Jumat, 26 Juni 2009

Konsepsi Manusia Tentang Tuhan

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan harus mengikuti alur berfikir manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran,tidak boleh ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 ‘dibunuh’ Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan. Mungkin bila Imam Al-Ghazali masih hidup beliau sudah membantai konsepsi-konsepsi “Religion” barat dengan Tahfut-nya.

Pergolakan pemikiran di Barat tentang “ Agama” ini nampaknya sudah pada titik kulminasi, para sosiolog barat mengatakan agama adalah fanatisme, kemudian F. Schleiermacher menyatakan bahwa Agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence) itulah sederetan konsepsi yang akhirnya memunculkan fantisme golongan, tak kalah peliknya Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”, bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”.Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan bisa dibunuh.

Nampaknya, tak ada salahnya konsepsi tentang “ Barat maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan Islam mundur karena meninggalkan agamanya”, islam sebagai rahmatan lil alamiin disinyalir hanya sebatas wacana transendental Pasalnya, tragedi kekerasan di monas menjadi sinyalment bahwa konsepsi tersebut masih melangit dan belum benar-benar terimplementasikan dalam realitas sosial, alhasil, tragedi tersebut hanya mempertebal fanatisme golongan serta ausnya tongkat ukhuwwah islamiyyah.

Kontradiksi ini semakin memperjelas dinding pemisah antar golongan, dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan ini terlalu berlebihan, seakan “Tuhan & Surga-Nya” adalah milik pribadi mereka, sehingga fanatisme & tirani yang akhirnya mencuat yang secara otomatis membetulkan segala konsepsi-konsepsi barat bahwa islam teroris dan penuh kekerasan, dengan di amini oleh tragedi kemarin.

Rentetan kekerasan yang bukan kali pertama terjadi, disinyalir karena pemahaman keislaman yang semakin absurd, kalimat suci “Allahu Akbar” kini sudah dis-orientasi untuk mendzholimi orang lain dengan asumsi jihad fi sabilillah, bukankah masih banyak stretegi lain untuk memecahkan pergolakan ini? Apakah islam mengajarkan untuk berseteru dan menganiaya kaum hawa dan anak kecil? Orientasi keislaman kita nampaknya sudah terpolarisasi oleh cultur simbolistik.

Senyatanya, umat islam mesti waspada terhadap pemikiran-pemikiran tokoh hanya karena gelarnya sudah mencapai profesor, namun kita tetap bersikap kritis terhadap pemikiran mereka, bukan sebaliknya, kita mengadopsi secara besar-besaran pendapat mereka, alhasil kita terpolariasi oleh konsep kaum sofisme (kaum idealisme-materialisme) dan mengakibatkan paradigma berfikir kita merelatifkan segala sesuatunya, karena standar yang digunakan oleh kaum sofis, sesuatu itu dikatakan ilmiah atau ada jika dapat dicerap oleh panca indera, baru bisa dikatakan sebagai sesuatu yang logis lagi rasional. Senyatanya, pemikiran-pemikiran mereka ini sudah saatnya untuk gulung tikar, rasionalitas terhadap konsep-konsep yang ditawarkan ini sudah terbantahkan, bukankah akal mereka juga gaib/ bersifat metafisik, dan tak terinderakan bagaimana wujud akan senyatanya, standar panca indera yang mereka gunakan tidak perlu dijadikan sebagai pegangan kita.

Pemikiran kaum sofis ini berujung pada atheisme, mereka mengangap bahwa Tuhan hanya sebatas konsepsi-konsepsi yang dibuat-buat oleh manusia karena Tuhan tidak tercerap oleh indera, bahkan Sigmun Frued mengatakan hal itu muncul dalam diri manusia akibat ‘Neorosis Obsesional’ (Obsesi yang tek tercapai) atau lugasnya dia mengatakan, bahwa orang yang mempercayai adanya Tuhan itu adalah orang yang terjangkit gangguan jiwa, dan Tuhan itu muncul dari kebodohan-kebodohan orang dulu yang tidak mampu menerjemahkan peristiwa alam (fenomena alam) sehingga mereka menyimpulkan hal ini dilakukan oleh Tuhan.

Betapa menyesatkannya pemikiran-pemikiran kaum sofis ini, hegemoni pemikiran yang cenderung dilakukan dengan rapih ini mesti kita waspadai dengan selalu kritis terhadap pemikiran-pemikiran mereka.

Wallahu A’lam Bisshawaab...

Dari Rakyat Oleh Rakyat untuk Pejabat


Dalam literatur sejarah, Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa antara abad XVII sampai dengan abad XVIII M. Trias Politica merupakan suatu konsepsi yang beranggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan. Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat Undang-Undang (legislasi); kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan Undang-Undang; ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.

Disamping itu, Trias politica mengajarkan kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, pasalnya, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin dan terakomodir.

Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris. Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan Undang-Undang; kekuasaan eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili; dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).

Selanjutnya, pada 1748, filsuf Prancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L'Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Prancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya. Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang).

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang/lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.

Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya, tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan Undang-Undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu, bila satu orang atau badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.

Tentunya, memang permalahan ‘demokrasi’ ini cukup pelik, apakah memang di indonesia ini sudah benar-benar menanamkan konsep demokrasi atau demokrasi hanya sebatas konsepsi yang melangit yang senyatanya tidak pernah membumi? Bila kita telisik fenomena dan tindakan eksekutor, legislator, dan yudikator, tak jarang kita melihat ‘demokrasi kaum penjahat’ yang hanya menghisap APBN atau APBD hanya untuk memperkaya diri. idealnya tiga macam kekuasaan ini bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya, namun virus dis-ekuilibrium (ketimpangan) ini semakin nampak, terbukti dengan sikap apatis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah baik yang bersifat sektoral maupun lintas sektoral. Perancangan undang-undang, perda, maupun perbup ini dinilai tak pernah membumi, contoh kongkrit perda 2007 tentang wajibnya menggunakan ijazah MD untuk melanjutkan kejenjang SLTP/SMP ternyata hingga detik ini hanya sebatas kertas yang tak jauh bedanya dengan bungkus bala-bala.

Rancangan Undang-undang apapun senyatanya hanya menghabiskan APBD belaka. Lantas demokrasi seperti apa di Indonesia ini, sepertinya sudah terjadi transvaluasi (perubahan makna) demokrasi. bukan lagi ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’ akan tetapi ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk penguasa’. Oleh karenanya, fungsi parlmen jalanan ini mesti diaktualisasikan sebagai controlling terhadap berbagai kebijakan yang digulirkan, dan sepertinya merupakan harga mati, betapatidak eksistensi parlemet jalanan ini sebagai penyambung lidah masyarakat. Namun ternyata ‘pragmatisme’ pun mewabah dalam tubuh parlemen jalanan, sehingga ‘idealisme’ parlemen jalanan-pun akhirnya tergadaikan. Dan lagi-lagi rakyat yang menggung akibat dari ‘negosiasi kaum penjahat’.

Semoga masyarakat kita mampu menerjemahkan bagaimana senyatanya demokrasi dan nilai-nilai mulai yang tercover didalamnya. Sehingga tercipta ‘good governance and clean govermanance’.

Wallahu A’lam Bisshawaab,,,,