Minggu, 10 Mei 2009

Robeknya Keperawanan Gedung Putih

Oleh : A_dhie

Tak terasa 2 minggu sudah pesta demokrasi terlewati, ‘contrengan sakral’ yang menentukan nasib masyarakat 5 tahun kedepan tidak bisa diputar ulang kembali, berbagai motif yang melatarbelakangi sang caleg manggung di ‘ludruk kekuasaan’. Entah motif untuk mengabdi kemasyarakat, mengabdi kepada keluarganya atau mungkin hanya sebagai ‘babu-babu kekuasaaan dan penguasa’, tak heran jika pasca pencontrengan dan telah terprediksikan suara yang dicapai lewat quick count para caleg sumringah ketika suaranya mencapai target, dan tak sedikitpula yang ‘kurca (kurang cageur)’ akibat depresi yang berlebih karena cost politik yang tinggi yang mereka keluarkan namun tak menghasilkan suara yang cukup signifikan. Akhirnya, segudang ekspresi depresi mereka tontonkan pada publik. Mulai dari ‘stress berat’ hingga penarikan kembali bantuan-bantuan yang telah diberikan.

Di daerah Tanggerang seorang caleg stress dan meminta-minta dijalan agar uang yang telah diberikan untuk ditarik kembali, senyatanya praktik pembagian uang ini merupakan ‘money politik’ dan secara tidak langsung telah melakukan pembodohan politik terhadap masyarakat. Dan memang sketsa-nya seperti ini, dikalangan masyarakat awam praktik seperti ini merupakan hal yang dianggap jitu karena mayoritas adalah pemilih pragmatis, namun ketika mengena pada pemilih rasional-pragmatis, maka yang terjadi oportunisme yang berlandaskan rasionalitas dan kebebasan untuk memilih. Sehingga wajar bila sang caleg mengalami depresi. Senyatanya fenomena seperti ini merupakan suatu bentuk sentilan terhadap caleg pada pemilihan ke depan dan mayarakat khususnya bahwa ‘money politik’ hanya akan membawa kondisi masyarakat semakin terpuruk karena yang biasanya menjadi prioritas sang caleg terpilih lewat jalur money politik adalah memikirkan bagaimana cara mengembalikan cost politik yang telah dikeluarkan sehingga orientasinya lebih pada ‘kerja’ bukan mengabdi kepada masyarakat. Pantas jika mereka lebih mementingkan keluarga dan komunitasnya.

Secara filosofis, Warna putih yang melekat pada gedung dewan dapat kita maknai sebagai simbolisasi kesucian dan kesakralan, sebagai tempat wakil rakyat untuk melakukan suatu negosiasi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, secara falsafi ‘keperawanan gedung putih’ sebagai suatu ruh suci yang tercover didalamnya, sebagai badan legislasi, contolling terhadap eksekutif dalam rangka pengabdian terhadap masyarakat sebagai kausal representasi dari masyarakat didaerahnya masing-masing. Dan tentunya suara mereka menentukan bagaimana kebijakan ini bergulir. Apakah untuk kepentingan rakyat atau malah sebaliknya? Apalagi tak jarang kita melihat prilaku anggota legislatif yang sering diwacanakan di publik, entah tindak korupsi,penipuan, atau bahkan perselingkuhan. Dan sikap ini tidak mencerminkan ‘tauladan’ bagi rakyat kecil. Entah sampai kapan ‘gedung putih’ ini menjadi perawan kembali, sedang pisau-pisau oportunisme siap merobek-robek keperawanannya, bayangkan praktek ‘money politik’ seakan menjalar dan menjadi fenomena yang tak terlewatkan disaat digelarnya pesta demokrasi. Mungkinkah penghuni gedung putih ini akan benar-benar fair dan konsisten dengan kesuciannya? Ataukah tak ada perubahan yang signifikan dengan periode sebelumnya.

Tentunya, kebingungan yang tak berujung ini akan semakin membuat masyarakat apatis terhadap wakil-wakilnya yang seharusnya memperjuangkan segala aspirasi masyarakat, semoga saja keperawanan gedung putih ini masih dapat dikembalikan dalam jalur fitrahnya, mengingat pentingnya eksistensi Legislator sebagai legislasi dan controlling terhadap kinerja eksekutor. Agar pesta demokrasi tak terkotori oleh muatan-muatan ‘money politik’ yang hanya akan menyengsarakan rakyat .

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,

Tidak ada komentar: