Dalam literatur sejarah, Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa antara abad XVII sampai dengan abad XVIII M. Trias Politica merupakan suatu konsepsi yang beranggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan. Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat Undang-Undang (legislasi); kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan Undang-Undang; ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.
Disamping itu, Trias politica mengajarkan kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, pasalnya, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin dan terakomodir.
Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris. Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan Undang-Undang; kekuasaan eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili; dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Selanjutnya, pada 1748, filsuf Prancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L'Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Prancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya. Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang/lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.
Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya, tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan Undang-Undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu, bila satu orang atau badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.
Tentunya, memang permalahan ‘demokrasi’ ini cukup pelik, apakah memang di indonesia ini sudah benar-benar menanamkan konsep demokrasi atau demokrasi hanya sebatas konsepsi yang melangit yang senyatanya tidak pernah membumi? Bila kita telisik fenomena dan tindakan eksekutor, legislator, dan yudikator, tak jarang kita melihat ‘demokrasi kaum penjahat’ yang hanya menghisap APBN atau APBD hanya untuk memperkaya diri. idealnya tiga macam kekuasaan ini bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya, namun virus dis-ekuilibrium (ketimpangan) ini semakin nampak, terbukti dengan sikap apatis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah baik yang bersifat sektoral maupun lintas sektoral. Perancangan undang-undang, perda, maupun perbup ini dinilai tak pernah membumi, contoh kongkrit perda 2007 tentang wajibnya menggunakan ijazah MD untuk melanjutkan kejenjang SLTP/SMP ternyata hingga detik ini hanya sebatas kertas yang tak jauh bedanya dengan bungkus bala-bala.
Rancangan Undang-undang apapun senyatanya hanya menghabiskan APBD belaka. Lantas demokrasi seperti apa di Indonesia ini, sepertinya sudah terjadi transvaluasi (perubahan makna) demokrasi. bukan lagi ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’ akan tetapi ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk penguasa’. Oleh karenanya, fungsi parlmen jalanan ini mesti diaktualisasikan sebagai controlling terhadap berbagai kebijakan yang digulirkan, dan sepertinya merupakan harga mati, betapatidak eksistensi parlemet jalanan ini sebagai penyambung lidah masyarakat. Namun ternyata ‘pragmatisme’ pun mewabah dalam tubuh parlemen jalanan, sehingga ‘idealisme’ parlemen jalanan-pun akhirnya tergadaikan. Dan lagi-lagi rakyat yang menggung akibat dari ‘negosiasi kaum penjahat’.
Semoga masyarakat kita mampu menerjemahkan bagaimana senyatanya demokrasi dan nilai-nilai mulai yang tercover didalamnya. Sehingga tercipta ‘good governance and clean govermanance’.
Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar