Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan harus mengikuti alur berfikir manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran,tidak boleh ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 ‘dibunuh’ Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan. Mungkin bila Imam Al-Ghazali masih hidup beliau sudah membantai konsepsi-konsepsi “Religion” barat dengan Tahfut-nya.
Pergolakan pemikiran di Barat tentang “ Agama” ini nampaknya sudah pada titik kulminasi, para sosiolog barat mengatakan agama adalah fanatisme, kemudian F. Schleiermacher menyatakan bahwa Agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence) itulah sederetan konsepsi yang akhirnya memunculkan fantisme golongan, tak kalah peliknya Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”, bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”.Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan bisa dibunuh.
Nampaknya, tak ada salahnya konsepsi tentang “ Barat maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan Islam mundur karena meninggalkan agamanya”, islam sebagai rahmatan lil alamiin disinyalir hanya sebatas wacana transendental Pasalnya, tragedi kekerasan di monas menjadi sinyalment bahwa konsepsi tersebut masih melangit dan belum benar-benar terimplementasikan dalam realitas sosial, alhasil, tragedi tersebut hanya mempertebal fanatisme golongan serta ausnya tongkat ukhuwwah islamiyyah.
Kontradiksi ini semakin memperjelas dinding pemisah antar golongan, dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan ini terlalu berlebihan, seakan “Tuhan & Surga-Nya” adalah milik pribadi mereka, sehingga fanatisme & tirani yang akhirnya mencuat yang secara otomatis membetulkan segala konsepsi-konsepsi barat bahwa islam teroris dan penuh kekerasan, dengan di amini oleh tragedi kemarin.
Rentetan kekerasan yang bukan kali pertama terjadi, disinyalir karena pemahaman keislaman yang semakin absurd, kalimat suci “Allahu Akbar” kini sudah dis-orientasi untuk mendzholimi orang lain dengan asumsi jihad fi sabilillah, bukankah masih banyak stretegi lain untuk memecahkan pergolakan ini? Apakah islam mengajarkan untuk berseteru dan menganiaya kaum hawa dan anak kecil? Orientasi keislaman kita nampaknya sudah terpolarisasi oleh cultur simbolistik.
Senyatanya, umat islam mesti waspada terhadap pemikiran-pemikiran tokoh hanya karena gelarnya sudah mencapai profesor, namun kita tetap bersikap kritis terhadap pemikiran mereka, bukan sebaliknya, kita mengadopsi secara besar-besaran pendapat mereka, alhasil kita terpolariasi oleh konsep kaum sofisme (kaum idealisme-materialisme) dan mengakibatkan paradigma berfikir kita merelatifkan segala sesuatunya, karena standar yang digunakan oleh kaum sofis, sesuatu itu dikatakan ilmiah atau ada jika dapat dicerap oleh panca indera, baru bisa dikatakan sebagai sesuatu yang logis lagi rasional. Senyatanya, pemikiran-pemikiran mereka ini sudah saatnya untuk gulung tikar, rasionalitas terhadap konsep-konsep yang ditawarkan ini sudah terbantahkan, bukankah akal mereka juga gaib/ bersifat metafisik, dan tak terinderakan bagaimana wujud akan senyatanya, standar panca indera yang mereka gunakan tidak perlu dijadikan sebagai pegangan kita.
Pemikiran kaum sofis ini berujung pada atheisme, mereka mengangap bahwa Tuhan hanya sebatas konsepsi-konsepsi yang dibuat-buat oleh manusia karena Tuhan tidak tercerap oleh indera, bahkan Sigmun Frued mengatakan hal itu muncul dalam diri manusia akibat ‘Neorosis Obsesional’ (Obsesi yang tek tercapai) atau lugasnya dia mengatakan, bahwa orang yang mempercayai adanya Tuhan itu adalah orang yang terjangkit gangguan jiwa, dan Tuhan itu muncul dari kebodohan-kebodohan orang dulu yang tidak mampu menerjemahkan peristiwa alam (fenomena alam) sehingga mereka menyimpulkan hal ini dilakukan oleh Tuhan.
Betapa menyesatkannya pemikiran-pemikiran kaum sofis ini, hegemoni pemikiran yang cenderung dilakukan dengan rapih ini mesti kita waspadai dengan selalu kritis terhadap pemikiran-pemikiran mereka.
Wallahu A’lam Bisshawaab...