubahan makna) demokrasi. bukan lagi ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’ akan tetapi ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk penguasa’. Oleh karenanya, fungsi parlmen jalanan ini mesti diaktualisasikan sebagai controlling terhadap berbagai kebijakan yang digulirkan, dan sepertinya merupakan harga mati, betapatidak eksistensi parlemet jalanan ini sebagai penyambung lidah masyarakat. Namun ternyata ‘pragmatisme’ pun mewabah dalam tubuh parlemen jalanan, sehingga ‘idealisme’ parlemen jalanan-pun akhirnya tergadaikan. Dan lagi-lagi rakyat yang menggung akibat dari ‘negosiasi kaum penjahat’.
Semoga masyarakat kita mampu menerjemahkan bagaimana senyatanya demokrasi dan nilai-nilai mulai yang tercover didalamnya. Sehingga tercipta ‘good governance and clean govermanance’.
Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,
Minggu, 10 Mei 2009
Kontemplasi Cinta Jilid 2
Oleh : dhie_thea
Cinta Ilahi adalah ruh tanpa tubuh, cinta duniawi adalah tubuh tanpa ruh,
cinta spiritual adalah tubuh dan ruh sekaligus. Kerinduan yang tak berujung (Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah 2 : 347)
Cinta adalah Kekaguman yang tiada habisnya (Rabi’ah Al-Adawiyah)
Cinta adalah keindahan sejati yang terletak pada keserasian spiritual (Kahlil Gibran)
Cinta adalah Pandangan mata batin yang lebih tajam dari pada mata lahir, karena mata hati lebih peka dan sensitif daya tangkapnya, keindahan hal abstrak yangditangkap mata batin lebih mengagumkan dari mpada keindahan yang kongkrit dan terlihat kasat mata (Ihya Ulmuddin Al-Ghazali)
Cinta laksana virus yang menyebar dalam urat nadi manusia, kekaguman, keindahan dan kedalamannya mampu merobek singgasana kemanusiaan hingga mencapai titik dehumanisasi, apapun yang terpancar dari sang kekasih membutakan ‘nurani’ sang pencinta, Rasa cinta seakan terpahat dalam relung hati yang terhiasi oleh taman-taman kerinduan, terperangkap dalam jeratan kasih sayang, nama sang kekasih terukir dalam figura ketakjuban, kepingan-kepingan kerinduan dan harapan terikat erat ditepian eksistensi perasaan.
Sang pencinta terjerat dalam simbolisasi kecintaan, terjerembab dalam egoisme naif, seakan sang kekasih yang dicinta menjadi ‘hak paten’ yang tak boleh di-ganggu-gugat (absolutism), tak sedikitpun angin kebebasan menyegarkan kegersangan jiwa yang haus akan pertemanan, dan hangatnya cahaya pertemananpun mesti terhenti oleh ‘egoisme-naif’ sang pencinta, api kebencian berkobar tatkala sang kekasih diterpa hembusan angin, memang menyisakan ‘absurditas’
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, "Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai). Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya. Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan dia daripada diri dan harta sendiri, se-ia se-kata dengannya baik dengan sembunyi-sembunyi maupun terang- terangan, kemudian merasa bahwa kecintaan tersebut masih kurang. Mengembaranya hati karena mencari yang dicintai sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya. Menyibukkan diri untuk mengenang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya.
Muhyiddin Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Pada awalnya cinta duniawiah bukan untuk kepuasan diri atau kemurahan hati, karena disposisi alamiah tidak mengenal apa pun tentangnya – ia mencintai sesuatu hanya karena sifat khususnya, ingin bersamanya, dekat dengannya. Ini berlaku untuk semua hewan, dan setiap orang sepanjang mereka (dilihat dari sisi) kehewanannya. Hewan mencintai secara inheren, karena itulah eksistensinya, bukan karena alasan yang lain. Kendati demikian, ia tidak tahu makna dari eksistensinya.
Manifestasi dari rasa ’cinta’ adalah ’perasaan ikhlas dan saling percaya’ selalu ingin memberi yang terbaik, dan bangunan komitmen yang kokoh. Selalu tegak mesti diterpa badai oportunisme-sensualisme.
Renungkanlah!!! tanyakan landasan filosofis apa yang membuat anda memilih untuk ’bercinta’.
Robeknya Keperawanan Gedung Putih
Oleh : A_dhie
Tak terasa 2 minggu sudah pesta demokrasi terlewati, ‘contrengan sakral’ yang menentukan nasib masyarakat 5 tahun kedepan tidak bisa diputar ulang kembali, berbagai motif yang melatarbelakangi sang caleg manggung di ‘ludruk kekuasaan’. Entah motif untuk mengabdi kemasyarakat, mengabdi kepada keluarganya atau mungkin hanya sebagai ‘babu-babu kekuasaaan dan penguasa’, tak heran jika pasca pencontrengan dan telah terprediksikan suara yang dicapai lewat quick count para caleg sumringah ketika suaranya mencapai target, dan tak sedikitpula yang ‘kurca (kurang cageur)’ akibat depresi yang berlebih karena cost politik yang tinggi yang mereka keluarkan namun tak menghasilkan suara yang cukup signifikan. Akhirnya, segudang ekspresi depresi mereka tontonkan pada publik. Mulai dari ‘stress berat’ hingga penarikan kembali bantuan-bantuan yang telah diberikan.
Di daerah Tanggerang seorang caleg stress dan meminta-minta dijalan agar uang yang telah diberikan untuk ditarik kembali, senyatanya praktik pembagian uang ini merupakan ‘money politik’ dan secara tidak langsung telah melakukan pembodohan politik terhadap masyarakat. Dan memang sketsa-nya seperti ini, dikalangan masyarakat awam praktik seperti ini merupakan hal yang dianggap jitu karena mayoritas adalah pemilih pragmatis, namun ketika mengena pada pemilih rasional-pragmatis, maka yang terjadi oportunisme yang berlandaskan rasionalitas dan kebebasan untuk memilih. Sehingga wajar bila sang caleg mengalami depresi. Senyatanya fenomena seperti ini merupakan suatu bentuk sentilan terhadap caleg pada pemilihan ke depan dan mayarakat khususnya bahwa ‘money politik’ hanya akan membawa kondisi masyarakat semakin terpuruk karena yang biasanya menjadi prioritas sang caleg terpilih lewat jalur money politik adalah memikirkan bagaimana cara mengembalikan cost politik yang telah dikeluarkan sehingga orientasinya lebih pada ‘kerja’ bukan mengabdi kepada masyarakat. Pantas jika mereka lebih mementingkan keluarga dan komunitasnya.
Secara filosofis, Warna putih yang melekat pada gedung dewan dapat kita maknai sebagai simbolisasi kesucian dan kesakralan, sebagai tempat wakil rakyat untuk melakukan suatu negosiasi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, secara falsafi ‘keperawanan gedung putih’ sebagai suatu ruh suci yang tercover didalamnya, sebagai badan legislasi, contolling terhadap eksekutif dalam rangka pengabdian terhadap masyarakat sebagai kausal representasi dari masyarakat didaerahnya masing-masing. Dan tentunya suara mereka menentukan bagaimana kebijakan ini bergulir. Apakah untuk kepentingan rakyat atau malah sebaliknya? Apalagi tak jarang kita melihat prilaku anggota legislatif yang sering diwacanakan di publik, entah tindak korupsi,penipuan, atau bahkan perselingkuhan. Dan sikap ini tidak mencerminkan ‘tauladan’ bagi rakyat kecil. Entah sampai kapan ‘gedung putih’ ini menjadi perawan kembali, sedang pisau-pisau oportunisme siap merobek-robek keperawanannya, bayangkan praktek ‘money politik’ seakan menjalar dan menjadi fenomena yang tak terlewatkan disaat digelarnya pesta demokrasi. Mungkinkah penghuni gedung putih ini akan benar-benar fair dan konsisten dengan kesuciannya? Ataukah tak ada perubahan yang signifikan dengan periode sebelumnya.
Tentunya, kebingungan yang tak berujung ini akan semakin membuat masyarakat apatis terhadap wakil-wakilnya yang seharusnya memperjuangkan segala aspirasi masyarakat, semoga saja keperawanan gedung putih ini masih dapat dikembalikan dalam jalur fitrahnya, mengingat pentingnya eksistensi Legislator sebagai legislasi dan controlling terhadap kinerja eksekutor. Agar pesta demokrasi tak terkotori oleh muatan-muatan ‘money politik’ yang hanya akan menyengsarakan rakyat .
Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,
Awas Infiltasi Sekulerisme
Infiltrasi dalam kamus ilmiah diartikan sebagai penyusupan ataupun perembesan, suatu proses penyusupan yang dilakukan dengan motif tertentu ataupun yang berjalan secara alamiah, sekularisme merupakan paham (ideologi) yang memiliki konsepsi pemisahan antara hal-hal yang bersifat keduniaan (manusia secara horizontal) dan manusia secara vertikal (hubunganya dengan Sang Kholik) ini tidak mempunyai keterikatan sedikitpun, permasalahan yang bersifat horizontal ini mesti diselesaikan secara kesepakatan sosial (dalam bahasa Jean Jaques Rouses ; du contrac sosial), sedangkan wilayah keagamaan ini mesti diselesaikan secara privasi (individualistik) antara penganut agama dengan Tuhannya. Senyatanya paham ini muncul ketika agamawan gereja memanfaatkan ‘agama’ sebagai senjata untuk menina bobo-kan masyarakat pada saat itu untuk menerima ‘apa adanya’ yang terjadi pada kehidupan masyarakat ataupun negara, sebagai bentuk ‘cuci tangan’ penguasa untuk lepas dari tanggungjawab dalam memelihara masyarakat pada saat itu, ketika masyarakat dalam keadaan miskin, maka terimalah sebagai takdir dari Tuhan. Padahal para gerejawan, borjuis dan penguasa pada saat itu berfoya-foya dan hidup dalam kemewahan. Kondisi ini persis dengan islam pada abad pertengahan ketika bermunculan paham jabariyah, qodariyah dan maturidiyah. Dan salah satu khilafah pada saat itu menerapkan paham jabariyah sebagai senjata untuk menina bobo-kan masyarakat pada masa itu. Meskipun berbeda konteks dan filosofis hidupnya.
Dalam perjalanannya paham ini menjalar dengan cepat kepenjuru dunia, bahkan tak luput dari polemik, sehingga ketika mendengar statement ‘sekulerisasi’, kita menjadi rigid (kaku) dan menyamaratakan konsepsi tersebut, namun apakah makhluk sekularisasi ini sama dengan sekularisme?
Banyak kalangan yang mencoba mengkritisi konsepsi ini, baik lewat media massa maupun membuat buku dan stetement di surat kabar, bahkan MUI pun pada tahun 2005 telah menerbitkan ‘haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Sipilis) untuk dianut oleh umat islam. Karena disinyalir dapat merusak aqidah umat islam. Terlepas dari kata ‘sekularisasi ataupun sekularisme’, kita coba telisik secara filosofis, apakah kita benar-benar tidak terjangkit dengan ‘sekularisme’ ataukah tidak?
Hujatan yang sering dilontarkan biasanya menyudutkan pada permasalahan hukum, senyatanya ‘hukum’ yang dibangun oleh sekularisme itu adalah hukum manusia yang lahir dari alam nalarnya, sehingga haram hukumnya jika mengimplementasikan hukum tersebut, yang valid hanyalah hukum Allah yang tersurat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan sepertinya ini harga mati bagi umat islam. Namun permasalahanya bagaimana kita mampu menerjemahkan pesan sakral tersebut tanpa menggunakan potensi akal yang dianugerahkan Allah kepada kita? Sedang jelas dalam al-qur’an ayat-ayat yang mengisyarakan manusia untuk berfikir (Afala Ta’qiluun, Afala Tatadzakkaruun, Afala Tatafakaruun).
Dalam wacana tafsir, tentunya selalu saja berbenturan dengan wilayah ‘tekstual dan kontekstual’, sehingga yang lahir adalah multi-interpretasi (banyak penafsiran), secara deskriptif misalnya ayat tetang hukum ‘potong tangan’ yang disinyalir merupakan ayat qathi’, namun ada pula yang menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan ayat dhanni. Bila kita lacak secara maknawi ‘potong tangan’ dalam konsep pertama memiliki makna hakiki (dalam artian tekstual ; dipotong tangannya) sedang dalam konsep yang kedua sebagai makna majazi (kontekstual ; tangan ditafsirkan sebagai bentuk kekuasaan). Oleh karenanya wajar bila Quraish Shihab menyatakan bahwa makna Al-Qur’an itu layaknya sinar yang terpancar dari berbagai sudut permata.
Tanpa disadari tenyata kita sering menungkapkan statement ‘hukum manusia itu bukan hukum Allah‘, secara tidak langsung statement ini disinyalir telah terbelenggu dalam konsepsi ‘sekularisme’, betapatidak dalam konsepsi ‘hukum kausalitas’ tak ada satupun daya upaya manusia yang tidak berujung pada Allah, dan tentunya statement semacam itu sadah mengarah pada prilaku ‘sekularism’, mungkin saja hal ini bisa dikatakan sebagai kesalahan fatal, pasalnya secara tidak langsung ini telah memisahkan antara permasalah horizontal (manusia) dan vertikal (Tuhan), tentunya konsekuensi logis bagi orang yang mempunyai konsepsi seperti ini dinyatakan sebagai ‘Sekular’, meskipun orang tersebut ‘antipati terhadap paham sekular’ namun tetap saja ia pun tanpa sadar telah menjangkit virus dalam alam nalarnya. Oleh karenanya meningat hegemoni ‘sekularisme’ ini mewabah diseantero jagat raya ini, kita mesti jeli dalam menafsirkan ‘sekularisme’ dan menerjemahkan realitas sosial-politik dan keagamaan. Jangan-jangan kita yang mengutuk abiz sekularisme malah tak sadar telah terjangkit !
“ Sekularisme Terjangkit bukan hanya karena niat dari pelakunya, tapi juga
‘ketidak sadaran alam nalar’ kita !
Waspadalah..... Waspadalah................. Waspadalah........!!!
Walaupun kami dogmatik, kami tidak suka kultus individu, kami tak mengajar orang-orang untuk percaya, melainkan untuk berfikir ! (Fidel Castro)
Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,